Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Prospek Kebijakan Luar Negeri Kedua Capres

Diperbarui: 23 Juni 2015   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kedua pasang kandidat Pilpres 2014. (Kompas.com/Herudin)

[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="Kedua pasang kandidat Pilpres 2014. (Kompas.com/Herudin)"][/caption]

Selain  masalah ketahanan pangan, energi dan ekonomi, rasa-rasanya ada beberapa isu penting yang belum disuarakan kedua calon presiden. Jika citra Prabowo dengan Gerindra selalu diiklankan hanya dengan sektor pangan dan nasionalisasi industri, capres Joko Widodo justru lebih misterius karena belum mau sesumbar soal arah kebijakannya jika terpilih kelak. Lalu, bagaimana komunitas dunia mendukung siapapun yang terpilih nanti?

Karena presiden merupakan kepala pemerintahan (ke dalam) sekaligus kepala negara (ke luar), banyak pengamat khawatir arah kebijakan kedua capres tumpul atau tidak konkret menghadapi dunia luar. Ini cukup menarik manakala arah kebijakan mendasar di dalam negeri (pangan, energi, kebijakan politik, penegakan hukum, dll.) sangat menonjol di media.

Padahal mau tidak mau, helatan pemilihan umum 2014 di Indonesia akan menjadi magnet diplomatik penting bagi dunia. Tidak cuma soal arah kebijakan presiden selanjutnya terkait batas-batas regional, tetapi juga soal sejauh mana peran Indonesia untuk angkat bicara di beberapa isu penting yang saat ini masih jadi masalah global.

Joko Widodo oleh banyak media internasional dipandang sebagai bentuk dari kebaruan politik dan inovasi pemerintahan. Predikatnya berada di jajaran wali kota terbaik dunia melambungkan citra internasionalnya, bahkan sebelum popular sebagai Gubernur DKI Jakarta. Meski demikian, Jokowi masih buram soal bagaimana dia (jika terpilih), mewakili Indonesia dalam diskusi internasional yang selama ini sudah ditampilkan cukup baik oleh Presiden Yudhoyono.

Laman Australian Institute for International Affairs menuliskan, Joko Widodo unggul sebagai sosok yang punya modal keberterimaan lebih baik, akan tetapi meragukan karena ketiadaan pengalaman berdiskusi dalam forum perwakilan dunia. Ini juga semakin jelas karena Joko Widodo bisa dibilang sangat jarang menyuarakan rencana strategis luar negeri Indonesia dalam visi-misinya. Hal yang tercantum di lembar visi-misi pun hanya mencatut “kedaulatan maritim” yang sampai saat ini belum dielaborasi wujud kebijakannya akan seperti apa.

Analis Natalie Sambhi dalam artikelnya menuliskan, jika jadi presiden, kemungkinan Joko Widodo akan lebih banyak memandatkan diskusi internasional kepada menteri luar negerinya, dengan menitipkan sejumlah agenda dan opini yang kemungkinan besar akan tetap tegas dan terbuka. Untuk itu, besar kemungkinan Joko Widodo memilih menteri luar negeri yang paling kompeten dan berpengalaman, dan paham dengan karakter hubungan luar negeri Indonesia yang tetap nonblok. Natalie juga menyinggung menteri luar negeri incumbent Marty Natalegawa sebagai sosok perwakilan Indonesia yang sangat disegani.

Di kubu lain, Prabowo Subianto akan mewakili  prospek negara Indonesia yang kuat secara militer. Sungguhpun, ketegasan seperti era Suharto saat ini tidak begitu popular di diskusi regional. Pengamat studi hubungan luar negeri Hadianto Wirajuda lewat opininya di The Jakarta Post (30/5) menuliskan, bentuk kampanye Prabowo yang seakan-akan ingin meneruskan pola pemerintahan Sukarno dan Suharto akan jadi masalah di penyelesaian konflik-konflik wilayah di masa mendatang.

Jika benar Prabowo lebih mementingkan penetrasi militerisme ketimbang diskusi meja dalam setiap konflik perbatasan, misalnya, maka citra baik Indonesia dalam meja-meja perundingan akan terkikis. Padahal, Prabowo belakangan ini sering menyanjung prestasi presiden SBY yang berhasil menelurkan terobosan diplomasi untuk isu-isu regional, termasuk perannya dalam kepemimpinan ASEAN dan APEC. Bukan Cuma itu. Jika Prabowo masih percaya pertahanan terbaik citra luar negeri Indonesia adalah militer, maka kemungkinan arah kebijakan penganggaran juga akan berubah. Pengadaan alutsista dan infrastruktur pertahanan akan ditambah, meninggalkan citra investasi pertahanan Indonesia era SBY yang selama ini dianggap belum cukup.

Selama ini peran Indonesia di beberapa isu global juga diapresiasi banyak negara. Indonesia di era pemerintahan SBY berhasil terlibat dalam perundingan perdamaian di Timur Tengah. Indonesia terlibat menyumbangkan rekomendasi lewat PBB terkait solusi perdamaian antara Palestina dan Israel, termasuk mendukung kemerdekaan Palestina secara materi dan immateri. Meskipun, di forum lain SBY ikut blok barat dengan meratifikasi kesepakatan agar segala bentuk pengayaan uranium untuk senjata di Timteng harus dihentikan.

Indonesia juga aktif sebagai tamu terhormat di forum-forum ekonomi dunia seperti KTT G20 dan G8 (yang pada Maret lalu berubah menjadi G7, mengeluarkan Rusia yang terlibat okupasi di Ukraina). Di regional, Indonesia memimpin negara-negara ASEAN yang dalam kebaruannya melahirkan forum baru East Asia Summit, mengakomodasi kepentingan dua negara Asia Timur Rusia dan Tiongkok, dan blok barat yang diwakili Amerika Serikat. Dalam semua forum penting ini, Indonesia terpandang dari segi ekonomi, pertahanan, dan komuniasi multilateral yang nyaris tanpa konflik.

Masalah yang belum selesai

Kedua kandidat presiden Indonesia saat ini juga harus menghadapi beberapa masalah Indonesia yang belum selesai dengan sejumlah negara. Ada masalah yang konkret, selebihnya berupa isu yang mana Indonesia mau tidak mau harus “menjawab atau meminta jawaban”.

Hingga jelang Yudhoyono turun tahta, Indonesia masih menyimpan ngilu berkepanjangan dengan negara tetangga di selatan, Australia. Saat Wikileaks membocorkan dokumen mantan kontraktor Agensi Keamanan Nasional A.S. Edward Snowden November lalu yang mengungkapkan bahwa Australia bersama “sekutunya” bersekongkol telah menyadap sejumlah petinggi negara Indonesia, Yudhoyono langsung bereaksi dan terlibat diskusi alot dengan Australia. Meskipun pada akhirnya Perdana Menteri Tony Abbott meyakinkan bahwa Australia menyesali “semua ini harus terjadi”, toh sampai saat ini tidak ada jawaban meyakinkan bahwa aksi intip itu akan dihentikan.

Keputusan Yudhoyono lewat menlu Marty Natalegawa menarik duta besar di KBRI Australia dinilai sebagai langkah tegas, sekaligus jadi penanda bahwa konflik bertetangga Indonesia-Australia belum menemui penyelesaian. Ditambah, Indonesia-Australia juga masih berkutat dengan konflik perairan terkait para pencari suaka. Mau tidak mau, ini akan jadi warisan penting dari Yudhoyono untuk siapapun presiden selanjutnya kelak: akan seperti apa arah hubungan berduri antara kedua negara.

Masalah lain yang belum selesai adalah segala hal terkait buruh migran. Bahkan sejak presiden Yudhoyono memberhentikan Kepala Badan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Jumhur Hidayat pada Maret lalu, masih saja ada berita-berita miring terkait para pekerja migran di Malaysia, Hongkong, juga di Arab Saudi.

Yang paling segar di ingatan adalah kasus buruh migran Wilfrida Soik yang terancam hukuman penjara seumur hidup di Malaysia, terkait tuduhan penganiayaan yang menyebabkan kematian majikannya, tahun lalu. Meski pada akhirnya Wilfrida dibebaskan dari kurungan penjara lantaran masih di bawah umur, organisasi perlindungan Migrant Care menegaskan bahwa Indonesia masih belum mampu membina pekerjanya di luar negeri, dan selalu terlambat menyelesaikan perundingan legal.

Apalagi, belakangan Migrant Care mencium pembebasan Wilfrida malah ditumpangi kepentingan politik prapemilu. Ini terjadi saat calon presiden dari Partai Gerindra Prabowo Subianto secara mengejutkan menghadiri pengadilan WIlfrida di Kota Bharu, Kelantan dalam beberapa kesempatan.

Masih ada pula pelajaran dari kasus mantan buruh migran Erwiana Sulistyaningsih, Satinah yang selamat dari Hukuman Pancung di Arab Saudi, dan beberapa daftar nama buruh migran Indonesia yang siap menghadapi vonis pengadilan. Dari kedua kandidat presiden Indonesia saat ini, bisakah publik menganalisis kubu mana yang akan bisa unggul dalam masalah-masalah ketenaga kerjaan penyumbang devisa?

Peran wakil presiden

Karena baik Joko Widodo maupun Prabowo Subianto punya celah kemampuan dalam membina hubungan luar negeri, mesti ada kompensasi yang bisa melengkapi kekuatan Indonesia sebagai pemain penting di global. Untungnya, kedua kandidat memilih calon wakil presiden yang portofolio luar negerinya sudah cukup baik. Meski dalam diskusi internasional presiden akan lebih sering didampingi para menteri terkait, setidak-tidaknya siapa wapres pendamping akan membantu dunia mempelajari arah kebijakan Indonesia untuk setiap persoalan.

Jusuf Kalla pendamping Jokowi sudah melalang buana sejak terangkat sebagai wakil presiden pertama kali pada 2004. Sejak itu, tidak terhitung jumlahnya JK menarik perhatian publik dunia lewat kamampuan komunikasinya yang luwes serta beberapa keputusannya terkait penyelesaian konflik. Ada resolusi damai antara Hasan Tiro dan GAM yang disaksikan dunia dari Helsinki, Finlandia, tak lama Aceh dihantam tsunami pada 2004. JK juga diapresiasi PBB serta Amnesty International saat berhasil menginisiasi penyelesaian konflik di Poso, Sulawesi Tengah pada 2001. Di banyak kredensialnya, JK adalah sosok negarawan yang mumpuni dengan enam gelar Honoris Causa bidang perdamaian, satu isu abadi dalam hubungan luar negeri negara manapun.

Sementara calon wakil presiden Hatta Radjasa banyak dikenal lewat forum-forum APEC, EAS, dan KTT G20. HarianThe Economist sempat menuliskan sosok Hatta sebagai pemegang kunci kemenangan jika memang nantinya Prabowo diterima memimpin Indonesia di mata internasional.

Meski beberapa kalangan menyebut kesuksesan Hatta Radjasa banyak dipengaruhi popularisme sang pemimpin Yudhoyono, tidak bisa dipungkiri bahwa pengalaman Hatta sebagai menko perekonomian menyimpan bekal cukup bagi Prabowo yang belum pernah terlibat dalam forum pemerintah, setidak-tidaknya di Asia. Hatta terkenal sejalan dengan banyak kebijakan ekonomi Yudhoyono yang berorientasi pertumbuhan dan foreign direct investment.

Dalam lembar visi-misi kedua kandidat, pasangan Prabowo menjunjung tinggi asas hubungan luar negeri yang bebas dan terbuka, sementara Jokowi menegaskan kekuatan Indonesia sebagai negara maritim. Prabowo mungkin masih terkendala hal-hal teknis seperti citra masa lalunya ataupun keputusan Amerika Serikat yang masih menolak visanya. Sementara Jokowi dinilai lack of experience dan belum terukur secara global.

Prabowo bisa membanggakan pengalamannya selama sembilan tahun di Timur Tengah dan atau status “hadiah” kewarganegaraan kehormatannya dari Raja Yordania. Pun Jokowi punya modal penting karena telah “mengirimkan kode” saat menjamu para duta besar di Balai Kota, sesaat sebelum bertarung di pilpres. Akan tetapi ketika itu berkaitan dengan kemampuan mewakili Indonesia sebagai negara, kekuatan keduanya dituntut lebih terukur, tegas, dan luwes.

Hubungan luar negeri Indonesia di era Yudhoyono sudah menancapkan target tinggi. Kedua kandidat presiden saat ini harus serius perhatikan arah kebijakan ke dalam, juga ke luar. Karena biar bagaimanapun, pemenang nantinya harus lebih baik dari apa yang telah ditorehkan Yudhoyono dan Marty Natalegawa selama ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline