Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Kelor

Diperbarui: 17 Juni 2015   20:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1413562745558765527

*

Pardim gelisah. Di belakang rumahnya ternyata tinggal seorang ‘likang’, manusia jadi-jadian. Selama belasan tahun bertetangga damai pikirannya baik-baik saja. Makan-minuman diantarkan untuk dibagikan setiap ada rezeki berlebih. Anak-anaknya bermain di lahan kecil berumput liar yang sama dengan keponakan-keponakan lain. Tetapi desas-desus yang santer belakangan mengusik juga ketenangan dirinya. Rustin, tetangga persis belakang itu, memanglah seorang bidan. Dan kata desas-desus, kalau bukan dukun, pekerjaan bidanlah yang paling dekat dengan semua yang “jadi-jadian”. Kesenangan bagi mereka yang menjelma darinya adalah “memakan” bayi-bayi yang sebentar lagi dilahirkan.

Warga kampung berjaga setiap malam Senin, dan malam Jumat. Mereka yakin, likang lebih sering berkeliaran di malam-malam begini. Terlebih di saat purnama meninggi dan lolongan anjing terdengar lebih dekat. Dan karena polisi meminta mereka tidak main hakim sendiri, sekelompok peronda yang kebanyakan pemuda tanggung ini hanya mengawasi rumah Nyonya Rustin dari kejauhan. Mereka duduk sambil tertawa-tawa di sisi masjid, atau kalau tidak, membagi pendudukan di beberapa pos ronda di dalam kampung. Persamaan dari ke semua tempat yang dipilih ini hanyalah satu: dekat dengan selokan.

Likang lahir karena pencarian ilmu hitam yang salah sasaran. Di masa lalu yang panjang, kepercayaan animisme mengait-ngaitkan likang dengan balatentara jin dan iblis yang menyerupai manusia. Mereka hidup sebagai manusia di siang hari kemudian bisa menjelma kucing, babi, anjing, bahkan ular di malam hari. Mereka tidak suka meneror, cuma berambisi demi kekuatan yang semakin tinggi. Sebagian cerita bilang para likang kebanyakan perempuan, di mana pada siang hari nampak sangat cantik namun dengan wajah yang lelah. Jika di luar mereka begitu memesona, di depan cermin rumah mereka menua lebih cepat dari biasanya. Wajah mereka mengeriput dan kelopak-kelopak matanya sangat berat. Untuk mengobati penuaan itu, mereka “mencari makan”. Dan satu-satunya tempat paling nikmat bagi para likang untuk makan, ialah selokan. Di situ mereka bisa lahap, mengobok-ngobok lumpur seakan-akan mereka sedang makan dari nirwana yang manis dan gurih. Terkadang bercanda dengan dua-tiga likang yang lain sambil bertukar di mana mereka akan mencari bayi-bayi, atau bertukar ilmu menembus rumah-rumah yang berpenjagaan lebih kuat.

Pardim lebih banyak diam seharian. Usai salat Asar biasanya ia temani putranya bermain gasing atau mengambil buah cermai dari pohon di samping rumah, tapi tidak hari ini. Teh panas yang disuguhkan istrinya pun belum ia sentuh. Matanya jauh menerawang dari serambi rumahnya. Tasbih manik-manik plastik terus berputar-putar di antara jemarinya. “Temani si Habibi main, Pak.” Istrinya sudah beberapa kali keluar masuk, satu-dua sapaan percuma saja karena tak berbalas. Lantunan ayat-ayat Kitab Suci yang sayup terdengar dari dapur seperti menghipnotisnya lebih dalam dari biasanya. Pardim seperti menyiapkan sesuatu. Untuk setengah atau satu jam lagi ia minta tidak diganggu.

Dan memanglah, rupanya Pardim sedang menunggu seseorang.

Tuan Guru Hasim melangkah mantap dengan parang bersarung kuningan di tangannya. Lilitan sarung di pinggangnya rapat namun menampakkan ujung bawah celana bahannya yang berwarna coklat. Sandal kulit usang yang ia beli dari Badung masih setia ia pakai. Badannya dibaluti kaus putih dengan kerah terlalu lebar untuk badannya yang ringkih. Pundaknya berhias kain kotak-kotak merah ala Saudi. Kopiahnya agak miring. Jemarinya yang berhias cincin batu giok lalu menegakkannya. Tanpa dipersilakan Tuan Guru Hasim duduk dan menyeruput teh yang mulai dingin. Parang dengan sarung kuningan diletakkannya begitu saja di lantai. Kakinya direntangkan ke depan melegakan aliran darah hasil perjalanan kaki oleh otot-otot setua enam puluh lima tahun. Pardim tak menegur karena memang demikianlah pembawaan Tuan Guru Hasim. Agak urakan tapi disegani. Santai tapi tak bertele-tele. Orang ini di matanya paling bisa diandalkan untuk kegusaran spiritual. Selain imam masjid dan guru mengaji, perantauan tujuh tahun di tujuh pulau pastilah memberi kekuatan lebih kepada Tuan Guru Hasim selain pendalaman ilmu-ilmu tasawuf dari Kitab Suci. Pardim meletakkan tasbih dan menyodorkan rokok, namun Tuan Guru Hasim menolaknya. “Langsung saja ke bisnis,” ujar tamu itu mantap.

Pardim sebetulnya sudah siap bercakap, tapi mungkin karena terlalu lama melamun dan atau terlalu menghayati ayat-ayat tasbih, akhirnya ia lupa kalimat pertama yang mau ia sampaikan. Tiga jam yang lalu, sepulang salat zuhur, ia berpapasan dengan Tuan Guru Hasim yang waktu itu telat masuk masjid. Dan walau waktu itu ia sempat mengatakan maksud keinginannya mengundang sang Tuan Guru ke rumah, malah perbincangan sore ini ia kehilangan kata-kata. Tuan Guru Hasim tertawa setelah seruputan pertama teh melewati bibir-bibirnya yang menghitam. “Kenapa sih? Malah bingung sampeyan. Ini soal desas-desus itu ya?”

Rupanya Tuan Guru Hasim sudah tahu kegusaran terpancar, maka Pardim mengangguk lega saja. Senyumnya terkembang tapi bicaranya agak bergetar. Perasaan aneh sejak bermalam-malam belakangan masih menghantuinya.

“Kalau soal Likang,” Tuan Guru Hasim menebak begitu saja. Dasar orangnya blak-blakan, ia tidak suka drama perbincangan terlalu lama. “Sudah saya suruh anak-anak untuk ronda. Tenang saja, nanti kita juga dapat giliran.”

“Terima kasih, Tuan Guru. Saya cuma penasaran, benar enggak sih… kata desas-desus. Kalau saja benar Nyonya Rustin…” Pardin mendongakkan pandangannya sekeliling, lalu dengan suara lebih kecil melanjutkan. “Kalau saja benar Nyonya Rustin… seperti diduga itu… seorang Likang. Bagaimana kita membuktikannya? Maksud saya, dia bekerja seperti biasa. Punya seragam puskesmas dan berangkat kerja di hari-hari biasa. Saya sering berpapasan dengannya pagi saat berangkat kerja dan sepulang salat asar pas kebetulan dia pulang naik becak. Tidak ada yang aneh, menurut saya. Cara bicaranya baik-baik saja, dia juga masih sering mengantarkan makanan.”

“Terus makanannya kalian makan?”

“Ya kami makanlah, Tuan Guru. Namanya rezeki, apapun yang akan terjadi, ya diterima saja. Kami berterima kasih dan baca basmalah. Alhamdulillah, tidak terjadi apa-apa ‘tu.”

Tuan Guru Hasim mengangguk pelan. Kedua tangannya bertautan di depan mulutnya, seiring kakinya terangkat dan saling silang di lutut.

“Memang pada dasarnya Likang hidup seperti kita. Tanda-tandanya memang tidak kelihatan di mata kebanyakan orang. Tapi… kalau kita lihat seksama tanda-tanda kecilnya, bisa dibedakan. Mana orang normal, dan mana likang, manusia jadi-jadian. Nyonya Rustin juga punya keanehan, sepengamatan saya. Tapi sungguh pun begitu, bahkan saya tidak bisa menuduh orang punya hal-hal yang disembunyikan, apalagi berkaitan dengan ilmu hitam.”

“Lalu kenapa orang-orang ronda mengawasi rumahnya?”

“Masyarakat kita belum terdidik, apa lagi alasannya kalau bukan itu. “Tuan Guru Hasim menghela napas sebelum kembali menarik badannya. “Kita mudah percaya dengan desas-desus, dan senang sekali berkumpul guna membuktikan hal-hal yang mungkin tidak terjadi di tempat lain. Kita senang keajaiban, bahkan jika hal-hal ajaib itu melibatkan kejahatan. Warga berbondong-bondong ronda karena beberapa minggu belakangan banyak bayi lahir kemudian meninggal, atau yang meninggal dunia sebelum lahir. Kemudian entah siapa yang bikin cerita-cerita likang ini, maka beginilah. Orang-orang memang berlomba dalam hal membuktikan sesuatu, bahkan itu untuk hal-hal yang belum pasti. Termasuk, Nyonya Rustin ini.”

Pardim mengangguk paham. Pikirannya mulai bekerja dan pemahamannya mulai menjelajahi cara pikir orang-orang sekitar. Perlahan-lahan juga ia mulai mendapatkan ketenangan dari ketakutannya atas desas-desus. Sungguh pun, ketakutan tetap saja ketakutan, tidak bisa hilang sekejap suara.

“Tapi biarpun begitu...,” Tuan Guru hasim kembali berbicara, kali ini setelah seruputan kesekian. “Pasti ada saja hal-hal aneh yang bisa terjadi. Jadi daripada lengah, tidak ada salahnya kita bersiap.”

Setelah keheningan sejenak dan sepoi angin jelang magrib meneduhkan mereka, Pardim kembali bertanya. “Ngomong-ngomong, jika benar likang itu muncul, Tuan Guru, adakah cara buat ngusirnya? Atau paling tidak, biar kita aman tidak didekati, begitu?”

Tuan Guru Hasim tersenyum. Oles-olesan ujung jemarinya mengilapkan permukaan batu giok  yang memahkotai dua cincin besar di jari tengah dan manisnya. Dengan tatapan penuh misteri, ia menjawab. “Kelor.”

“Kelor?”

“Ya. Daun kelor, batang kelor, apa pun bagian dari pohon kelor. Kau tahu pohon kelor, kan?”

Tentu saja Pardim tahu. Pohon itu jenis semak yang banyak menghiasi pagar belakang rumahnya, dan berserakan tumbuh liar di daerah sekitar sungai di ujung kampung. Bau daunnya khas dan getahnya tidak terlalu banyak. Dedaunan kecil itu kerap dipetiki oleh satu-dua petani asal Sulawesi yang sudah lama migrasi kemari, tapi ia sendiri tidak tahu untuk apa mereka memetiki dedaunan itu. Di sini, kalau bukan untuk siraman orang mati, kelor cuma jadi pakan kambing.

“Kelor, kalau di sini kita itu kan tumbuhan kuburan. Nah di banyak daerah, kelor jadi makanan enak. Mereka bikin sayur seperti kita makan daun pepaya atau daun singkong. Cara masaknya juga gampang, kadang dicampur kacang ijo atau bening saja pakai buahnya. Nah kelor ini, kalau kau mau coba, petiklah dua atau tiga tangkainya yang ada daun --atau yang tidak ada daun juga tidak apa-apa. Petik, simpan di dekat pintu. Atau kalau tidak malu, bawa saja batang pendeknya ke mana-mana. Likang takut sama kelor. Kalau tidak percaya, coba saja ronda nanti malam.”

“Nanti malam?”

“Ya, nanti malam. Kau bawa kelor, biar aku bawa parang, yang lain bawa pentungan. Kalau benar di sini ada likang, pasti kita akan menang dan dia pasti mati!”

Mendengar kata ‘mati’ bulukuduk Pardim merinding juga. Ia bahkan tak berani membunuhi lalat dan tidak membayangkan jika mereka harus membunuh tetangga sendiri, bahkan yang --memang jika benar-- adalah manusia jadi-jadian.

“Tapi…”

“Ada baiknya kau asah parangmu di belakang itu. Atau nanti saya siapkan yang baru untuk rumah ini.”

Pardim merasa sungkan. “Ah, baik sekali, Tuan Guru ini. Terima kasih. Cuma…” Pardim menarik punggungnya dari sandaran kursi. Saat ia arahkan pandangannya ke arah dalam rumah, ia tersenyum kemudian begitu saja memberi kode agar perbincangan mereka tahan sejenak. Dari dalam rumah lantas muncul Harini, istrinya, membawakan dua cangkir teh lagi lengkap dengan kue tepung salju bertoples kaca. Harini menyilakan Tuan Guru Hasim menikmati hidangan, kemudian mengangguk saat suaminya meminta tolong “kecilkan suara radio”. Harini berlalu ke dalam dan Pardim mengembalikan fokus pandangannya kepada Tuan Guru Hasim.

“Tuan Guru lihat Harini barusan?”

Tamu itu mengerutkan dahinya. “Tentu saja. Memangnya Harini hantu?”

“Ha-ha-ha. Bukan itu. Maksud saya, tidakkah Tuan Guru merasakan ada yang berbeda dari istri saya? Penampilannya, caranya berjalan, caranya membungkuk?”

“Saya tidak mengerti.”

Pardi tidak menyangka, Tuan Guru ternyata tidak selalu punya naluri seperti yang dikiranya. Maka disimpannya pernyataan Harini sedang hamil. Mungkin memang tidak perlulah. Malam ini, jika Tuhan menyertai, perburuan likang akan berlangsung seru.

Somat, Yasin dan Fajar adalah tiga sahabat yang kerap diberi amanah mengumpulkan orang-orang kampung untuk urusan genting apapun. Mereka ini tangan kanan, para ahli komunikasi dan koordinasi. Keperluan pengajian, menangkap pencuri, atau mengumpulkan donasi, mereka ahlinya. Tidak perlu pentungan  karena tiap-tiap mereka sudah bersenjatakan XTC, ponsel anyar yang bisa dipakai colak-colek Fesbuk, dan sebar pesan berantai. Kode-kodenya pun mereka tahu. Arah jam 5, menara masjid, begitu saja pesan yang dikirim tadi sore. Kini telah berkumpul limapuluhan kepala rumah tangga di gang tengah, seratusan meter dari menara masjid sebenarnya. Sebagian dari mereka curhat seharusnya kondangan sementara yang lainnya hanya terkantuk-kantuk memegangi bilah kayu. Somat dan Yasin masih sibuk lewat ponsel sementara si ringkih Fajar berlari kecil menyambut Tuan Guru Hasim yang mendekat.

Pardim datang belakangan. Setelah mengunci rumahnya dan meminta istrinya berjaga-jaga dengan Kitab Suci. Ia datang dengan sebilah parang bersarung kayu tipis yang dibaluti kain biru, sementara di tangan satunya berlilit tujuh atau sepuluh batang kelor. Somat dan Yasin bertanya buat apa gerangan batang-batang kelor itu, dan ketika Pardim menjelaskan seperti apa yang didengarnya dari Tuan Guru Hasim, tak seorangpun percaya. Malahan, Somat dan Yasin menertawainya dengan berkata, “Mungkin itu bisa buat ngusir ngantuk, Pak Par. Sini bagikan, baunya khas. Biar semua melek.” Begitu saja mereka menertawakan Pardim, tetapi toh membagi-bagikannya juga. Sebagian yang tidak mengambil batang kelor nampak lebih percaya diri dengan senjatanya masing-masing.

“Sekarang dengarkan.” Tuan Guru Hasim cuma perlu bersuara untuk menjadi pusat perhatian. Mereka berembuk seperti Pramuka menyiapkan rute jalan.

Penantian itu lebih membosankan dari yang dibayangkan. Pardim terkantuk-kantuk lebih dulu karena memang tidak terbiasa ronda. Beberapa kali Somat menawarinya kopi tapi ditolaknya dengan alasan maag. Maka begitulah, di pinggir selokan, tujuh lelaki paruh baya berusaha memasang mata dan telinga, sementara yang lain bergilir berkeliling mengawasi rumah-rumah. Warga setuju untuk tidak membatasi waktu tidur, tapi tetap mewaspadai datangnya likang atau bentuk kejahatan lain. Sayup-sayup terdengar juga lantunan ayat suci dari asrama putri yang tak dihuni para pendatang.

Jam 2 dini hari, sebagian rombongan ronda menyerah. Mereka tidak tahan gigitan nyamuk atau sudah ditunggui istri masing-masing. Tertinggal belasan saja berkeliling, sementara di pos dekat masjid Pardim ditemani Fajar, Ramli, dan beberapa orang yang ia lupa nama-namanya. Dua termos kopi dan empat belas bungkus kacang kulit sudah lesap. Udara dingin dari laut merajam pelan-pelan dari arah kaki.

Saat suasana masuk ke kedalaman paling hening, dan sebagian besar dari mereka akhirnya bersandar terkantuk, tiba-tiba terdengar langkah kaki cepat. Pardim membuka mata dan menarik kepalanya yang barusan tersandar di dinding pagar. Bau selokan menyeruak, membangunkan semua dari mereka. Fajar saling tatap dengan seorang lainnya, kemudian buru-buru menelepon entah ke siapa. “Likang. Likang!”

Mereka berhamburan memegangi senjata. Suara langkah kaki itu semakin dekat, dan semakin berat, tapi penampakannya sama sekali tidak ada. Bau selokan semakin tajam ketika beberapa orang di ujung gang berteriak. “Astagfirullah. Astagfirullah! Ya Tuhan, Ya Tuhan!” Tiba-tiba terdengar air beriak-riak dan tawa cekikikan membelah langit malam. Pardim mengajak yang lainnya mendekati suara itu. Mereka beranjak dari sekitar masjid dan menuju gang lain di sebelah utara, tempat tiga pemuda terkapar di tanah dan ketakutan. Pardim menghunus parangnya dan mendekati bau menyengat dan bunti gemericik lumpur yang diobok-obok di bawah sana.

“Suluh. Suluh!” hardiknya. Lalu Fajar menyalakan senter dan mengarahkannya ke selokan. Dengan tangan gemetar, menjaga-jaga siapapun yang akan mereka lihat di kubangan di bawah sana, Pardin menarik batang kelornya.

Mengalami konstraksi saraf takut yang sama, tujuh-delapan orang lain di belakang Pardim ikut menarik kelor, sementara yang lainnya pergi kemudian kembali dengan daun-daun. “Saya mau lapor Tuan Guru!” teriak yang lain.

Cekikikan di selokan itu terdengar pilu. Seperti makhluk yang mendapati kesenangannya sendiri dan tidak peduli siapapun di sekitarnya. Setiap air kubangan diobok-obok, bau busuknya semakin keluar. Terlihat samar rambut panjang itu berjuntai-juntai tertutupi bermacam kotoran. Sekelebat cahaya memperlihatkan gigi-gigi yang kecil namun sangat kotor, dan dagu lancip yang menonjolkan tulang-tulang. Likang lebih menyeramkan dari hewan manapun. Makhluk ini benar-benar ada, pikir Pardim. Suruhan jin iblis yang paling menyedihkan.

“Nyonya Rustin! Pulang kau, Likang. Pulang kau, Setan!” Pardim menghentak-hentakkan batang kelor ke arah makhluk itu. “Pulang kau! Nyonya Rustin” Ia lanjutkan dengan membaca ayat pengusir jin apapun yang diingatnya. Sementara ia berusaha mengatur kata-katanya, Fajar dan yang lainnya sudah menghilang di belakangnya.

Pardim sadar ia telah sendirian. Dan begitu saja saat ia berkedip selanjutnya, Makhluk itu sudah melompati badannya, memeluk lehernya, dan tertawa-tawa di depan mukanya. Bau busuk itu seperti tak mau lepas dari hidungnya. Dengan sisa tenaga ia raih batang kelornya, lalu ia pukulkan ke makhluk itu. Menangis, terbakar, terbakar. Likang menangis pilu dan kesakitan, sambil terpincang lantas berlalu pergi. Jejak kotoran ditinggalkannya di atas setapak. Pardim terengah-engah, tenaganya habis.

Jam 3, Pardim tiba di depan rumahnya. Tak sempat lagi ia mengikuti kabar dari Tuan Guru dan menunggu hasil laporan peronda yang lain tentang kemunculan Likang. Istrinya yang membukakan pintu berkata bahwa Tuan Guru sempat mampir dan memintanya tidur agar kandungannya sehat. Pardim merasa aneh dengan itu. Antara sadar dan tidak, ia mengangguk saja, kelelahan. Batang kelor ia bentangkan di dekat ambang sebelum mengunci pintu. Setelah membersihkan badan, ia ke kamar, berusaha memejamkan mata. Antara semua keanehan malam ini, ia paling penasaran dengan kisah besok pagi, tentang tetangganya.

Lima hari kemudian, berita tersebar. Seorang Tuan Guru sakit keras. Luka menganga di sekujur punggungnya.

-----------------

Ilustrasi: coretanpetualang.wordpress.com.

*




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline