“Memang benar.”
Ardi mendengar kata itu sembari menundukkan kepalanya mengikuti gravitasi ringan, sebelum akhirnya kembali tegak menoleh. Kali ini Cintya tak lagi menatapnya. Dari samping ia melihat lekuk wajah oval gadis itu, menemui lekuk hidung yang serupa dengan milik seorang paruh baya yang pernah ia lihat di atas podium. Sebagian gelombang rambutnya jatuh menutupi daun telinga yang nampak perlahan menggelap karena udara dingin. Cintya menerawang ke depan sambil melanjutkan kalimatnya.
“Aku dan ayah terpisah hampir sembilan belas tahun lalu. Waktu itu aku belum sekolah. Aku masih ingat tangisan ibu saat menggamat lenganku lalu menggendongku dan naik ke atas mobil bak terbuka yang dipinjamkan oleh orang yang disebut ibu sebagai paman. Air mata ibu jatuh ke pipiku, lalu beliau menyekanya dengan sapu tangan hingga kering sembari berkata, ‘Tak apa nak. Nanti kita bisa ketemu papamu lagi’. Tapi tahun-tahun berlalu, aku tak pernah mendengar kabar dari ayah. Kehidupan aku dan ibu biasa-biasa saja. Kami tinggal di sebuah rumah kecil yang dipinjamkan oleh paman kami yang seorang pengusaha kayu. Aku disekolahkan ibu dengan biaya cukup yang ia hasilkan dari menjadi sekretaris perusahaan pengolahan kayu milik paman dan sedikit uang hasil royalti tulisan-tulisannya di beberapa majalah. Ibuku seorang pekerja keras, namun ia menggiatkan hobinya juga. Bonus royalti dari buku satu-satunya karangan ibu adalah penyelamat ketika aku harus membayar biaya kelulusan di universitas.
Kecintaan ibu terhadap anaknya membuatnya menjadi pekerja tunggal yang gigih. Tubuhnya kurus hingga sakit-sakitan. Terlalu keras bekerja dan depresi yang disembunyikannya membuat dokter kewalahan. Ibu didiagnosa stroke. Tapi ia menerimanya. Ia berkata kesenangan menulis akan menyembuhkannya. Tapi menurutku, ia hanya berusaha menimbun rasa sakit yang ditinggalkannya. Itu yang membuatku merasa sedih bahkan hingga akhirnya menerima tawaran kerja pertama buatku, menjadi penulis lepas di salah satu harian lokal. Tapi apa yang kudengar dari pamanku pada Senin pagi itu, dua tahun lalu, membuatku memantapkan tekad untuk mencari kebenaran. ‘Ayah kamu masih hidup, carilah. Ia yang paling bertanggung jawab terhadap keadaan ibumu. Kau mungkin akan terkejut akan mendengar ini, tapi kuanggap kau telah dewasa. Ibumu memilih berpisah karena ayahmu memutuskan menikah lagi. Ia baru memberitahukan rencananya kepada ibumu setelah ia melamar perempuan itu. Itu yang membuat ibumu terpukul.’
Kata-kata paman langsung membakar api dendam di dalam pikiranku. Aku saat itu juga merasa tak pernah memiliki ayah. Tak pernah. Hanya ada aku dan ibu setiap waktu selama belasan tahun. Lalu saat aku melihat orang yang bernama Jalil itu semakin sukses dan lupa, aku tak tahan lagi. Sampai kapan ia mencampakkan kehidupan kami berdua?
Hingga kuputuskan, aku harus berbicara dengan orang itu, orang yang telah membawa kehidupan ibuku hingga seperti ini. Masih ingatkah ia walaupun sedikit tentang pasangan yang pernah ia kecewakan dan anak kecil lima tahun yang tertatih-tatih dan diseret ke atas mobil hingga menangis? Sepertinya tidak. Kudengar anak hasil pernikahannya dengan istri kedua ini telah besar, hanya beberapa tahun lebih muda dariku. Aku ingin sekali bertemu dengan anak itu, atau ibunya yang merampas kebahagiaan kami entah bagaimana caranya waktu itu. Kuputuskan pindah kerja ke Denpasar hanya untuk menantikan momen ini. Saat jadwal konferensi menteri-menteri kehutanan se-Asia Tenggara kudengar, aku memaksakan diri bekerja di Indonetwork, perusahaan media yang kupikir bisa memberikan jalan buatku dekat secara fisik dengan sang menteri. Dan saat aku mendapat surat undangan konferensi pers malam di Kantor Kementerian Kehutanan, firasat wanitaku menuntun pikiranku bahwa akan terjadi sesuatu di internal kementerian juga, mendapati tak seorang pun dari semua wartawan yang hadir malam itu kukenal. Bahkan penampilan mereka tak meyakinkan sebagai wartawan di mukaku. Saat itu aku melihatmu di barisan belakang. Aku membuntutimu hingga lahan parkir untuk memastikan siapa kalian sebenarnya. Tapi aku tak mendapat petunjuk apa-apa.
Kesempatan itu baru hadir ketika kusadari Matius berbicara dengan seorang manajer kontraktor di balik sebuah mobil. Sembari bersembunyi, aku mendengar rencana mereka untuk membuat menteri menandatangani kontrak kesepakatan pembebasan lahan di Entikong. Matius menyanggupinya setelah ditawari komisi yang menguntungkan. Pengusaha yang dikawal beberapa orang itu lalu kembali ke mobil dan berlalu. Lalu aku putuskan menghampiri deputi Eksploitasi Lahan, Matius, untuk bernegosiasi. Ia tak bergeming menerima tawaranku saat kuputarkan rekaman percakapan yang kurekam sebelumnya. Ia tak bisa mengelak, dan memutuskan melibatkan aku dalam semua rencananya. Hingga pada hari ini, semuanya berantakan. Kusadari ia bisa lebih cerdik dari perkiraanku, dan kuyakin pengusaha kontraktor itu saat ini menanti kabar baik darinya.”
Cintya seperti bercerita kepada dirinya sendiri. Ardi yang menyimak tak percaya dengan semua yang didengarnya. Kompleksitas masalah itu begitu rumit dan terkait masa lalu personal sebuah keluarga. Ia bisa merasakan kekosongan yang perlahan terisi emosi mengalir keluar dari kata demi kata yang diucapkan wanita muda itu. Di belakang mereka, Satria menggeser tubuhnya yang masih terikat hingga ia terbangun perlahan. Cahaya remang pagi menyergap matanya. Punggungnya merasakan getaran demi getaran dari alur napas dan isak dalam dari tubuh Cintya.
“Tapi kukira semua sudah tak ada gunanya lagi sekarang.”
...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H