[caption id="" align="aligncenter" width="512" caption="Masjid Agung Kauman Yogyakarta (tembi.org)"][/caption] Yogyakarta, 25 Februari 2011. Ini bukanlah kali pertama saya menginjakkan kaki di kompleks Masjid Agung (Gedhe) Kauman yang bersebelahan dengan Keraton Kesultanan Yogyakarta. Namun, kesan berbeda yang baru saya sadari siang tadi dalam rangkaian ibadah Jumat benar-benar menginspirasi saya untuk menuliskannya di lembar ini. Siang tidak begitu terik, seperti biasa sebagian jamaah masih menikmati tiupan sepoi-sepoi angin dari segala penjuru masjid, tepat di atas lantai marmer selasar utama. Di antara mereka ada yang bersandar di tiang utama, ada yang tiduran menghadap ke langit, ada pula yang melamun atau entah mendengarkan suara ayat suci Al Quran yang dilantunkan lirih dari dalam ruang utama masjid. Orang-orang ini berasal dari tempat dan latar belakang berbeda, namun alasan mereka berada di masjid ini sama: mendamaikan pikiran. Saya sendiri tiba sudah hampir pukul 11:45. Matahari sebentar lagi berada di atas ubun-ubun. Beberapa jamaah yang menggericikkan air wudhu di bagian utara masjid semakin menyejukkan pikiran. Sungguh berbeda atmosfer masjid agung yang berukuran besar dengan jamaah banyak, dengan masjid kampung yang tidak begitu ramai. Menjelang tengah hari saya dan adik saya sudah mengambil saf di bagian depan. Kesejukan di dalam masjid ternyata jauh lebih terasa daripada di luar. Bisa jadi karena tidak ada hawa panas matahari yang bisa menembus ventilasi kayu coklat tua yang menjulang sekitar 25 meter di atas kepala jamaah, atau mungkin saja karena puluhan kipas angin yang digantung rendah di hampir semua bagian ruangan. Ini jelas-jelas bukan mesin waktu. Akan tetapi beberapa hiasan lampu gantung simetrsis dengan empat bilah besi berukir yang tiap-tiapnya menopang kaca putih tak bertutup dengan lampu kecil putih bertengger di sumbunya mengantarkan pikiran spiritual saya jauh lebih dalam ke masa saat masjid ini dibangun, diperjuangkan oleh para pendirinya. Konon, Masjid Gedhe Kauman dibangun pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana I, sekitar 16 tahun setelah Keraton Ngayogyakarto Hadiningrat didirikan. Kyai Pengulu Faqih Ibrahim Dipanigrat memprakarsai berdirinya pusat ibadah islam bagi kerajaan Mataram. Pihak kerajaan kemudian menyetujuinya dengan menunjuk Tumenggung Wiryakusuma yang sekaligus bertugas sebagai arsitek Keraton. Bidang utama masjid terdiri dari beberapa bagian, yaitu halaman, serambi, dan ruang ibadah utama. Sebuah pintu di tiap-tiap sisi utara dan selatan masjid yang memberikan akses udara yang lebih sejuk bagi ruang utama, selain dua buah pintu utama yang langsung menuju serambi. Atap tajug bertumpang tiga ditopang oleh 36 tiang yang tiap-tiapnya berpenampang bulat polos tanpa ukiran. Menurut catatan, deretan penopang ini disimbolkan sebagai 4 saka guru, 12 saka rawa, dan 20 saka emper. Pengeras suara sudah disiapkan. Semuanya terasa normal. Namun, satu hal yang benar-benar mendamaikan perasaan saya saat itu adalah ketika dahi saya tertempel di atas sajadah bersambung khas masjid yang mengalas lantai marmer itu. Serasa menyeruak ke setiap jaringan kepala hingga otak, wangi khas padang Arab yang lembut merangsang kendurnya setiap otot di hidung hingga muka saya. Wangi sekali. Entah ini adalah bentuk perhatian pengurus masjid dengan memberi pengharum pada tiap lembaran sajadah tebal yang lebih mirip karpet berbulu lembut itu, ataukah memang nuansa yang dibawa oleh seisi ruangan turut mengharumkan sajadah yang setiap pekan diinjak hingga ratusan kali itu. Motif sajadah itu memang nampak asing. Kemungkinan dibawa langsung dari Timur Tengah mengingat ada simbol pohon kurma beralaskan dua pedang khalifah menyilang di bawah akarnya. Berwarna merah tua berseling putih gading, sangat kolosal. Beginikah rasanya sujud di Tanah Khalifah sana, atau seperti ini ya rasanya sujud sebagai pejuang Agama. Saya yakin betul bahwa puluhan lembar sajadah yang membentang saling menyambung di atas puluhan saf masjid Gedhe ini wanginya sama semua. Wangi yang lembut dan mendamaikan. Saya belum sempat berucap, adik saya yang juga baru kelar melaksanakan salat sunat menegur, "Wangi sekali sajadahnya." Pikir saya, memang itu tujuannya. Agar bersyukurlah kita bahkan sebelum ibadah inti dimulai. Insya Allah nanti khusyu'. Saf merapat, khotbah dikumandangkan dan kami semua tenggelam dalam rasa khidmat luar biasa. Setelah saya mencoba menghitung dalam hati saat saf nampak lumayan penuh dari depan hingga belakang, saya bisa mengira-ngira bahwa jamaah yang datang berjumlah hingga 1.000 orang. Tak terdengar lagi suara celotehan ratusan anak TPA dan usia SD yang sebelumnya nampak sibuk berlarian di serambi bagian luar ruang utama masjid ini. Sesekali yang terdengar hanya suara air mengalir dari tempat wudhu atau suara batuk kecil dan bersin bergantian. Itulah kenikmatan ibadah. Selesai salat, ada satu hal lagi yang menuntaskan rasa damai saya di masjid itu. Berpapasan saya dengan beberapa anak SD, mungkin sebagian dari mereka tadi berlarian dan berteriak-teriak bercanda bersama di tengah-tengah jamaah dewasa sesaat sebelum jamaah berkumpul. Sekarang, saya baru tahu bahwa mereka bertugas (Setidaknya kelihatannya begitu) mengumpulkan kotak-kotak infaq yang sidah diisi ribuan jamaah ketika salat tadi. Ada dari mereka yang menggotong dua kotak kayu sekaligus, ada yang memanggulnya di pundak, ada yang mendorongnya begitu saja di atas lantai. Mereka menyempurnakan kesenangan bermain mereka dengan memberikan sebagian tenaga bagi kemaslahatan jamaah masjid. Pendidikan agama Islam di sekitar kompleks Masjid Kauman nampaknya memang sudah baik. Digelarnya beberapa sekolah usia TK dan TPA di sekitar kompleks masjid memberikan ruang lebih bagi anak-anak untuk mendekatkan diri dengan lingkungan religius yang merakyat. Merakyat saya pikir, karena semua lapisan masyarakat bisa berkumpul dan berdiri satu saf di masjid ini. Bahkan, setahu saya muadzin jumat adalah seorang pemuda lajang yang kelihatan idealis, lalu sang imam utama adalah seorang sepuh yang bergaya konservatif. Mungkin karena itu juga mengapa hemparan lembar-lembar sajadah di dalam ruang utama masjid motifnya tidak begitu meriah. Menandakan kesederhanaan dan kepolosan berihram dan beribadah. Sudah sejak dulu, mungkin. Saya yakin pula, wangi semerbak yang lembut dari tiap sajadah di ruang utama itu akan membawa kedamaian yang sama bagi semua orang, walaupun selera parfum mereka berbeda-beda, atau ada yang alergi maupun yang tidak. Pantas saja sejak dahulu bangunan-bangunan masjid di Yogyakarta dan daerah lain Nusantara selalu difungsikan sebagai pusat pergerakan dan pendidikan. Tak mengherankan pula jika kemudian K.H. Ahmad Dahlan membangun jiwa Muhammadiyah dari serambi Masjid Gedhe Kauman ini, tahun 1912 silam. [Afs] --------------------------------- Sumber contekan: gudeg.net tembi.org.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H