Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Kami Butuh Pengajar

Diperbarui: 26 Juni 2015   09:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12946339111124114260

Kompasiana- Masih banyak bukti menunjukkan belum optimalnya pendidikan masyarakat desa kita. Desa atau kampung-kampung yang tempatnya relatif terpencil, walaupun secara geografis berjarak hanya beberapa kilometer dari ibukota kabupaten di sebuah provinsi besar. Hal inilah yang nampak oleh kami saat mengadakan kunjungan silaturahmi sekaligus penyakuran sumbangan renovasi masjid di Kampung Surowono Kidul, Desa Bumiharjo, Kecamatan Kemalang, Klaten, Jawa Tengah, Minggu (9/1). Suasana kampung itu cukup asri. Pola pengembangan tata letak desa menjadikan penampilan desa ini tak ubahnya sebuah kota besar dengan blok-blok kelompok KK (kepala keluarga) dan jalan batu berpetak-petak. Semuanya nampak teratur, jauh dari kesan kumuh. Bahkan drainasenya jauh lebih baik daripada beberapa ibukota provinsi yang becek, atau banyak genangan air. Kebiasaan masyarakat desa yang menyapu pekarangan rumahnya setiap menjelang sore hati yang menjaga perkampungan mereka tetap nyaman walaupun nampak melebur dengan kawasan perkebunan warga dan rumpun-rumpun bambu. Meski begitu, tetap saja taraf hidup masyarakat kampung yang mayoritas berprofesi petani ini masih sangat jauh dari memadai, apalagi masalah pendidikan warga. Doto, salah satu tokoh desa sekaligus pengurus masjid setempat, mengakui kesulitan mengembangkan pendidikan warga, khususnya pendidikan agama. Jumlah masjid seukuran mushala yang hanya satu untuk sekitar 50 KK ini jauh dari mencukupi. Ditambah lagi, kondisi bangunan masjid sendiri membutuhkan renovasi di sana-sini sehingga nyaris tak ada semangat ibadah dan belajar bagi warganya. Ia juga mengungkapkan bahwa taraf pendidikan masyarakat desa yang sangat rencah dipersulit lagi dengan jauhnya jarak tempuh ke sekolah-sekolah negeri terdekat. Lokasi kampung yang jaug dari jalan utama menjadi faktor utama dan sangat menghambat pendidikan generasi muda kampung ini. Sebagian kecil anak usia sekolah oleh orangtua mereka disekolahkan di kota kabupaten bahkan hingga harus ke Sleman yang jaraknya kurang lebih 30 km dari desa itu, diantar dan dijemput setiap hari ke sekolah negeri tempat mereka menimba ilmu. Anak-anak desa "dipaksa" dewasa lebih cepat karena pendidikan yang rendah. Sebagian diajak berjualan, sebagian lain harus berkebun, bahkan ada yang menjadi pengasuh bayi. Anak-anak di kampung ini bermain dengan pergaulan mereka sendiri dan dengan permainan desa mereka sendiri. Mereka enggan memuja-muja modern-nya gaya hidup kota luar, mereka bahkan belum pernah dan tidak mau kenal dengan "hedonisme". Mereka belum tahu apa-apa. Saat ini, menurut Doto, kebutuhan paling mendesak untuk memenuhi kebutuhan pendidikan masyarakat kampung Surowono Kidul adalah tenaga pengajar, baik untuk pendidikan umum maupun pendidikan agama. Mushala yang tersedia membutuhkan pengajar "ngaji" bagi anak-anak dan orang dewasa kampung yang ingin belajar. "Kami butuh tenaga pengajar sukarela. Pola pikir masyarkat desa ini harus diubah, dan mereka harus mau belajar, Doto menambahkan." Menurutnya lagi, program-program KKN (kuliah kerja nyata) yang beberapa kali singgah di kampung mereka hanya menyisakan hal-hal fisik yang sebetulnya tidak esensial seperti pos ronda, gapura, dan gerbang kawasan pemakaman umum. Di sisi lain, hal-hal prikologis, rohani, dan perbaikan pola pikir masyarakat yang sejatinya jauh lebih dibutuhkan sangat jarang dihasilkan oleh para mahasiswa KKN. Tidak mengherankan pula jika mereka terkesan enggan dan skeptis saat ditanya apakah desa ini masih membutuhkan KKN dari kampus-kampus yang ada. Selain itu, secara formal masyarakat desa ini juga jarang tersentuh manfaat birokrasi. Mereka tidak banyak tahu tentang program-program pemberdayaan masyarakat desa, PNPM, atau hal terkait program pemerintah lainnya. Lasana, salah seorang perangkat desa setempat mengakui bahwa jarang sekali ada bantuan pemerintah yang masuk ke kampung mereka. Bahkan untuk sekedar memastikan ketersediaan air bersih, mereka harus berinisiatif membangun tandon-tandon air berukuran sekitar 20 x 5 meter di beberapa titik kampung. Di tempat-tempat umum seperti mushala, warga memasang tong setinggi setengah meter yang kemudian dimodifikasi sedemikian rupa sehingga menjadi tempat berwudhu. Berdasarkan pengamatan, jumlah tong di mushala hanya ada satu, terisi sepertiganya, dan di dasarnya masih mengendap sisa-sisa abu vulkanik Merapi.

"Ya, kampung ini pasti rata dengan tanah jika saja wedhus gembel menyapu 2 kilomoter lagi lebih ke selatan." katanya saat ditanya tentang sapuan bencana Merapi.

Pada saat erupsi merapi 6 Desember 2010 lalu, awan panas yang mematikan tersebut bergerak ke arah wilayah Kemalang menyapu perkampungan-perkampungan yang jaraknya di bawah 3 kilometer dari puncak. Warga Kampung Surowono Kidul pun masih bernapas lega karena tidak terkena awan panas walaupun mereka merelakan tanah hidup mereka tertutup abu vulkanik setebal 10 cm selama sebulan penuh. Akibat bencana erupsi Merapi pula, kegiatan renovasi Masjid yang sempat berjalan beberapa bulan harus terhenti. Masyarakat kesulitan dana. Itulah pula yang menjadi alasan mengapa kami memberikan bantuan bagi korban Merapi di sana dalam bentuk dana renovasi masjid. Jumlahnya tidak terlalu banyak, namun itu sangat berarti bagi mereka. Mereka dengan nilai-nilai tradisi yang masih dipegang kuat dipadukan dengan norma sosial yang tertanam di batin mereka dari setiap generasi menyambut kami dengan sangat laur biasa. Mereka menyiapkan makanan berbahan dasar setidaknya tiga jenis hasil kebun, mentah dan matang, belum lagi makanan siang yang bagi kami terasa sangat nikmat dan bernilai lebih dari sekedar nasi dan sayuran. Kampung Surowono Kidul sendiri terletak di Kecamatan Kemalang, Klaten. Kita melalui pasar Kembang Klaten jika ingin menuju ke sana. Kontur tanah yang berada pada dataran tinggi sekitar 7 km dari puncak Merapi memberikan kesan sejuk saat pertama kali memasuki desa ini. Nyaris tidak ada sengatan terlalu panas oleh matahari karena ribuan pohon masih melindungi jalan-jalannya dan berhektar-hektar sawah masih membentang di kampung-kampung di bawahnya. Mereka sangat membutuhkan bantuan. Sebagian kecil warganya adalah generasi lama yang sudah tua. Pak Baris, salah satu dari tokoh tua desa mengungkapkan ungkapan bahwa kepedulian pendidikan sekarang jauh lebih buruk daripada saat-saat komunisme tahun 1950-an dulu. Menceritakan pengalamannya saat masih duduk sebagai siswa SR (Sekolah Rakyat, setingkat SD saat zaman perjuangan Kemerdekaan) berceletuk bahwa anak-anak SD-SMP sekarang diminta menghapalkan letak gunung-gunung di Indonesia saja tidak mampu. Padahal, dulu ia dan teman-temannya di SR menghapalkan bahkan ketinggian semua gunung di Indonesia. Ia bahkan dengan senyum ramahnya masih fasih menebak tinggi Merapi yang berkisar 2973 dpl (Wikipedia mencatat 2968 dpl pada 2004). Memang, pembinaan dan pendampingan masyarakat dalam memperbaiki pola pikir mereka akan sangat membantu, dan bisa mengubah kualitas hidup masyarakatnya agar tidak menimbulkan kesan kontras, sebagai sebuah desa yang (ternyata) sangat dekat dari pusat kultur dan modernisme pembangunan. [afs] Laporan Kunjungan, Divisi Hubsosmas Himpunan Pelajar Mahasiswa Bantaeng, Sulsel komisariat Yogyakarta. *** GALERI

[caption id="attachment_82415" align="aligncenter" width="544" caption="Silaturahmi di Rumah Keluarga Ibu Purwanti bersama para perangkat desa."][/caption] [caption id="attachment_82418" align="aligncenter" width="550" caption="Pak Doto (baju batik lengan panjang), Mbah Baris, dan Pak Lasana"]

1294634169414840519

[/caption] [caption id="attachment_82421" align="aligncenter" width="543" caption="Mushala Al Barokah dengan satu tong airnya"]

1294634516791112807

[/caption] [caption id="attachment_82422" align="aligncenter" width="550" caption="Kondisi terkini di lereng Merapi, kawasan wisata Deles, 2 km dari puncak."]

12946346182043907364

[/caption] [caption id="attachment_82423" align="aligncenter" width="542" caption="Sedikit Dramatisasi di Lereng Merapi"]

12946349871991267249

[/caption]



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline