Jumat lalu di halaman sebuah masjid daerah Kotabaru, Yogyakarta, saya dengar teriakan pedagang asal Surabaya ini. Orang berkerumun karena rupanya di lapak tikar pedagang tidak lagi terhampar pengasah pisau dan alat-alat rumah tangga seperti pekan-pekan Jumatan sebelumnya. Ia kini berjualan lampu LED, light emitting diode, puluhan dus dengan tiga tingkatan watt. Harganya Rp40.000 per unit dibubuhi diskon menjadi Rp100.000 per tiga lampu. Tidak sampai lima belas menit, dagangannya sudah habis separuh. [caption id="" align="aligncenter" width="580" caption="Lampu LED-biru hasil pengembangan Shoji Nakamura, Hiroshi Amano, dan Isamu Akasaki. (io9.com)"][/caption]
Saya lantas teringat berita Kompas.com, 23 Oktober lalu Wali Kota Tri Rismaharini memerintahkan penggantian semua bola lampu di semua gedung lingkungan Pemerintah Kota Surabaya dengan LED, demi penghematan energi. Langkah visioner yang mungkin pertama ditempuh pemkot di Indonesia. Risma menjelaskan setelah sebelumnya diterapkan di gedung Balai Kota, dengan anggaran penggantian seluruh bola lampu hanya Rp30 juta, Balai Kota terbukti mengurangi biaya listriknya hingga 10% setiap bulan. Dengan visi ‘Ecocity’ yang Risma usung, sang wali kota menyebut “ke depannya [lampu LED] nanti juga akan diterapkan di semua lampu penerangan jalan.”
Benarkan lampu LED bisa jadi masa depan lampu harian di Indonesia?
Meski sejarah LED sudah dimulai sejak 1960-an, tapi penggunaan LED sebagai lampu hemat energi multiguna baru dikembangkan pada 1994, saat fisikawan elektronik Jepang Shuji Nakamura mengupayakan alternatif untuk lampu pijar 60 watt yang terkenal mudah panas dan berisiko kelistrikan tinggi.
Sejak penemuan LED-biru hasil kerja Nakamura (yang baru-baru ini mengantarnya meraih Hadiah Nobel Fisika bersama kolega Isamu Akasaki dan Hiroshi Amano), dunia menggunakan lampu LED di semakin banyak platform, mekanika, dan industri. Pada 2008, perusahaan produsen bola lampu Philips Lighting memutuskan menghentikan pengembangan kawat pijarnya dan berfokus meriset, memproduksi lampu-lampu LED, yang disebut-sebut sebagai “Lampu Abad Ke-21”. Philips pula yang pertama kali memopulerkan kepentingan penggunaan LED di berbagai negara, termasuk Indonesia.
[caption id="" align="aligncenter" width="539" caption="Skema komponen kerja lampu LED-biru. (Johan Jamestad/Royal Swedish Academy of Sciences)"]
[/caption]
Dibandingkan lampu pijar (incandescent), lampu neon (fluorescent) dan lampu lilin (compact fluorescent lightbulb), lampu LED memiliki keunggulan comparatif yang sangat maju. Hemat energi, waktu hidup yang lama, tidak panas, komponennya tahan, tidak mengandung merkuri, dan tidak sensitif terhadap suhu dingin menjadi keunggulan LED yang paling banyak diketahui untuk penggunaan umum.
Di dunia otomotif, LED banyak dipuji karena cahayanya terfokus, mudah diarahkan, dan tingkat kecerahan serta kedipannya nya dapat diatur lewat perangkat digital. Setiap lampu LED untuk rumah diperkirakan bertahan selama setidaknya 10.000 jam tanpa meredup dengan keluaran energi setara 135 lumens per watt. Bandingkan dengan daya hidup lampu pijar yang rata-rata hanya sekitar 1.000 hingga 2500 jam dengan rasio energi sekitar 27 hingga 35 lumens per watt. (Continental-Lighting.com)
Kekurangan
Tapi bukannya tanpa kekurangan, lampu LED juga layak dipelajari secara menyeluruh sebelum menerapkan kebijakan yang berlaku umum. Satu kekurangan lampu LED adalah sensitivitasnya terhadap suhu tinggi. Berbanding terbalik dengan lampu pijar yang suka mati tiba-tiba karena air hujan atau suhu dingin, LED tidak tahan dengan paparan panas di atas kisaran tertentu secara terus-menerus. Di daerah bersuhu tinggi seperti pantai atau wilayah gersang yang kering, lampu LED belum direkomendasikan. Jadi jika Surabaya masih akan menghadapi suhu panas ekstrem hingga (katakanlah) 40 derajat celcius, Wali Kota Risma harus minta pendapat pakar apakah LED cocok dipakai di penerangan jalan untuk rentang waktu waktu bertahun-tahun.
Sementara untuk penggunaan di rumah, awet-tidaknya lampu LED tetap bergantung pada tingkat aliran listrik yang masuk lewat circuit breaker. Voltase masuk-keluar listrik yang tidak stabil dapat merusak sirkuit lapisan dioda dalam LED. Biasanya, lampu LED 20 watt untuk rumah menyala aman di kisaran 350mA, seperti rekomendasi Luminanz. Dengan inipun, sekering otomatis sangat direkomendasikan ketimbang sekering konvensional (putar) yang berisiko terpapar panas berlebih (overheated).
Kekurangan lain, kebanyakan nyala LED terfokus dalam lingkar cahaya kecil, dan bukannya melingkup seperti lampu pijar (alasan sama mengapa LED di satu sisi lebih cocok digunakan sebagai lampu senter ketimbang lampu ruangan). Ditambah, LED belum bisa memenuhi kebutuhan cahaya kekuningan yang lembut, untuk kamar tidur, ruang keluarga, atau kabin kulkas, misalnya. Tapi di atas semuanya, harga yang masih mahal (lampu LED 20 watt impor yang masih di atas Rp70.000) tetap jadi pertimbangan rumah tangga.
Di ruang komersil, LED memasuki ruang analisis industri dengan inovasi yang menjanjikan. Investasi di awal untuk jaminan operasional jangka lebih panjang. Di luar itu, teknologi lampu LED di Indonesia masih terbatas pada penggunaan media-media kampanye dan iklan. Pertunjukan videografi LED di sisi sebuah gedung, reklame LED pengganti konvensional mulai sering dilihat di kota-kota besar. Sementara di kabupaten dan kota-kota lebih kecil, LED sudah dipakai pemerintah untuk fasilitas penerangan jalan dan alat pengatur irama lalu lintas (APILL) atau teks berjalan.
Saya termasuk yang gemar mengikuti penerapan teknologi hijau guna penghematan energi, dan saya pikir, sudah saatnya Indonesia juga mengikuti kebutuhan energi ramah lingkungan dunia. Lampu LED hanya satu bagian yang perlu, sementara mencari inovasi-inovasi lainnya. Tantangan untuk penerapannya di Indonesia menurut saya hanya soal sudut pandang dan isu-isu keadilan, mengingat masih banyak desa yang bahkan aliran listrik rumah-rumah saja sangat terbatas.
Sangat bergantung pada bagaimana kita memahami LED sebagai inovasi pencahayaan dengan semua prasyarat dan kekurangannya, penggunaannya di banyak sektor bisa dihitung lebih baik. Jika penjualan di tiap Jumatan saja mulai menyasar rumah-rumah tangga menengah ke bawah, dalam waktu tidak berapa lama lampu LED akan menyebar sebagaimana lampu pijar dulu. Kota-kota lain mungkin akan menyusul kebijakan cerdas pemerintah Surabaya. Dan ketimbang menunggu kebijakan penghematan energi hulu atau pencarian sumber energi alternatif yang masih utopis, tidak ada salahnya LED memulai proses perbaikan konsumsi energi harian banyak rumah, kantor, dan media.
*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H