[caption id="attachment_347867" align="alignnone" width="580" caption="Kapal Pertamina Gas 2 saat mengapung di atas Perairan Teluk Kalbut, Situbondo, Kamis (9/10/2014). Kapal jenis mothership dan floating storage ini bisa menampung 45.000 metrik ton gas elpiji dalam 2 tangki terpisah, untuk kandungan propana dan butana. Pertamina mengklaim kapal kembar ini sebagai yang terbesar di dunia untuk pengangkutan dan distribusi elpiji. (Kompasiana.com/Gapey Sandy)"][/caption]
Setelah kapal tanker pengangkut solar MT Cilacap Permina Samudra 104 terbakar di perairan Kota Baru, Kalimantan Selatan pada dini hari 16 September 2014, arus distribusi BBM khususnya solar untuk setidaknya tiga kabupaten sekitar Tanjung Pemancingan macet selama dua hari. Pertamina berhasil mengatasi kekurangan pasokan secepat mungkin setelah mendatangkan kapal tanker bantu lainnya, sehari kemudian. Di atas kertas, korban jiwa seorang awak ruang mesin bersanding dengan setidaknya 8 miliar kerugian material masuk catatan negatif. (Sumber, Sumber)
Terbakarnya MT Cilacap pengangkut 45.000 kiloliter solar di Kota Baru tersebut merupakan kecelakaan kapal besar kedua pada tahun ini yang melibatkan muatan bahan bakar minyak (BBM) dan gas yang dimiliki, atau dioperasikan PT. Pertamina (persero). Pertengahan Januari lalu, tanker Pertamina lainnya terbakar di perairan Jenu, Tuban, Jawa Timur disebabkan “percikan tidak terduga” di tengah operasi pengisian balik (backloading) dari stasiun pengisian BBM di pelabuhan. Imbasnya, pasokan sebanyak 5.500kL premium dan 9.500kL solar dengan tujuan Nusa Tenggara Timur tersendat. Pada tahun-tahun sebelumnya tercatat setidaknya 3 kali Pertamina menderita kerugian akibat kecelakaan kapal pengangkut migas, termasuk di perairan Donggala pada 2012 dan sebuah tanker stasiun bersama Chevron Pacific di dekat Kilang Unit Pengolahan II Dumai, Riau, 2010.
Untuk setiap kebakaran tanker, Pertamina menanggung kerugian setidaknya 8 hingga 10 miliar rupiah, menurut Kepala Humas Kilang Pertamina UP II Hendra Nasution (Kompas.com). Angka kerugian ini belum ditambah dengan biaya mendatangkan unit pengganti, biaya perbaikan, tanggungan pengobatan awak, atau kerugian pihak ketiga. Padahal, selain pembiayaan kecelakaan, di sektor bisnis hilir yang jadi tanggung jawab utama korporasi, Pertamina sudah menanggung kerugian dalam jangka waktu yang lebih panjang. Sementara di sisi kebijakan, Pertamina belum tentu mulus setiap kali mengajukan aksi korporasi penyokong industri hilir, semisal pengadaan kapal.
Direktur Pemasaran dan Niaga Pertamina Hanung Budya kepada wartawan Juni lalu mengatakan, Pertamina berencana menambah jumlah unit kapal pengangkut minyak dan gas milik sendiri dalam Rencana Jangka Panjang korporasi 2012 hingga 2016 mendatang. Saat ini Pertamina mengoperasikan 191 kapal kargo dengan 68% masih berstatus sewaan atau charter.
Sebelum kedatangan kapal kargo berbobot mati 105 ton bernama lambung Gamsurono buatan Sumitomo Jepang pada 24 Juni lalu, Pertamina juga baru saja menerima MT Merauke dan MT Kasim dari galangan kapal lokal PT Dumas Tanjung Perak senilai 25,2 juta dolar Amerika (Sumber). Upaya sinergi antar-BUMN juga ditempuh Pertamina dengan membeli dua kapal buatan dalam negeri, MT Pagerungan dan MT Pangkalanbrandan yang dibangun PT. PAL. Tiap-tiapnya berkapasitas 17.500 LDWT dan akan bertanggungjawab atas distribusi premium-solar wilayah tengah hingga timur.
Sementara untuk kargo pengangkutan gas cair (elpiji) dalam jumlah besar, Pertamina baru-baru ini mendatangkan kapal kembar berjenis very large gas carrier (VLGC). Kapal pertama bernama Pertamina Gas 1 beroperasi sejak Juni 2013 lalu, sementara kapal kedua Pertamina Gas 2 baru tiba di Tanah Air pada 21 Mei 2014, setelah melalui tahapan reflagging dari bendera Panama ke bendera Indonesia, dan pengecatan di Singapura sebulan sebelumnya. Kedua kapal angkut yang diproduksi Hyundai Heavy Industries Ulsan, Korea Selatan ini diklaim Pertamina sebagai kapal pengangkut gas cair berukuran dan berkapasitas terbesar di dunia.
Kapal Pertamina Gas bertipe VLGC ini memiliki bobot mati 125.000 DWT, dengan panjang dari buritan hingga anjungan mencapai 225 meter, lebar 36,6 meter, dan tinggi 22,3 meter. Tenaga utamanya dipasok dari mesin baru bertipe B&W 6S60MC-C8.2, 13,800 KW x 105 Rpm yang mampu menghasilkan kecepatan maksimum 16.75 Knots. Sistem komputerisasinya sudah memakai mode autopilot dan GPS terpadu auto-manual, juga sudah dilengkapi voyage data recorder (VDR, bekerja seperti Kotak Hitam ‘FDR’ di pesawat terbang). Sementara di anjungan, rancangan khususnya berbentuk empat tangki kargo dalam format ganda. Dengan formasi ini, muatan elpiji yang “disuntikkan” ke dalam kapal dijaga tetap dalam dua tangki terpisah bertekanan dan berpendingin, tiap-tiapnya untuk bahan dasar elpiji, propana dan butana.
Kapten Kapal Pertamina Gas 2, Kosim yang menyambut sejumlah blogger Kompasiana dan wartawan dalam rangka company visit di tengah perairan Teluk Kalbut, Situbondo pada Kamis (9/10) lalu mengatakan, keberadaan kapal besar sekelas VLGC untuk distribusi gas di Tanah Air sangat menguntungkan ketimbang harus berlangganan sewa kapal kargo dari pihak swasta.
“Kita sudah bisa fokus memasok ke seluruh Indonesia tanpa memikirkan biaya sewa kapal lagi,” ujarnya di sela-sela jamuan makan siang. Lebih jauh Kosim menjelaskan, dengan adanya kapal kembar pengangkut gas yang ditempatkan di perairan utara Jawa, pasokan elpiji ke wilayah Timur Indonesia yang sebelumnya sering mengalami hambatan, kini berjalan lancar. “Dengan operasi ini, kita bisa jamin pasokan ke Kalimantan Timur, Sulawesi, Papua, Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara aman sampai 16 hari,” imbuhnya.
[caption id="attachment_347866" align="alignnone" width="560" caption="Kepala Operasi bersama Kapt. Kapal Pertamina Gas 2 saat menjelaskan alur kerja pemuatan dan pembongkaran elpiji kepada Kompasianer dan wartawan, Kamis (9/10/2014)/Hendra Wardhana"]
[/caption]
Sebelum adanya kapal Gas 1 dan Gas 2, Pertamina harus menyewa kapal-kapal kargo dari pihak swasta untuk operasi pasokan ship-to-ship (STS). Di Kalbut sendiri, Pertamina dulunya harus menyewa hingga 3 kargo berjenis mothership, floating storage dan offloading untuk keseluruhan proses mulai sejak pembelian dari tanker Saudi Aramco, proses penampungan dan pendinginan, sampai ke penyebaran ke kapal-kapal lebih kecil yang mengantar ke stasiun-stasiun di darat.
Kini, dua kapal kembar dengan teknologi fully-refrigerated cargo berkapasitas muatan mencapai 45.000 metrik ton/Kl gas cair ini dapat melakukan semuanya secara simultan. Teknologi terbaru memberi keringkasan kerja bagi distribusi elpiji Pertamina, kemudahan pengawasan, dan pengembangan sumber daya manusia. “Awak kapal kita ada 27. Semua kapal Pertamina diawaki oleh seratus persen orang Indonesia,” ujar Kapt. Kosim sambil menunjukkan fitur-fitur canggih di ruang kendali.
Di bawah kepemimpinan Direktur Karen Agustiawan, ambisi Menjadi Perusahaan Energi Multinasional Terdepan ikut ditunjukkan lewat penguasaan kapal-kapal kargo. Selain mempekerjakan sebanyak mungkin tenaga kerja dan melibatkan mitra galangan kapal dalam negeri, Pertamina juga memperkuat posisi distribusi lautnya dengan mulai memperbesar armada kapal milik korporasi. Sepertinya di mata Pertamina, percuma berambisi menguasai distribusi minyak dan gas dengan hak eksklusif jika armada pengangkutan belum stabil. Untuk itulah juga dibentuk divisi khusus proyek perkapalan, yang kini dipimpin direktur representatif I Gusti Ngurah H. Perairan yang luas memerlukan armada trasportasi yang besar dengan teknologi mumpuni, untuk jangkauan kerja yang terpadu.
Tanggung jawab sektor hilir
Sejak berdiri pada 10 Desember 1967, Pertamina (di masa awal merupakan gabungan dari Permina dan Pertamin) telah melalui masa-masa sulit. Mulai dari akuisisi sumur-sumur peninggalan Hindia Belanda, regulasi Orde Baru yang memungkinkan monopoli, hingga pemisahan unit-unit bisnis sesuai regulasi pemerintah baru. Kerugian dari rantai pasokan dan harga jual dideritanya sejak lama. Sebagai perusahaan negara, Pertamina pada akhirnya dilepas untuk “mencari makan” sendiri sembari tetap menjaga tindakan agar tidak merugikan APBN. Jika selama berpuluh-puluh tahun Pertamina menguasai semua regulasi pengeboran minyak dan gas di Indonesia yang dikenal sebagai industri hulu migas, sebuah regulasi baru lantas memilah-milah wewenang dan tanggung jawabnya menjadi lebih banyak mengurusi pengolahan dan distribusi di sektor hilir.
Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi yang diterbitkan pemerintah dengan No. 22 tahun 2001 menghilangkan wewenang regulasi Pertamina seiring perubahannya menjadi PT. (persero). Peranan regulator migas diambil alih pemerintah lewat pembentukan badan khusus (BP Migas untuk hulu dan BPH Migas untuk hilir), sementara Pertamina diposisikan murni sebagai operator. Menelan pil konsekuensi pemisahan sektor hulu dan hilir ini, Pertamina diharuskan membuat anak-anak perusahaan sebagai kepanjangan tangan dalam hal pencarian sumber, eksplorasi-eksploitasi, pengelolaan transportasi, jalur pipa, jasa pengeboran, dan pengelolaan portofolio. Lahirlah PT. Pertamina EP yang bermitra dengan BP Migas (sekarang SKK Migas), dan kini menjadi penyumbang laba terbesar Pertamina.
Jika sisa wewenang dan tanggung jawab Pertamina di sektor hulu lewat Pertamina EP kerap mendapat kritik high profile lewat isu-isu hak pengeboran dan skandal Kontrak Kerja Sama, anak-anak perusahaan di sektor hilir seperti bekerja dalam ruang senyap.
Sektor hilir yang jadi tanggungan besar pertamina hanya akan terdengar nyaring liputannya setiap kali terjadi kenaikan harga jual, target pasokan yang meleset, masalah distribusi, atau kapal terbakar. Padahal, investasi yang dikeluarkan Pertamina untuk peningkatan operasional sektor hilir dua tahun ini cukup besar. Untuk pengadaan kapal saja, di tahun 2013 hingga 2014 Pertamina harus merogoh kocek sebesar 240 juta dolar Amerika atau setara 2,4 triliun. Kapal Pertamina Gas 2 sendiri menghabiskan 730 miliar rupiah, sementara MT Ambalat yang baru akan datang akhir tahun ini bernilai investasi setidaknya 520 miliar.
Untuk nilai investasi hilir setinggi itu, Pertamina menaruh janji ketersediaan pasokan gas cair sebanyak 6 juta ton, meningkat 8% dari tahun lalu sebesar 5,2 juta ton. Total produksi gas per tahun sebesar 1.567 meter kubik masih harus terkikis dengan beban biaya distribusi yang kerap bocor di sana-sini. Dengan itupun, beban kerugian tahunan korporasi masih berkisar 4,8 triliun per tahun pasca-penyesuaian harga LPG 12kg. Sementara tanggung jawab distribusi minyak tetap mengacu pada angka produksi 200.000 hingga 230.000 barel per hari (jauh di bawah target tahun 2014 sebanyak 280.000 bph).
Lewat Laporan Tahunannya, Pertamina mencatat kapasitas industri hilir dengan rincian 6 unit pengolahan dengan total 312 juta metrik/mmbl, dan rantai distribusi ke 7 region pemasaran BBM. Kapasitas distribusinya meliputi 113 terminal minyak, 15 stasiun pengisian gas, 4696 SPBU, 56 DPPU, dan 97 unit integrasi pelabuhan. Armada distribusinya termasuk 187 tanker minyak, 1.189 truk tangki, dan 22 tanker LPG.
[caption id="attachment_347877" align="alignnone" width="560" caption="Arus Distribusi BBM Pertamina di Kepulauan Indonesia. (Annual Report/Pertamina.com)"]
[/caption]
Di mata publik, setiap penyesuaian harga bahan bakar minyak ataupun gas elpiji kerap menimbulkan kritik. Pertamina kerap dianggap mengambil momen tidak tepat untuk menaikkan harga premium dan LPG 12kg. Masalah ini bermain dalam sudut pandang, karena bagaimanapun penyesuaian harga 2-3 tahun belakangan belum mampu menutupi seluruh kerugian tahunan pertamina di bisnis penyaluran minyak dan gas ke seluruh Indonesia. Pada kenyataannya, semakin lama pertamina menahan penyesuaian dan menjual murah, semakin lama pula korporasi menanggung kerugian produksi dan distribusi. Sebagai perusahaan penyalur energi tunggal, adalah berbahaya bagi masyarakat jika “bocor kapal” Pertamina semakin besar.
Investasi pengadaan kapal pengangkut migas termasuk segelintir cara Pertamina menjamin ketersediaan energi bagi masyarakat di seluruh penjuru negeri. Semua sumber pembiayaan sektor hilir Pertamina diambil dari usaha sendiri, dan sama sekali tidak berasal dari anggaran pemerintah. Langkah investasi pada floating storage ini pernah pula dipuji oleh Kepala BP Migas periode 2012 R. Priyono yang menyebut Pertamina tengah “menyokong industri perkapalan nasional.” (Sumber)
Dalam peta proyeksinya, Pertamina mengakui satu tuntutan pasca-transformasi 2001 dan 2006, yakni tekanan kewajiban sebagai BUMN negara untuk menyetor deviden lebih besar setiap tahunnya kepada pemerintah, bersanding dengan minimnya sokongan investasi pemerintah di bidang infrastruktur dan pembangunan sistem. Berbagai “kebocoran” juga masih terjadi ikut menghambat upaya pertamina merealisasikan program konversi LPG yang oleh pemerintah kerap dijadikan komoditi politik.
Tanggung jawab di industri hilir Pertamina bekerja setiap hari sebagaimana beratnya di sektor hulu. Kapt. Kosim lewat jamuannya Kamis lalu ikut meyakinkan, investasi besar korporasi semuanya ditujukan agar tidak terjadi kelangkaan di masyarakat, dan perlahan-lahan menjamin kestabilan harga agar masyarakat tidak panik, sebagaimana acuan target limatahunan Pertamina dalam hal keunggulan operasional. Beberapa kasus kapal Pertamina terbakar dalam dua tahun terakhir mestinya jadi pertanda, bahwa armada distribusi yang baru, berteknologi dengan standar keamanan lebih baik dibutuhkan oleh perusahaan penanggungjawab energi manapun.
Sambil tersenyum, Kapt. Kosim mengungkapkan keresahannya.
“Kadang saya tidak mengerti dengan masyarakat yang demo setiap kenaikan harga minyak atau gas. Mereka tidak paham saja, bagaimana sulitnya proses yang kami jalani agar pasokan minyak dan gas di darat tetap lancar sampai ke rumah-rumah.”
**
Baca juga:
Tanggung Jawab Sektor Hilir (Bag. 2-habis)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H