[caption id="attachment_111350" align="aligncenter" width="653" caption="Cuplikan beberapa komentar di sebuah artikel tentang presiden, Kompas.com 30 Mei 2011."][/caption] Tak bisa dipungkiri, bentuk-bentuk warta warga (citizen journalism) saat ini memekar, bahkan hingga ke kolom komentar. Admin Kompasiana pada beberapa kesempatan blogshop mengemukakan bahwa kolom komentar adalah salah satu dari sekian banyak bentuk pewartaan warga yang patut diperhitungkan. Memang benar, seringkali klarifikasi, respon, ataupun koreksi terhadap sebuah isu dihantarkan langsung oleh seseorang secara sadar melalui kolom komentar, sebelum (mungkin) disampaikan dalam bentuk yang lebih terintegrasi semisal tulisan atau rilis pers. Hari ini saya membaca sebuah berita seru di Kompas.com tentang "curhatan kesekian kali" dari presiden terkait isu panas SMS dari seorang politisi yang belum jelas arah konfirmasi dan kebenarannya. Dalam berita itu, presiden menyampaikan perasaan sedih, kecewa, dan merasa dihinanya lantaran isu SMS tersebut. Ternyata, setelah mengarahkan laman ke bagian bawah, lebih dari lima puluh komentar sudah termuat. Uniknya, mayoritas dari kelima puluh komentar tersebut justru bernada negatif terhadap presiden. Tentunya ini mengingatkan kita pada "curhatan presiden" sebelumnya terkait gaji seorang kepala negara yang (katanya) tujuh tahun belum dinaikkan. Saat itu, reaksi masyarakat beragam dan menjadi cenderung panas akibat tayangan berita oleh media. Merespon kembali, akhirnya juru bicara presiden dan Menkopolhukam saat itu mengklarifikasi bahwa sebenarnya presiden tidak meminta naik gaji, akan tetapi hanya menyinggung integritas kerja yang saat itu ditujukan untuk para perwira militer. Kali ini, dengan lima puluhan respon pembaca terhadap "curhatan kesekian kali" presiden, seorang politisi langsung merespon. Pada Senin (30/5/2011) siang, beberapa jam setelah berita "curhatan kesekian kali" presiden dimuat, Kompas.com memuat berita terkait yang menyampaikan respon Pramono Anung terhadap perkataan presiden tersebut. Dalam laporan tersebut, Anung berpendapat bahwa tidak perlu presiden menyampaikan keluh kesah semacam itu di depan publik, karena justru akan menunjukkan kelemahan seorang kepala negara yang seharusnya menggiring rakyatnya untuk kuat menghadapi sebuah isu. Ternyata, pendapat tersebut senada dengan mayoritas komentar di tulisan "curhatan kesekian kali" presiden. Sebuah kebetulankah, atau hanya kesamaan pandangan. Saya jadi teringat sebuah tulisan saya pada April lalu di bawah berita terkait gerakan NII di Indonesia. Salah satu komentar di situ ternyata ditulis oleh seorang ibu yang sejak 2001 lalu kehilangan anaknya dan hingga berita itu ditulis, kedua anaknya belum kembali. Saya berinisiatif untuk menghubungi ibu itu sesuai kontak yang dicantumkan. Sayangnya, surel saya tidak dibalas dan saya belum bisa mendapatkan info lebih lanjut mengenai kasus ibu tersebut. Yang jelas, di mata saya, bentuk warta warga melalui kolom komentar saat ini semakin penting untuk diperhatikan. Siapa tahu ada komentar yang justru merupakan berita penting yang bisa menunjukkan para pembaca berita sebenarnya, ataupun klarifikasi yang bisa memutarbalikkan pandangan terhadap sebuah isu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H