Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Surat Tak Terkirim (46)

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(SEBELUMNYA....)

Perbincangan itu sedikit banyak terdengar ke telinga menteri yang  meringkuk terduduk di balik mobil. Tejo mengerlingkan mata padanya untuk tetap tenang dan diam. Matius lalu dengan santai menjawab guna memenuhi rasa kepuasan seorang calon jenderal dengan perut agak buncit itu. Ia lalu memberi isyarat kepada Tejo untuk membawa sang menteri keluar dari balik mobil. Tejo mematuhinya. Dipapahnya menteri yang kelelahan itu dan diantarkan ke samping Matius. Ia lalu kembali ke belakang mobil dan mengambilkan kursi plastik tempat duduk sang menteri.

“Wah! Anda betul-betul pahlawan, Pak Matius!” seru Kapolda mengasihani dirinya sendiri. Tugas menyelamatkan sandera seharusnya menjadi milik satuannya, namun mukanya diselamatkan oleh seorang deputi menteri yang menjanjikan segalanya.

“Saya tahu.” Matius lagi-lagi tersenyum. Pengawalnya, Tejo pun ikut tersenyum geli.

Dari kejauhan, di seberang jalan itu, Ardi menekan beberapa tombol panggil. Di mobil satunya yang terletak di sisi lapangan luas di dekat situ, Dea mengangkat telepon genggamnya yang bergetar.

“Pak Menteri mau diserahterimakan. Sebaiknya kita bertindak sekarang.” Suara itu terdengar jelas kala Dea mengaktifkan pengeras suara. Cintya yang mendengarnya langsung membuka pintu mobil dan bergegas  berlari kencang ke arah museum. Dea yang kebingungan memanggil-manggilnya.

“Ardi, Dea lari ke arah museum. Aku ditinggal sendirian.”

“Bodoh wanita itu!” balas Ardi dengan nada tinggi.

Panggilan terputus. Ardi lalu bergegas keluar dari mobil, mengaktifkan central lock, lalu menyeberang dengan cepat melawan sergapan suara klakson bertubi-tubi dari pengendara yang terkejut.

Dea yang berada di dalam mobil di depannya kesal untuk kesekian kalinya.

***

Di kompleks penahanan....

Jakob baru saja menutup telepon. Dengan sejenak berbisik kepada Obey ia lalu merencanakan sesuatu. Obey menerima tawaran itu dengan tenang.

Satria sedang merapikan tasnya dan mengecek setiap kelengkapan barangnya. Ia lalu mengambil map berisi surat bertanda tangan itu, mengangkatnya dari atas meja kemudian menyelipkannya di antara lengan dan ketiaknya ketika kedua tangannya menutup rapat tas yang tak menyisakan ruang penyimpanan lagi.

Tiba-tiba ia mendengar suara pelatuk logam berderik di belakangnya.

“Satria.” Sapa suara yang tak asing itu.

Satria terdiam tak bergerak. Bahkan lengannya tetap mengapit selipat kertas susun di bawah ketiaknya. Saat berbalik, apa yang dilihatnya sungguh menyebalkan.

Jakob menodongkan senjata api itu ke arahnya, dengan Obey tersenyum di sampingnya.

“Bos, apa perlu sampai seperti ini?” tanya Obey.

Satria hanya terdiam. Kata-katanya baru keluar setelah ia menarik napas beberapa detik kemudian.

“Kukira orang-orang timur solider,” katanya sembari menggeleng dan merapatkan kacamatanya dengan hati-hati.

Jakob tertawa. “Kau belum kenal semua orang timur.” Obey mengangguk.

“Kalau begitu, kalian belum tahu seberapa cerdik orang barat.”

Satria lalu melesat berlari ke arah belakang pos, mengambil jalan memutar lalu dengan sigap berlari kencang menembus gerbang dan keluar ke jalan.

Jakob terkejut menyadari buruannya tiba-tiba menghilang. Obey hanya menggeleng. “Sudah kutahu kau tak berani menembak orang. Payah kau....” Mereka berdua lalu mengeluarkan penutup wajah berwarna hitam dan fleksibel. Kejar-kejaran kembali terjadi.

...

(SELANJUTNYA...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline