Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Surat Tak Terkirim (51)

Diperbarui: 25 Juni 2015   22:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(SEBELUMNYA....)

Kapolda Bali tersenyum setelah menghela napas lega. Anak buahnya telah melaksanakan tugas dan rencana dengan baik, meski tak sempurna.

Matius mengerang kesakitan. Sebelah tangannya menekan lukanya yang terus mengeluarkan darah. Bibirnya bergetar, keringatnya bercucuran. Matanya mulai menutup.

Tejo yang melihatnya ketakutan. Baru saja ia melangkahkan kaki hendak berlari namun dua polisi berhasil meringkusnya.

Cintya bernapas lega. Ia lalu mendekati ayahnya yang masih syok dengan semua ini. Putri itu memapah lengan seorang pejabat negara yang baru saja melewati hari-hari berat.

“Ayah.... Aku minta maaf atas semuanya.”

“Tak mengapa, Nak.” Jalil tersenyum.

“Tapi. Pak Jalil. Dia itu berbahaya!” kata Satria. Namun Ardi menahannya. “Biarkan mereka yang menyelesaikan.

Dea baru saja tiba di kompleks itu. Setelah mendengar bunyi tembakan, ia langsung berlari menyeberangi lapangan dan menyusuri jalan dan menyeberang menuju kekasihnya. Ia langsung menggamat lengan Ardi.

Suasana telah terkendali. Sebuah ambulan telah tiba dan mengangkut sang penculik. Matius pingsan saat tubuhnya diangkut dan dibawa ke rumah sakit. Dua mobil patroli jalan raya mengawalnya.

Kapolda lalu mendekat dan berterima kasih kepada Cintya, Satria, dan Ardi.

“Saya rasa kami berhutang maaf sama kalian. Apa yang bisa kubantu?”

“Yah, kalau Bapak masih ada ambulan dan mobil tahanan, saya kira ada dua orang yang menanti kalian di sebuah kompleks, tidak jauh dari sini.” Ardi membalas. Jawaban itu membuat Kapolda hanya bisa tersenyum kemudian memberi instruksi lanjutan kepada anak buahnya.

Beberapa menit kemudian, Bento dan Rojer yang berusaha dengan keras melepaskan diri dari ikatan tali di tiang itu dengan saling menopang kaki di atas lutut hanya bisa memperlihatkan gigi-gigi mereka saat tiga mobil polisi dan sebuah ambulan menggerebek.

Satu unit satuan pengamanan pejabat negara telah tiba di lokasi itu. Pukul 7.00. Matahari mulai terik. Jalil Soemantri dikawal ketat dan lokasi museum itu disterilkan sebagai tempat istirahat.

“Tapi, Cintya.” Kata Ardi kemudian ketika mereka menemani menteri duduk di bawah pohon sambil menerima perawatan dari tim medis.

“Jakob dan Obey, suami kamu....”

Cintya menggeleng.

“Bukan. Jakob itu bukan suamiku. Dia Cuma petugas bengkel yang kupekerjakan karena kudengar orang Papua punya keberanian tinggi. Tak kusangka, mereka pernah bekerja sebagai petugas kebersihan di Kemenhut tempat ayah bekerja. Nekat, mungkin. Mereka hanya bekerja sama.”

Ardi menggeleng dan menghela napas. Begitu pula Satria.

“Sudah kuduga. Mereka itu tak cocok denganmu. Tapi bagaimana dengan surat itu? Pak menteri?”

Tiba-tiba dari arah jalan terdengar dua orang yang bertengkar dengan satuan pengamanan.

“Itu mereka datang,” kata Cintya.

“Jakob dan Obey melawan dua personel kepolisian yang mengawalnya. Mereka berdua lalu mendekat. Satria bangkit dari duduknya dengan marah, namun Ardi menahannya.

“Pak menteri,” kata Jakob sembari mengeluarkan surat yang terbungkus map.

“Ini suratnya, Pak. Aman. Saya serahkan kepada Anda. Dan mungkin akan ada imbalan...”

Obey menginjak kakinya hingga kesakitan. Cintya tertawa kecil.

“Imbalan apa? Surat apa?” tanya Jalil setengah bercanda.

“Surat ini? Surat penting kan pal?” tanya Obey kebingungan.

“Jalil lalu berdiri dan mengambil map itu dari tangan mereka. Satria dan Ardi memperhatikannya ketika map itu dibuka di atas meja. Ardi terkejut dan Satria tertawa setelah memperhatikan apa yang ditunjuk oleh Pak Menteri dengan jarii telunjuknya.

Satria dan Ardi tertawa lepas. Dea juga tersenyum melihatnya.

Jakob dan Obey menundukkan kepala mendekat ke surat itu. Di bawah kata-kata penting yang disusun oleh Matius sebelumnya, terdapat kolom tanda tangan yang memang dicoret sendiri oleh Menteri ketika di bawah todongan pistol subuh itu. Tapi kegelapan subuh adalah keuntungan baginya untuk merevisi apa yang menurutnya tidak tepat. Ia memanfaatkan momen. Ia mencoret tanda tangan berbentuk aneh namun cukup memuaskan Matius untuk segera menutup map dengan kepuasan terluapkan. Tentu saja kedua pengawal penculik itu bukan orang terpelajar untuk memeriksa setiap tanda tangan apakah benar sesuai dengan milik seorang yang mencoretkannya.

Pak Jalil tersenyum hampir tertawa kecil. “Tak ada bonus buat kalian. Haha....”

“Ayah....” Cintya ikut-ikut menegur.

Di atas kertas putih itu, di bawah kolom ketikan surat keputusan yang memberi kuasa pengesahan izin eksploitasi lahan, tanda tangan itu nampak lucu. Apa yang membuat Satria dan Ardi tertawa adalah tulisan kecil yang nyaris tak kelihatan, bersambung di belakang lengkungan akhir tanda tangan menteri. Tulisan itu dibentuk sedemikian rupa hingga tulisannya terbaca “Matius Bodoh”.

“Tanda tangannya tidak sah!” teriak Satria sambil tertawa. Ia menahan kacamatanya yang nyaris jatuh. Jakob dan Obey pasrah.

Seorang wartawan media yang membawa kamera siaran langsung langsung menyorot surat yang kemudian diangkat Jalil itu sambil tersenyum. “Ini surat tidak sah! Proyek Entikong dinyatakan batal!”

Siaran televisi itu sontak membuat sorak sorai di pinggir jalan di kilometer 17 jalan poros kecamatan Entikong, Sanggau, Kalimantan Barat.

Bimo berteriak dan bersorak lalu bernyanyi bersama Pak Lurah yang lalu menyingkirkan pohon pisang dan blokiran di jalan. Beberapa warga lain juga sontak berlari dan menyerbu alat-alat kendaraan berat yang dijaga oleh dua pekerja kontraktor yang kebingungan dan merasa kalah. Kendaraan bertuliskan nama perusahaan kontraktor milik taipan lokal itu lalu dipaksa menyerah dan berbalik. Bimo berteriak dan mengejek kedua pekerja itu. Hutan mereka aman, untuk sementara.

...

(SELANJUTNYA...)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline