Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Demi Lampu

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

*

Jam lima sore di Jagebob, Silvester Nenat memutuskan menaiki bukit berjarak tiga ratus meter dari rumahnya. Setelah berdiri beberapa menit di dekat puncak distrik III, ia menjatuhkan tasnya yang berisi peralatan listrik ke tanah berumput kemudian menikmati pemandangan harian yang hanya terjadi di ketinggian terjauh Papua itu. Kedua lututnya dilipat menyusul kepalanya mengangguk-angguk takjub, mengembangkan rambutnya yang ikal subur tapi kering.

Terhampar jauh di depan Silvester Nenat adalah cekungan lembah yang membentuk Jagebob, dengan silang-silangan jalan berdebu dan atap-atap yang merumbai. Dari atas bukit itu ia bisa menyaksikan bagaimana para pedagang Opu mulai mengemasi lada hitam dan sisa kopi yang tidak terjual, mengikuti arah jalan para pembeli kaya yang lalu-lalang dengan mobil berpenggerak empat roda mereka. Saat kabut perlahan terangkat, kegelapan justru baru akan menyelimuti distrik tempat kelahirannya itu.

Bukan tanpa alasan Silvester dan rekannya Robi duduk di bukit basah itu setiap sore. Setelah ayam akhirnya bertengger dan matahari tidak lagi nampak di ufuk barat, satu per satu biji kaca yang menggantung di ujung-ujung atap rumah di bawah sana berpijar. Di jalan-jalan setapak, tiang-tiang berbola lampu mulai menyiramkan cahaya ke sisa-sisa debu yang ditinggalkan pejalan kaki. Orang-orang dari kejauhan saling teriak dan mengangkat jempol. “Nyala... nyala!” kata mereka bersahutan dan bertepuk tangan. Distrik Jagebob menyala, aliran listrik pukul tujuh belas masuk sesuai janji pemerintah. Dari sudut pandang Silvester, kemeriahan itu seperti pesta yang tak terjadi tanpa disadari.

Di waktu malam merangkak, di saat cerita-cerita mulai saling bertukar dan rasa lelah rontok pelan-pelan di atas dipan, fase kedua dari kehidupan harian orang Jagebob dimulai. Mereka makan, mengunjungi besan, dan menimang cucu-cucu yang perutnya masih buncit. Babi-babi sudah masuk kandang dan sesekali warga menyapa tentara penjaga yang patroli. Tidak ada selebrasi berlebihan, karena di Jagebob lampu menyala sudah berarti kemurahan hati.

Demi lampu, orang-orang seperti Jagebob rela mengambil gaji kecil dan bekerja dengan alat-alat yang memberatkan noken[1]-nya.  Sejak pemerintahan Soeharto mencanangkan program transmigrasi ke tanah Papua pada 1997, sejak itu pula Silvester memboyong keluarganya pindah dari pinggiran distrik Tanah Atas ke Jagebob, mengemban tugas sebagai teknisi gardu generator (genset). Tujuh belas tahun sudah Silvester akrab dengan kunci Inggris, kabel-kabel, serta gunting pemotong dalam noken-nya. Kapanpun petugas penjaga gardu mendapati genset mati total atau perlu diganti olinya, Silvester dan Robi dipanggil. Kadang berdua, kadang sendiri-sendiri, tergantung kebutuhan. Ringkasnya, keberlangsungan kehidupan malam dua ratus enam puluh kepala keluarga di Jagebob tergantung tangan dan kunci-kunci milik dua teknisi ini.

Listrik di Jagebob cuma mengalir selama enam jam setiap harinya. Menyala jam lima sore, mati jam sebelas malam. Ini dikira-kira dari kebutuhan minyak diesel sebanyak dua galon per minggu dan kebutuhan biologis orang-orang yang memang di malam hari lebih banyak tidur daripada bekerja. Ongkos beli solar dan perawatan gardu sebesar tiga puluh ribu dibayar tiap bulan setiap warga dengan sistem retribusi kongsi, bayar ke pengampu distrik yang pendidikannya agak tinggi, meski agak diragukan karena satu-dua lulusan Jawa. Di gardu-gardu sebelum saklar genset ditarik turun, Silvester dan Robi bercengkerama soal banyak hal. Bedanya kali ini, Robi –yang sebenarnya orang Ternate tapi terdampar oleh kapal di Papua beberapa tahun silam—bertanya mengapa adat-istiadat di Jagebob masih kental soal perkawinan.

“Tidak seperti di Ternate,” ujar Robi mengisap Djarumnya dalam-dalam. Setengah gelas kopi hitam berampas pekat lesap di sela-sela bibirnya yang tak kalah hitamnya. “Di sana, kita mengakui hukum-hukum adat itu masih ada. Cuma, anak-anak mudanya wah... mereka canggih-canggih. Dibilang ndak boleh nikah selain sama orang Ternate, mereka malah balas ‘itu kan kata nenek to, kalau kataku, lain lagi. Beda zaman beda aturan. Kita mau kita pu pasangan putih-putih, tidak bau ikan, sekalian memperbaiki keturunan to.’. Mana ada orang tua ndak jengkel dikasih tahu kayak begitu.”

Silvester terkekeh melipat lengannya di depan dada. Matanya bercahaya di bawah lampu pijar satu-satunya yang menerangi bilik gardu itu. Ia biarkan lolongan anjing di kejauhan berlalu sebelum menimpali. “Kukasih tahu ko, Robi. Satu hal yang tidak ko mengerti soal adat Jagebob....” Silvester mencondongkan badannya, mengangkat kedua lengannya merapat di atas meja. “Apapun yang terjadi, perkawinan adatlah yang diutamakan. Mula-mula dan utama. Kalau ada halangan atau tentangan dari mana-mana mau cegah itu anak-anak kawin, bapaknya yang bantai. Ringkasnya, apa-apa yang adat butuh, anak-anak masih anggap itu semua kesenangan dia pu orang tua, jadinya apa? Mereka pasti ikuti. Seperti anakku Sella dan dia pu tunangan si Kolep itu. Mereka menikah, ndak pernah itu mau dibawa ke adat-adat Jakarta atau Toraja. Mereka orang Papua, dan mereka sadari itu sampai mati.”

Robi menggeleng takjub. Di matanya, tak banyak orang Papua sebaik Silvester yang bisa berbicara soal keluarga dengan begitu menggebu-gebu penuh keyakinan, sekaligus mantap teori budaya. Setahunya dulu-dulu, orang Papua tahunya Cuma hutan dan koteka. “Zaman benar tambah maju heh.... Omong-omong ini pace, Bagaimana persiapan Sella kawin lusa malam? Katanya pesta mau beli sirip ikan, benar begitu kah?”

“Kita pu rencana begitu begitu.” Silvester mendorong gelasnya sampai menghasilkan bunyi derit sebegitu rupa. Air mukanya agak memudar. “Sella pasti mau dia kawin di bawah cahaya-cahaya lampu, menyenangkan dia pu calon mempelai. Cuma satu sa pu pikiran, Robi, soal kawin-kawin itu. Sa mau itu pesta besar, meriah, untuk anakku satu-satunya. Tapi, itu bagemana?”

“Bagaimana apanya?”

“Ini?” pungkas Silvester sambil mengangkat ujung telunjuknya mengarah ke lampu pijar di atas tengah meja mereka. Lampu itu sudah dijamuri ramat, seperti saksi bisu yang sedari tadi mengolok-olok. “Percuma saja bermimpi pesta warna-warni kalau tidada listrik.”

**

Adalah pemandangan biasa di Jagebob ketika api-api unggun dinyalakan menyebar di setapak-setapak gerbang masuk distrik. Tujuh sampai delapan api unggun menyala tersebar setiap malamnya di dekat sungai-sungai paling rendah, sampai kaki-kaki bukit yang ditumbuhi pohon-pohon karet tak bertuan. Di samping menandai batas patroli warga, api-api unggun ini juga dipasang sebagai penghalau binatang buas yang biasanya mengincar pasar di bagian tengah-tengah kampung. Sesaat sebelum lampu padam jam sebelas malam, beberapa laki-laki muda sampai setengah baya sudah berkumpul di beberapa titik ini.

Tugas patroli keliling yang dipelopori polisi sektor berjalan biasa saja. Malam ketika Silvester dan Robi mendapat jatah keliling, mereka tiba-tiba terkejut dengan suara lengkingan dari tanah agak tinggi. Dari sela-sela beberapa rumah tak seberapa banyaknya itu, seperti ada perempuan yang berteriak meminta pertolongan. Ibarat petugas keamanan sebenarnya, Silvester dan Robi diikuti anggota tim lain –polisi belum bersama mereka—mendaki tangga batu ke arah datangnya suara. Setelah rumah dipastikan dan pintu runduknya dibuka, Silvester bertanya kepada mama yang tadi berteriak-teriak. Ia tanya ada apa, terus mama itu tunjuk ke arah pembaringan. Di atas tikar alang-alang itu, terbaring tak berdaya seorang tua berjenggot, berkepala botak, bercelana pendek. “Ini bapak sudah mau mati. Ya Tuhan Yesus, dia sudah mau mati!” kata nyonya rumah meraung-raung ke lantai. Suaminya yang telah renta seperti tulang terbungkus kulit, berminyak tapi tak berlemak.

Silvester mewakili anggota patroli lantas meminta nyonya rumah tenang. Ia bilang bahwa nanti diperiksa si suaminya ini, sebelum karena raung-raungan sedih itu tidak berhenti, ia menjongkok dan memeriksa lelaki renta yang tiba-tiba bergetar hebat di depannya. Bapak Bafua mesti ditolong segera. Penyakit seperti begini sering disaksikan Robi di televisi, maka ia mengatakan nama penyakit ‘ayan’ tanpa dimengerti sang nyonya rumah yang menjerit-jerit ketakutan, berkata-kata sumpah serapah dan bahwa roh leluhur mungkin menyerang rumahnya.

Setengah jam setelah pertemuan itu, Bapak Bafua ditandu dengan sarung menuju mobil pickup sewaan polisi sektor. Ia dimasukkan ke kabin depan, didudukkan dalam posisi pingsan tak berdaya. Silvester cepat saja menitip pesan lewat Robi untuk istri dan anak-anaknya di rumah,  “Mungkin sa pulang besok. Kasih tahu Popi, tidak usah kasih nyala obor. Tidur sa,” sebelum melompat ke atas mobil. Dengan tujuan puskesmas, kendaraan taktis itu menderitkan ban di atas setapak pasir, sebelum menghilang ke kegelapan dengan klakson meraung-raung.

Keesokan paginya di rumah Tuan Silvester, calon pasangan muda Sella dan Kolep sudah dipisah dari jauh-jauh hari. Sesuai garis adat, mahar perkawinan berupa tiga puluh ekor babi dan segepok perhiasan dari batu. Keluarga calon mempelai pria cukup kaya dan terpandang, meski itu bukan satu-satunya yang membuat Sella terkagum-kagum pada Kolep. Pertalian dua remaja sudah bisa diterima ketika keduanya sama-sama menaruh adat di depan, dan rasa kultus yang mempertemukan mereka. Sella tidak punya banyak pertimbangan tambahan di luar rasa cintanya yang tulus dan rasa kebeletnya memiliki anak sejak setahun sebelumnya. Akan tetapi jauh di belakang bilik-bilik ini, orang tua mereka was-was.

Ibunda Sella terutama, Popi, sedang harap-harap cemas. Apakah lampu akan menyala terus sampai acara perkawinan kelar di jam satu pagi, sebagaimana direncanakan sebagai pesta penyambutan bagi keluarga mempelai pria yang dikenal terpandang. Gengsi atas perbedaan lapisan sosial mulai merasuki ruang kepalanya. Ini dipersulit dengan janjinya pada sang calon besan –yang menganut adat hilir yang melimpah-- bahwa pesta semalam suntuk menjadi jaminan dan semuanya akan terang benderang seperti bayangan mereka. Kalau pesta berantakan gegara lampu mati tiba-tiba, semua bisa batal, termasuk pertalian dua remaja mereka.

“Papa di mana, mama?” tanya Sella menghampiri mamanya. “Nanti sore pulang to?” Harap-harap cemas.

Popi membalas putrinya bahwa ia sendiri tidak tahu ke mana sang bapak pergi. “Dia pasti pulang,” katanya menenangkan sembari meminta anaknya kembali ke prosesi rias yang akan memakan waktu ritual.

Di luar rumah, babi-babi mulai diseret para lelaki dan bilah-bilah parang mulai diasah. Ini beriringan dengan giringan nampan-nampan kayu yang dibawa kelompok perempuan dengan puluhan perhiasan yang dijanjikan. Dengan mas kawin sebanyak ini, tidak berlebihan kalau Silvester sewaktu lamaran sudah membayangkan kehidupan keluarganya akan naik minimal satu atau dua tingkat begitu Sella bunting.

Akan tetapi menjelang magrib, belum ada kabar dari sang bapak.

**

Tanpa diduga-duga saja, sekitar jam sembilan malam, orang-orang yang berkumpul di honai-honai adat tempat prosesi dilaksanakan, riuh. Beberapa orang lari memasuki kerumunan dengan teriakan-teriakan pilu.  Muncul di antara mereka Silvester, dan Robi yang baru saja menjemputnya di gerbang masuk distrik.

“Bapak Bafua mati. Dia meninggal!” teriak Silvester yang lalu disambut reaksi tidak percaya dari orang-orang. Sebagian mama saling tatap dalam rasa heran, karena mereka belum tahu soal penyakit kejang-kejang yang lama diderita si tua.

“Bafua meninggal! Dia di puskesmas Wenda dan sekarang mama Hilma sedang ke sana. Kita harus lapor gardu!” Silvester mulai berbicara kepada ketua suku.

Di dalam rumah, keluar Popi istrinya ditemani Sella anaknya. Silvester menghampiri dan memeluk mereka dan melaporkan berita yang dibawanya. “Bapak Bafua meninggal, mungkin kau Sella tidak tahu heh? Dia yang tinggal di bukit dekat menara sana. Semalam sa tidak pulang karena antarkan dia ke puskesmas. Tadi pagi, badannya sudah tidak bergerak-bergerak lagi. Dia su mati!”

“Apa-apaan bapak ini?” protes istrinya segera. “Anak kita mau kawin tapi ko datang bawa berita duka. Kenapa tidak lapor saja ke ketua kemudian ke gardu?”

“Iya benar. Ke gardu!” kata warga yang lain, seorang laki-laki paruh baya tambun dengan koteka dan parang di tangannya. “Kalau ada yang mati, lampu harus nyala sampai pagi to!?”

Warga sepakat dalam anggukan bergantian. Silvester melihat sekelilingnya, mempelajari reaksi orang-orang soal berita yang dibawanya, termasuk air muka keluarga besannya yang tak tahu sama sekali siapa Bapak Bafua itu atau apa kepentingan kampung ini dengan kematian seseorang. Ia sama sekali tidak berpikir akan berapa orang yang nantinya akan ke puskesmas dan melihat tubuh Bapak Bafua dalam keadaan yang sebenarnya. Tapi untuk sementara ia tidak mengambil banyak waktu, lekas-lekas mengatur rekan-rekannya sebelum memohon izin menuju gardu genset di atas bukit. Robi diajak bersamanya, sekalian meminta para lelaki lain mengawasi sekeliling dan memastikan pesta putrinya berlangsung sebagaimana direncanakan. Sella sang putri sekaligus calon mempelai, tak kuasa menahan rasanya untuk berteriak-teriak memanggil sang bapak, meski suaranya hanya pecah di udara.

Perjalanan ke bukit menara genset dengan lari-lari kecil tidak sampai lima belas menit. Dan dalam perjalanan itulah, Robi, rekan yang masih belum tahu betul rencana di dalam kepala Silvester, ragu-ragu bertanya.

Pace, memangnya Bapak Bafua benar-benar su mati?”

Silvester tersenyum penuh arti. Dengan pandangan matanya yang penuh semangat menatap gardu genset yang semakin dekat di depannya, ia menjawab, “Demi lampu, kawanku Robi. Kalau anakmu butuh sesuatu di hari dia mau kawin, apa ko mau cari di manapun sesuatu itu biar dia bahagia?”

Sekelompok warga duduk takzim di atas pickup yang membawa mereka menembus perbatasan Jagebob dan Wenda. Mereka harap-harap cemas di karena kabar dari Silvester Nenat. Mereka sama sekali tidak tahu, akan mendatangi seorang pasien yang didustakan sudah mati.

*

Jagebob di Merauke, Papua adalah satu dari ribuan kecamatan/distrik di Indonesia yang belum dialiri listrik harian secara penuh.

[1] Noken: semacam tas jaring rajutan yang bahan aslinya terbuat dari akar-akaran dan kulit kayu, dipakai dengan menahan ujung talinya di ubun-ubun kepala, dan menahan bobotnya di punggung. Noken telah dianggap sebagai bagian dari warisan budaya Papua.

--------------------------------------------

Ilustrasi:

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline