Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

‘Men-jonru’ dan Bahasa Eponimi

Diperbarui: 17 Juni 2015   16:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Dilaporkannya dua pengguna Twitter (tweeps) Ahmad Sahal dan Rifan Heriyadi kepada Ditreskrimsus Kepolisian Daerah Metro Jaya 1 Desember kemarin oleh Jon Riah Ukur, seorang pengguna lain didasari anggapan bahwa kicauan keduanya telah menyinggung atau mencemarkan nama baik yang bersangkutan.

Kicauan-kicauan dan gambar tayangan @Sahal_AS dan @RifanPercos yang diperkarakan @Jonru memang terkesan mengampanyekan nama pelapor sebagai ‘kosakata’ baru berkonotasi negatif, lengkap dengan penjelasan arti versi mereka.

“Kosakata” baru yang dimaksud, ‘men-jonru’ dan ‘jonru’ oleh kedua terlapor dijelaskan memiliki makna/pengertian kurang lebih berkonotasi ‘fitnah’ atau ‘berkata bohong’. Dalam pandangan hukum sebagaimana aturan dalam Undang-Undang ITE, segala hal yang dianggap mencemarkan nama baik seseorang dapat diperkarakan hingga keluar hasil pemidanaan, yang berarti dalam hal ini, pelapor Jon Riah Ukur melaksanakan hak hukumnya meski di banyak berita belakangan ini justru ia juga dianggap kerap menyebarkan fitnah. (Baca beritanya di sini)

Menariknya, tidak cuma sisi hukum, “kosakata” ‘men-jonru’ yang diperkarakan ini tentu saja juga dapat ditelisik dari segi bahasa.

Dalam pandangan saya, setidaknya ada dua alasan mengapa dilaporkannya @Sahal_AS dan @RifanPercos secara pidana sekilas terdengar logis. Pertama, karena keduanya saling menyepakati pemaknaan dan penjelasan arti terkait nama Twitter @Jonru (oleh mereka kemudian ditulis ‘men-jonru’ dengan prefiks, dan ‘jon-ru’ seakan-akan sebagai lema dalam kamus).

Keduanya punya pemahaman yang sama bahwa ‘jon-ru’ identik dengan konotasi fitnah dan penyebaran berita bohong. Di banyak berita ditulis, terlapor @Sahal_AS mengetwit ulang (retweet) kicauan terlapor lain yang punya kandungan makna yang sama dengan kicauannya sebelumnya. Kesepakatan arti inilah yang dapat menjadi indikasi mereka secara sadar dan paham memang berniat menyebarkan pemaknaan itu ke ruang pubik.

Kedua, ‘jon-ru’ sebagai satuan fonetik memang punya keunikan tersendiri. Kata dengan bunyi huruf ‘n’ berdampingan dengan  ‘r’ tidak banyak yang akrab di telinga dan mata pembaca media Indonesia. Selain itu, ‘jon-ru’ terkesan eksklusif karena belum banyak dikenal dari rumpun suku asal nama manapun. Nama Jon mungkin banyak, bisa didapati dari turunan nama suku di Minahasa, Papua-Maluku, sampai Sumatra bagian Utara. Akan tetapi sukunama ‘-ru’ belum atau mungkin tidak ada. Kata-kata seirama lainnya biasanya disisipi huruf konsonan lain di antara ‘n’ dan ‘r’ seperti ‘Indra’, ‘bandrek’, atau ‘intra’.

Ditambah lagi--dan ini tidak kalah pentingnya, ‘jon-ru’ terdiri dari dua suku kata, yang memang begitu mudah diafiliasikan otak manusia jika dimaknai ‘fit-nah’ atau ‘bo-hong’, yang juga terdiri dari dua sukukata. Lain halnya jika sejak awal yang dikenal hanya Jon Riah (jon-ri-ah, tiga suku kata), maka kemungkinan konotasi ini tidak akan pernah ada. @Jonru mungkin kesal, akan tetapi saya yakin pertimbangannya juga mengukur potensi disebarluaskannya “kosakata” ini di masa depan. Mengingat di era Twitter dan ponsel pintar, siapapun dapat menyebarkan apapun hanya dalam hitungan menit.

Gaya bahasa Eponimi

Dalam teori bahasa yang pernah dipelajari semasa SD-SMP, terdapat beberapa gaya bahasa (majas) yang menghubungkan pemaknaan orang (persona) dengan benda (nomina). Satu yang menyangkut kasus Jonru ini setidaknya dalam pandangan saya, adalah majas Eponimi (sering juga ditulis ‘eponim’).

Eponim atau eponimi merupakan gaya bahasa yang menyebut suatu tempat, kejadian sejarah (bisa nyata atau fiksi), atau penemuan dengan mengambil nama orang. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring, ‘eponim’ dijelaskan sebagai “(nomina) nama tempat atau pranata yang dibentuk menurut nama orang.”

Dalam ilmu sejarah dan ilmu pengetahuan mudah dan sering sekali kita menemukan nama-nama orang yang dijadikan kata-istilah suatu kejadian atau satuan makna tertentu. ‘Agustus’ dari nama kaisar Roma August Caesar, ‘Alexandria’ juga dari nama seorang kaisar, ‘aphrodite’  dari nama seorang dewi legendaris, atau ‘Aljabar’ yang diturunkan dari nama pencetus matematika berkebangsaan Arab Al-Khawarism. Di linimasa klasik kita mengenal ‘barat’ yang diadopsi dari nama putra dewa legendaris India, Bharata. Kita kenal pula ‘Arjuna’ dan ‘Srikandi’ yang berkonotasi pahlawan laki-laki gagah dan pejuang perempuan hebat. Dari televisi kita sering dengar dan baca ‘srikandi bulutangkis’ atau ‘kau arjunaku’.

Wikipedia mencatat, di masa modern kita mengenal ‘alzheimer’, nama penyakit yang diambil dari seorang dokter psikiatri Alois Alzheimer, atau ‘diesel’ dari nama penemunya Rudolf Diesel. Ada juga ‘bel’ (Ing: bell)dari nama Alexander Graham Bell, juga ‘watt’ nama satuan listrik yang diambil dari fisikawan James Watt. Di samping itu, tak terhitung jumlahnya kota dan tempat di dunia yang diturunkan dari nama orang.

Dalam sejarah Indonesia pun kita mengenal beberapa istilah yang lahir dari nama tokoh dalam negeri. Biasanya ini menggambarkan ideologi atau pandangan politik. Sebut saja Sukarnois (Sukarnoisme) atau Gusdurian. Di luar konteks fonetik, belakangan kita juga kembali akrab dengan beberapa kata yang dianggap identik dengan tokoh-tokoh politik tertentu: ‘Lumpur Lapindo’ dan ‘Bakrie’, ‘bocor’, dan ‘kerbau’. Saya juga ingat ada kata yang begitu ditakuti di Jerman hingga kini, ‘fuhrer’, karena dicetuskan dan hanya dipakai rezim Adolf Hitler.

Jika dilihat kasus @Jonru versus @Sahal_AS dan @RifanPercos, selain dianggap sebagai nomina, yang disebut-sebut kosakata ‘jon-ru’ dapat diartikan sebagai kata kerja ketika ditambahkan prefiks (awalan) men- atau mem-.

Sebagai perbandingan, ada berita unik dari sepakbola dunia beberapa waktu lalu ketika nama sejumlah pemain juga diadopsi ke dalam kamus bahasa resmi.

Sebagaimana dirangkum Sastranesia, Kamus Bahasa Spanyol resmi memasukkan lema ‘inmessionante’ yang berarti “cara terbaik untuk bermain sepakbola atau kemampuan mengasah potensi tanpa batas”. Bisa ditebak siapa nama pemain terkenal yang mendasari pembuatan lema ini.

Selain Messi, ada juga penyerang tajam Zlatan Ibrahimovich yang namanya diadopsi Kamus Bahasa Swedia dengan entri ‘zlatanera’ yang berarti ‘dominasi’. Yang berkonotasi negatif, ada Aleksandr Kerzhakov, pemain asal Rusia yang namanya dimasukkan ke Kamus Bahasa Inggris dengan pengertian ‘susah mencetak gol’ merujuk prestasinya yang minim pada Piala Eropa 2012.

Bahasa Eponimi meski tidak banyak dikenal ternyata begitu mudahnya dipakai. Jika kita ingat beberapa waktu lalu, lewat kanal berita hukum dan kriminal Tanah Air kita mengenal istilah ‘diantasari-azharkan’. Ada beberapa entri di Google yang memuat artikel dengan muatan satuan kata ini. ‘Diantasarikan’ atau ‘diantasari-azharkan’ muncul lantaran banyak pihak menganggap kasus sang mantan ketua KPK merupakan wujud kriminalisasi dan penjebakan hukum yang nyata. Ingat juga ‘gayus’ yang jadi nama informal Kantor Dirjen Pajak, apakah masuk?

Jadi, apakah kedua Sahal dan Rifan salah? Itu urusan hukum. Apakah @Jonru hanya mencari sensasi? Itu urusan politik dan saya serahkan penilaiannya ke pembaca sekalian. Terlepas dari pandangan hukum dan politik, saya anggap kasus ‘jon-ru’ dan ‘men-jonru’ ini di satu sisi dapat mencerdaskan kita sebagai pengguna bahasa massal. Lebih-lebih, karena akhirnya kita makin sadar, betapa setiap perkataan atau ketikan di ruang publik bisa sampai ke hati dan benak pembaca sebegitu dalamnya. Walaupun, sering kali kita memang pendek pikir dan asal tulis saja.

*




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline