Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Belajar Mengakali Berita "Panas"

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="" align="alignnone" width="630" caption="Ilustrasi (Arabc.info)"][/caption] Di Kompasiana, nampaknya menuangkan berita ataupun pemikiran yang terkait dengan berita "panas" atau yang sering diistilahkan hot issue/hot news sudah menjadi bagian dari kemajuan berjejaring sosial. Setiap berita panas muncul di media-media arus utama, sebagian Kompasianer juga aktif mengalirkan kreativitasnya dalam bentuk tulisan-tulisan yang melengkapi, meski harus diakui sebagian lainnya masih berisi sama dan terkesan mengulang. Lalu, bagaimana mengakali berita panas tersebut agar tetap memiliki nilai lebih di blog media sosial ini? Berikut beberapa hal yang saya pelajari, mungkin rekan-rekan Kompasianer bisa menambahkan. Pertama, harus disadari terlebih dahulu kekuatan bahan tulisan kita. Maksudnya begini, seringkali ketika tertarik dan bersemangat untuk memuat tulisan terkait isu panas yang menjadi konsumsi publik, saya berulang kali melakukan pencarian dan pencocokan data melalui berbagai sumber dan mesin pencarian. Perlu ditekankan bahwa berita panas tidak selamanya harus dimuat segera. Hal ini menjadi penting sekaligus untuk menghindari potensi-potensi terjebak ke dalam berita-berita yang sebetulnya palsu (hoax). Setelah mendapatkan cukup informasi, maka hal pertama yang harus ditekankan dalam tulisan adalah sisi menariknya, sebagaimana prinsip warta warga secara umum. Jika menemukan sisi "lain" dari berita tersebut, maka gunakan itu untuk membangun perspektif baru atau lebih jauh, menyeimbangkan opini publik terhadap sebuah isu. Meski saat ini sudah jarang nimbrung dalam melaporkan berita terpanas yang saat ini kebanyakan didominasi politik dan humaniora, beberapa waktu lalu saya juga sempat aktif menulis reportase hot issue, katakan saja saat Gayus Halumoan Tambunan baru saja divonis. Setelah satu jam sebelumnya menonton berita dan mendapatkan informasi terkait hal tersebut dari media-media arus utama, saya membuat tulisan opini yang mengangkat isu perlindungan terhadap anak-anak Gayus pasca-vonis. Sampai sekarang pun, saya cari-cari ternyata hanya satu-dua media arus utama yang mengangkat tema serupa setelah saya menuliskannya di Kompasiana. Kedua, jika berita panas itu bersifat sudah lama dan mulai membosankan, maka sejatinya tulisan-tulisan terbaru akan dilihat dari sudut pandang yang baru pula. Saat menulis tulisan opini tentang hal-hal yang sekiranya masih "nyaman" dikonsumsi atau istilahnya masih "menjual", penting menyelipkan hal-hal baru dalam tulisan. Tentunya jika tulisan berbentuk opini akan lebih mudah menampilkannya, tapi jika berbentuk reportase, maka sudut pandang lain bisa dipakai, semisal reaksi publik melalui jejaring sosial setelah kasus bergulir lama, atau bisa jadi semangat publik mengikuti isu tersebut yang dibandingkan dengan munculnya isu-isu baru yang lebih "panas" dan menenggelamkan isu lama. Yah, saya rasa itu sering terjadi di negeri kita. Ketiga, saya belajar bahwa pelapor tidak selamanya harus terbawa isu arus utama. Media sosial seperti Kompasiana tumbuh besar karena penulis-penulisnya seringkali menggunakan gaya penulisan yang bebas mengikuti sudut pandang yang berbeda. Ketika ingin menulis tentang berita "panas" yang ramai di media arus utama, pertahankan gaya bahasa dan pengungkapan yang menjadi ciri khas sendiri. Kita ambil saja contoh bagaimana Kompasianer Iwan Piliang melaporkan kronologi pengalamannya mengikuti tindak-tanduk Nazaruddin, lalu ia tuliskan dalam seri tulisan dengan judul "Sketsa". Terbukti, tulisan-tulisan reportase dan opininya dicari dan dibaca banyak orang, karena ia ingin membuat jalur gaya sendiri, lain daripada yang lain. Hal ini berguna sekaligus sebagai cikal-bakal personal branding. Untuk yang satu ini, saya masih mempelajarinya dengan serius. Hehe.... Sebagai penutup tuangan isi pikiran ini, saya ingin mengungkapkan pendapat bahwa pada kenyataannya, tidak semua isu panas harus ditanggapi dengan tulisan di media sosial. Tentu saja karena preferensi minat dan kepentingan kita bisa saja berbeda. Meski demikian, seharusnya berita utama yang sebagian besar informasinya diserap dari media televisi dan surat kabar saat ini harus dipelajari ulang sebelum ditulis, baik dalam bentuk ulasan opini maupun reportase baru. Kehati-hatian sangat dibutuhkan dalam menanggapi isu "panas". Sudah banyak kejadian Kompasianer ikut memuat tulisan tentang isu yang panas berkembang lalu kemudian terjebak dalam skema yang dianggap menyesatkan, bahkan dianggap melakukan kebohongan publik. Selain mempelajari sudut pandang menarik sebuah berita dan gaya tutur yang lebih baru, seorang penulis sebaiknya melihat berita tersebut dari semua sudut pandang, baru kemudian menentukan arah tulisannya. Tentu saja ini dimaksudkan untuk menghindari komposisi berita yang tidak seimbang dan berpotensi memicu konflik. Jika sudah menentukan arah "mengakali" itu sendiri, barulah dengan yakin dan optimis sebuah berita panas yang dipoles dari segi menariknya akan jauh lebih menarik daripada yang banyak beredar di media-media arus utama . Pada akhirnya, saya merasa lega bisa menuangkan ini, sudah dua minggu "tertahan" di dalam pikiran. Mohon tambahan dan koreksinya jika memang ada yang perlu saya pelajari lagi. Senang bisa berbagi. ====

Tulisan-tulisan Lainnya




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline