Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Surat Tak Terkirim (38)

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

(SEBELUMNYA....)

Ardi terkejut, ia terhentak ketika matanya hampir terkatup diserang kantuk. Bagian pahanya bergetar. Telepon genggamnya yang berbunyi. Dalam pikiran kabut, ia menyesal baru menyadari selama ini memiliki senjata ampuh untuk mengakhiri ini semua: komunikasi. Tapi kesadaran itu datang terlambat ketika mereka semua telah terikat kaki dan tangan dalam lingkaran duduk yang sama sekali tidak mengenakkan.

Telepon itu masih berdering. Bento yang menyadari hal itu langsung mengajak Rojer untuk mendekati para tawanan. Mereka berjalan dengan angkuh sambil memegang senjata. Bento membungkuk di depan sumber suara itu. Ia menatap mata Ardi dalam-dalam lalu terkekeh. Telapak tangannya menyapu kulit kepalanya yang mulai kedinginan. Dengan kasar ia lalu merogoh telepon genggam dari saku celana Ardi. Cintya terbangun dari tidurnya.

Telepon itu masih berdering, bergetar di semua sisinya. Layarnya berpendar menunjukkan siapa yang sedang berusaha berbicara. Bento menatapnya lalu tersenyum, menimbulkan rasa gereget bagi Ardi yang tak bisa berbuat apa-apa. “Dari siapa?”

Bento mengangkat telunjuknya ke bibir memberi isyarat tenang. Dengan hati-hati ia lalu menekan tombol bicara. “Halo?”

Ardi dan Satria saling pandang. Cintya, Obey, dan Jakob ikut terheran-heran.

Suara dari seberang itu terdengar samar dan tipis. Suara seorang wanit. Kata-katanya terucap dengan nada tinggi dan lancar. Suaranya cukup memeking sehingga Bento sempat menjauhkan telepon genggam itu dari daun telinga kanannya dan matanya memicing. Ia kembali merapatkan telapon itu dan berusaha mendengar apa yang dikatakan orang itu.

“Ardi baik-baik saja. Jangan khawatir, nona.”

Ardi terkejut. “Dea...!” Ia lalu berteriak dan meronta. Suara di telepon itu terdengar semakin keras dan berbicara cepat. Suara itu terdengar memaki-maki. Ardi kembali berteriak. Satria membantunya dengan memanggil nama Dea. Jakob dan yang lainnya terheran.

“Gerbang besi hijau, Selatan Empu Tantular!”

Dengan sigap Bento menutup telepon dan melemparnya ke tengah lapangan. Mereka semua saling pandang dan diam sejenak, hingga akhirnya Bento mendekat dan menampar wajah Satria keras hingga oleng. Kedua pengawal itu lalu berjalan menjauh sambil tertawa lepas, penuh kepuasan dan sarkasme. Satria yang berteriak, menahan rasa panas dan nyeri di pipi kirinya.

Ardi menatap geram.

...

(SELANJUTNYA...)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline