Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Surat Tak Terkirim (47)

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(SEBELUMNYA....)

Satria berlari sekencang mungkin. Map itu terselip di bawah ketiaknya. Tasnya terguncang-guncang saat langkahnya bergantian menapaki trotoar jalan kota itu. Ia sama sekali tak melihat ke belakang. Di depannya, ia bisa melihat keramaian yang bisa ia manfaatkan. Setelah beberapa kali berbelok, ia tiba di sebuah pasar seni yang mulai ramai.

Di belakangnya , Jakob dan Obey bersusah payah mengalahkan bobot perut mereka yang lebih tambun.

Kapolda itu meminta anak buahnya untuk menghampiri sang menteri untuk memeriksa keadaannya. Di seberang jalan, dua pemuda berboncengan Vespa tiba-tiba berhenti tepat di depan museum. Pemuda yang duduk di jok belakang menepuk pundak rekannya dengan keras hingga mereka berhenti. Ia lalu mengeluarkan kamera video genggam dan menyorot ke seberang jalan dengan berusaha fokus. Rekannya yang berada di depan kaget bukan kepalang, karena yang mereka lihat adalah Menteri Kehutanan yang selama ini diberitakan menghilang.

“Pasang kartu pengenal,” kata salah satunya. Mereka berdua adalah pewarta warga yang merangkap sebagai kontributor stasiun televisi lokal. Pengendara motor itu langsung menelepon dengan serius.

Sorotan kamera mereka menyorot senyum Matius yang berhadapan dengan Kapolda Bali yang tak berseragam. Mereka lalu mencari tempat yang agak tinggi agar visualnya tak terhalang lalu lintas. Tiba-tiba, ada yang menarik perhatian mereka. Seorang wanita berlari kencang dari arah kiri museum. Kamera itu disorot ke arah perempuan itu mengikuti insting jurnalisme warga yang menangkap setiap momen yang tak biasa. Ternyata benar saja. Wanita itu berlari ke arah gerbang museum, tempat Kapolda dan Matius dan juga Pak Menteri Kehutanan berdiri.

Cintya tiba dengan terengah-engah.

“Cintya...!” sontak Menteri Kehutanan Jalil menyergap kata.

Cintya mengangkat wajahnya. Tatapannya begitu kesal menyelipkan sedikit putus asa. Matius yang melihat sosok itu kembali berada di hadapannya terkejut. Cintya membalasnya dengan senyum.

Kapolda Bali kebingungan, begitu pula anak buahnya. Kejadian yang berubah tiba-tiba selalu tidak mengenakkan.

“Menyerahlah. Anak buahmu sudah kami amankan.” Cintya melontarkan ketegasan.

Matius kebingungan. Air mukanya nampak lemas dan bibirnya gemetar. Sama sekali ia tak menyangka rencananya selalu digagalkan oleh sekelompok anak muda yang keras kepala.

“Sebentar. Ada apa ini?” tanya Kapolda. “Pak Matius, apa maksud semua ini?”

“Wah, Pak Kapolda Bali yang terhormat. Anda ternyata ditipu oleh penjahat ini ya?”

“Penjahat? Ditipu? Apa maksudnya?”

Cintya lalu menegakkan badan.

“Kalian ini orang-orang serakah yang terlalu mendambakan harta, uang, kekuasaan, nama baik. Tapi jarang mendengarkan hati nurani.”

Ardi yang bergegas menyeberang, tiba-tiba dikejutkan kembali oleh suara telepon genggamnya yang berdering. Ia sudah berada dua puluh meter sebelah timur kompleks museum ketika telepon itu akhirnya ia angkat.

“Halo? Ardi?”

“Satria? Kamu dimana? Bisa kesini sekarang?”



“Pertanyaan salah. Harusnya aku yang bilang begitu.”

“Satria ada apa?”

“Pasar Seni sebelah utara kompleks yang tadi. Cari jalan. Jakob dan Obey bermasalah dengan surat ini.”

“Di mana? Jelaskan lagi. Satria?”

“Sudahlah. Aku lagi sibuk. Cepat kemari.”

...

(SELANJUTNYA...)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline