Jauh di pedalaman Sulawesi, hidup suku Kajang yang pola kehidupannya telah menginspirasi banyak orang. Sebagian besar dari sekitar 240 keluarga ini hidup tanpa listrik, makan dari tempurung kelapa, dan mandi bersama di mata air umum ratusan tahun.
Orang-orang Kajang percaya aturan adat (dan anjing-anjing) adalah penjaga hutan yang terbaik selain manusia, dan barangsiapa melanggar wilayah yang dijaga tradisi akan dikucilkan sedemikian rupa, atau diusir sampai keluar pulau. Kehidupan yang beradat ini rupanya menarik banyak orang modern datang. Sejak awal 1980-an orang-orang dari kota di Sulawesi Selatan, para transmigran limpahan Kalimantan, bahkan orang-orang terdidik dari Jawa datang sekadar ingin menyaksikan, sampai ingin tahu banyak soal kehidupan satu dari sedikit suku tertutup di Indonesia.
Sebagian dari para tamu ini adalah adalah peneliti, terbanyak pertama sebelum mereka para pelancong. Araira masuk kelompok pertama ini. Perjalanan lima jam dari Makassar, melewati jalanan tak seberapa bagusnya, membuatnya cukup pusing waktu itu.
Tengah September ini sang mahasiswi Kedokteran Universitas Andalas sudah resmi tinggal di Tanah Kajang selama tiga bulan. Sewaktu menginjak pertama kali tanah itu, Araira melihat rumah-rumah panggung, orang-orang bertelanjang dada dengan senyuman lebar menginang, ia langsung teringat suku lama di Sumatra yang ia kenal dari cerita-cerita Nias, sisa-sisa pendudukan Gayo, sampai menyeberang ke cerita-cerita suku Punan yang terkenal pernah memakan sesama manusia. Ia tahu betul rupa kain Ulos yang khas Batak atau kain sulam emas pengaruh Melayu pada abad kelimabelas, tapi lilitan kain serbahitam seperti di Kajang ini benar-benar baru baginya. Ia melihat anjing-anjing kampung berkeliaran keluar masuk kampung dan tidur di serambi rumah, ingatannya terbang ke kampung masa kecilnya di lereng Sinabung yang dingin. Dari televisi dan Wiki yang sengaja diikutinya Araira tahu, kain Hitam pada suku Kajang merupakan pertanda kedekatan pada Tuhan dan penghormatan terhadap tradisi leluhur, tersusun rapi dalam aturan adat dinamisme yang tersisa dari zaman neolitikum. Satu saja kekecewaannya karena sebagian kecil penduduk yang “menggugat kemelaratan” merasa bebas saja membawa sepeda motornya masuk melintasi batas adat, atau diam menatap ngeri sambil menyembunyikan ponsel-ponsel murahnya di belakang sarung. Cuma satu kalimat yang keluar dari mulutnya begitu saja hari pertama itu.
“Ini kehidupan berbeda, yang memanggil kita.”
Araira terlibat dalam tim kecil terdiri dari enam orang: satu dosen dan lima mahasiswa. Kampus Kedokteran tempatnya belajar rupanya berniat meruntuhkan penilaian subjektif masyarakat bahwa orang-orang belajar ilmu kedokteran modern sudah tidak tertarik untuk melebur dalam kehidupan masyarakat duafa. Untuk empat bulan mereka dikirim untuk mempelajari mitos-mitos kesehatan masyarakat adat, menjamahi pola kehidupan mereka --banyak studi mengungkapkan bahwa metabolisme tubuh orang-orang suku pedalaman cenderung lebih baik ketimbang orang-orang desa pada umumnya, apalagi kota--, sampai mendata sekelumit aturan adat mereka yang mengatur pembuatan, penyaluran, sampai pelestarian obat-obat tradisi. Mereka tahu dan menyepakati apa yang boleh dan yang tidak boleh dimakan. Mereka punya jadwal gotong royong dan pola aturan yang semua bermuara pada “keseimbangan alam”. Bahkan angin ribut dan atau hujan besar dianggap sebagai pesan penting dari Sang Penjaga Alam.
Tim dibagi menjadi dua fokus kerja, dan Araira mendapat jatah sisi Sosio-Humaniora. Salah seorang rekannya, Hasta --yang urakan dan susah dikasih tenggat, bahkan mencandai kalau marga ‘Simanjuntak’ diganti saja dan namanya lebih baik jadi Araira Humaniora. Dalam tugas sosius inilah Araira menemukan semangatnya. Ia bisa berkeliling kampung dan ikut memasak nasi jagung atau ikan panggang, bertanya tentang sejarah mengapa dapur orang-orang Kajang posisinya di depan dan bukannya di belakang? Juga, ia bebas saja meluruskan kaki kala capek duduk melantai beralas papan dan terpal rumput. Ketertarikannya ini rupanya membuat Araira paling dikenal warga kampung. Ia disenangi ibu-ibu tua, selalu lancar berkomunikasi dengan para lelaki tetua, bahkan suatu malam pernah terbatuk-batuk karena diizinkan mengisap tembakau pekat yang lintingannya hanya dari kertas seukuran korek api. Keakraban itu pula yang membuat Araira kian dekat dengan seorang laki-laki setempat.
Suman, nama laki-laki itu. Perawakannya kekar dan senyumnya memikat (atau mungkin juga malu-malu karena ia kerapkali harus bertelanjang dada di depan para tamunya). Araira mengenal Suman pertama kali ketika minggu rehat pertama, rombongan kecil mereka diajak ke dalam hutan dan menyantap kelapa muda yang segar langsung di bawah pohonnya. Tiba-tiba seekor anjing melengking dan melompat waktu itu, mungkin tertarik dengan wangi parfum sitrus yang dikenakan seorang anggota tim, dan malah melompat ke Araira yang berdiri paling dekat. Nyaris saja rambut Araira tergigit atau kakinya yang dilindungi denim abu-abu tergigit. Tapi tangan gesit Suman menepis kepala anjing itu dengan keras sampai akhirnya anjing itu meratap pilu sebelum pergi, duduk menjauh.
Ke depan-ke depannya, Araira dan Suman sering bertemu. Mereka bertukar keadaan keluarga, sampai akhirnya Araira tahu bahwa Suman seorang sendirian. Ia hanya tinggal bersama neneknya lantaran kedua orangtuanya hijrah ke Kalimantan untuk bekerja. Paman dan bibinya tinggal di pinggiran dan hanya datang dua minggu sekali untuk menjenguk rumah. Bahkan pada suatu hari Araira diajak bertemu nenek dari Suman yang kata laki-laki itu, “mirip dengan Araira,”. Barulah sewakti melihat langsung sosok tua renta yang terbaring dengan kaki lumpuh itu, gadis itu paham. Matanya berbinar meski sosoknya menonjolkan kerapuhan. Ia mudah akrab meski tak terlalu berani menyapa lebih dulu. Araira dan nenek Sima seperti ibu dan anak, dan nasi jagung beserta ikan kering sering berada di antara mereka.
Aira dan Suman juga sering terlibat percakapan yang menurut mereka, dan beberapa teman lainnya, terdengar lucu. Araira sering ingin berlatih bahasa Konjo (bahasa asli suku itu) akan tetapi Suman malah belepotan mencoba bicara dalam bahasa Indonesia.
“Antere’… kintu… mange…?” Araira berucap sambil menghitung dengan jari. “Benar begitu?”
“Iyye’ sudah benar. Betul,” jawab Suman. “Itu se..harusnya… bunyinya… kayak… begini…: Antere’ kintu mae. Mau ke mana Anda?”
“Ih, Anda…. Kita ini seperti atasan sama bosnya. Ha-ha-ha… pakai-pakai bahasa anda. Endak tauk!”
“Ha-ha-ha-ha….”
Di banyak sore, mereka lebih banyak tertawa daripada berbincang hal-hal penting.
Berminggu-minggu pertemanan mereka yang mengundang simpati, Araira mengerti ada sesuatu yang ingin diungkapkan Suman, jauh dari dalam lubuk hatinya. Mungkin ini yang dinamakan pertalian pikiran, seperti pupuk sintetis modern yang bertemu padi. Satunya datang dari didikan lingkungan borjuis, lainnya datang dengan kearifan proletar yang magis. Beberapa kali Araira membujuk agar Suman bercerita saja tentang angan-angan dan atau keinginan yang singgah di pikirannya, tapi laki-laki itu menggeleng dan tersenyum. Kalau sudah begitu Araira cepat-cepat mengalihkan topik pembicaraan --ia senang juga membahas anjing-anjing kampung dan atau kisah sakral di balik rumah pemimpin adat Ammatoa yang terkenal itu. Kemudian begitu saja, obrolan mereka mengalir ke mana-mana, dari ke mana saja para pemuda Kajang “Kok jarang kelihatan ya, yang laki-laki aku tahunya cuma Suman.” Sampai membahas cara bergaul dokter Candra, sang dosen tim, yang rupa-rupanya begitu kegirangan setiap kali diundang menyantap barobbo’ --semacam bubur jagung bercampur lauk ikan kering dan anek sayur-- di kampung sebelah di siang panas yang terik.
Akan tetapi rasa senang penuh kemurahan hati yang ditunjukkan Suman hari demi hari (tidak cuma kepada Araira melainkan ke semua anggota tim) memaksa Araira untuk coba peruntungannya. Ia sudah merasa jalinan pertemanan mereka akan bertahan bahkan selepas ia mengabdi di sini, dan meski mungkin sedikit arogan jika ia memaksakan keinginannya pada penduduk desa yang terbiasa menutup diri dari kehidupan luar. Tapi bagaimanapun ia harus mencobanya, daripada pulang dengan rasa gusar yang mengganggu.
Araira mendatangi rumah Suman, sebuah rumah panggung di bukit agak tinggi sebelah tenggara kampung itu. Batu-batu seperti karang tersusun besar-kecil membentuk pondasi sedemikian rupa. Dari susunan pondasi itulah berdiri delapan tiang penopang rumah, termasuk serambinya yang dengan jalan dihubungkan dengan tangga kayu jati yang landai. Dindingnya tersusun dari papan-papan tak bercat dan dua jendelanya berada di samping. Dari atap bagian depannya mengepul sedikit asap kebiruan sisa pembakaran kayu di bilik kecil di sudut situ. Asap ini pasti tercium oleh siapapun yang melewati tangga.
Hampir Araira menaiki tangga itu, tapi lebih dulu dari atas sana, dari dalam kegelapan ruang tamu, melompat turun Suman. Araira terkejut bukan main dan bertanya apa gerangan yang membuat laki-laki itu seperti ketakutan.
“Nenek Sima…. Nenek Sima!” ujar Suman panik. Ia seperti kebingungan sendiri, entah minta tolong kepada siapa. Maka Araira tak perlu membalas apa-apa lagi. Ia berlari, meninggalkan sepatunya di jalan begitu saja, kemudian menaiki rumah itu dan berjinjit ke arah belakang.
“Nek Sima!” Araira berjongkok di sisi pembaringan perempuan renta yang hanya terlilit kain sarung di sekujur tubuhnya itu. Nenek itu terengah-engah sedemikian rupa, mengangkat tangannya ke udara seperti memanggil-manggil sesuatu. Araira dekatkan telinganya ke mulut nenek itu, kemudian memanggil Suman.
“Suman! Sini kamu dekat sini!” ujar Araira. “Sudah berapa lama nenek begini?”
“Bagaimana?”
“Napasnya, Suman!”
“Oh, beerupi. Silalonna. Barusan,” ujarnya tak bisa mengatur kata-kata. “Tadi saya turun, dia kejang-kejang. Sampai begini!” Suman menggetarkan badan dan kepalanya sedemikian rupa, menirukan keadaan neneknya.
“Sudahlah.” Dengan gemas Araira kemudian mengeluarkan ponsel dari sakunya, sempat menangkap nada sinyal, putus-putus, dan lagi sambungan dihentikan dari sana begitu saja. Rupa-rupanya bubur jagung benar-benar membius nikmat dosennya di kampung sebelah sana sampai-sampai ia abai terhadap panggilan di jam istirahat itu. “Aah!” Araira nyaris mengumpat sendiri.
Dengan susah payah Araira mengingat cara melakukan penanganan respiratori pada pasien rapuh. Ia coba dengan meninggikan kepala nenek Sima, dipegangnya tangannya --sekaligus untuk menghitung detak jantung. Ia juga meminta Suman untuk ke pos dan kemudian kembali membawa dua rekannya. Begitulah, tiga calon dokter untuk pertama kalinya, menghadapi situasi krisis mereka sendiri. Matahari hampir tenggelam saat akhirnya Nenek Sima tenang. Araira dan dua temannya menyeka keringat, dan memastikan uap hangat tetap ada untuk menjaga siklus napas “pasien”. Araira bangkit menutup jendela, dan menerima segelas kopi pahit panas dari Suman. Saat dua rekannya menikmati makan malam di serambi, Araira dan Suman menunggui nenek Sima.
“Untung ada Araira….” Suman berterima kasih. “Sudah pasti saya tidak sempat kalau mau panggil sanro kemari. Nenek sudah lemah sekali badannya. Cepat sesak napas.”
“Asma. Memang di umur seperti Nenek Sima ini, kamu harus lebih sering temani dia, Suman. Orang tua biasanya menganggap anak-anak di sekitarnya sebagai obat untuk segala penyakit. Itu kata Pak Candra ke kami: bahwa obat pertama dan utama untuk orang dalam masa kritis adalah dukungan orang-orang terdekatnya. Ada suami yang berhasil sadar dari koma --itu orang kalau sudah seperti meninggal--, bisa sadar, karena mendengar suara istrinya. Ada ibu yang selamat dari operasi melahirkan yang rasanya sakit sekali, karena ingat anaknya menunggu di luar. Kata-kata seperti itulah yang bikin saya, teman-teman lain di kedokteran, bersemangat. Setelah melihat kondisi Nenek Sima tadi, saya kira semua cara dia bertahan adalah karena kamu juga.”
Suman tersenyum. Wajahnya memerah tidak keruan.
Studi lapangan itu berakhir jelang tahun baru. Acara perpisahan digelar dengan santapan bubur jagung yang tak habis-habis. Pimpinan tim yang juga dosen Candra terang-terangan mengaku bahwa berat badannya ia taksir naik sampai lima kilo. “Aneh karena awalnya saya pikir di Kajang itu kita cuma bisa makan umbi-umbian!” katanya sambil tertawa mengelus perut.
Araira terdiam selama dua jam perjalanan yang membawanya pergi. Di pikirannya masih tersisa kenang-kenang manis tentang hutan yang dijaga, tentang masyarakat yang beradat dan beradab, tentang kota yang selama ini ia kira tumpuan harapan, dan tentang seorang laki-laki yang tak ia dengar kisah utuh darinya. Insiden Nenek Sima menunda keinginannya untuk terkabul. Ia urung bertanya apa gerangan yang ada di kepala Suman dengan banyak raut muka yang kebingungan dan malu-malu itu.
Tapi mungkin Araira akan kembali. Kelak, ketika kehidupan yang berbeda itu memanggilnya.
----------------------------------
Ilustrasi: Sebuah rumah di Kampung Adat Kajang Ammatoa/infobackpacker.com
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H