Lihat ke Halaman Asli

Fandi Sido

TERVERIFIKASI

Bangsa Terbelah karena Hukuman Mati

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi hukuman mati. (Kompas.com/Shutterstock)

[caption id="" align="aligncenter" width="570" caption="Ilustrasi hukuman mati. (Kompas.com/Shutterstock)"][/caption]

Akhirnya Kejaksaan Agung Republik Indonesia menunaikan putusannya mengeksekusi enam terpidana mati kejahatan narkotika di dua lapas berbeda di Pulau Nusakambangan  Cilacap, dan Boyolali, Minggu (18/1/2015). Keenam terpidana yakni Ang Kiem Soei alias Tommi Wijaya (62, W.N. Belanda), Marco Archer Cardoso Moreira (52, Brasil), Tran Thi Bich Hanh (37, Vietnam), Rani Andriani alias Melisa Aprilia (39, Cianjur, Indonesia), Daniel Enemuo (38, Nigeria), dan Namaona Denis (48, Malawi)  dinyatakan meninggal dunia sekira pukul 00.41 WIB oleh tim dokter dan diumumkan secara resmi oleh Kejagung setengah jam kemudian.

Pagi harinya, berita “eksekusi telah dilaksanakan” dengan cepat memicu reaksi keras berbagai pihak yang kontra terhadap penjatuhan hukuman ini, tidak terkecuali Brasil dan Belanda (dua negara yang warganya meninggal di depan regu tembak) yang langsung menyatakan menarik Kedutaan Besar mereka di Jakarta. Presiden Brasil Dilma Rousseff mengaku “terguncang” dengan berita eksekusi, dan menyatakan “Ini (eksekusi mati) akan memengaruhi hubungan kedua negara.” (BBC Indonesia)

Di berbagai kolom berita dunia, lembaga advokasi hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia Amnesti Internasional mengkritik pedas Indonesia yang dianggap “menggunakankan pola penghukuman abad pertengahan” dan menuntut pencabutan hukuman mati untuk jenis pidana apapun. Peneliti yang juga aktivis Human Rights Watch Phelim Kine lewat artikelnya dua hari sebelum eksekusi bahkan menyebut Indonesia sedang menerapkan standar ganda dalam memandang hukuman mati. “Indonesia sedang berjuang mati-matian untuk mencegah Arab Saudi mengeksekusi warganya, Satinah binti Jumadi Ahmad [yang sejak 2010 divonis mati atas pembunuhan berencana], sedangkan menolak mengampuni warga negara asing yang terlibat narkotika,” tulis Phelim dalam artikel yang dimuat di laman hrw.org.

Tetapi suara-suara penolakan hukuman mati datang tidak hanya dari pihak amnesti dan beberapa negara “luar”. Di dalam negeri sendiri, baik lewat pantauan media utama ataupun media sosial, bangsa terbelah suaranya dalam ihwal yang oleh Presiden Joko Widodo disebut sebagai “langkah tegas dan tidak kompromi” atas eksekusi kasus pidana yang tergolong extraordinary crime ini. Pihak kontra mengedepankan penghargaan atas hak hidup dan hak asasi manusia, sementara pihak pro menganggap bahwa hukuman mati merupakan bagian dari kedaulatan hukum Indonesia dan dijamin dalam konstitusi negara.

Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai, kecaman serta langkah diplomatis yang diambil Brasil dan Belanda tidak harus disikapi dengan kekhawatiran berlebihan dan dianggap “biasa saja”. Alasannya, seperti dilaporkan TribunNews, keputusan diplomasi seperti itu hanyalah bentuk protes atau ketidak-sukaan mereka, karena sejatinya pihak luar atau negara manapun sangat paham tidak akan bisa mencampuri kedaulatan hukum Indonesia.

Karni Ilyas, pemimpin redaksi TVOne yang juga mantan akademisi hukum menggambarkan, apa yang dianggap standar ganda oleh banyak pihak kontra sebetulnya justru menunjukkan ketegasan hukum yang sama antara negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati. Menjawab tweet seorang pengikut yang menyayangkan sikapnya mendukung hukuman mati, @KarniIlyas dengan singkat menjawab, “Bawa narkoba ke Saudi juga [dihukum] mati.”

Pihak kontra mendebat. Selain mengusik Hak Asasi Manusia yang diwakili oleh Hak Hidup (yang secara legal sangat dilindungi oleh hukum di banyak negara), mereka juga menganggap bahwa eksekusi mati bukanlah cara tepat untuk memunculkan efek jera, jika tujuannya memang demikian sebagaimana dimaksudkan presiden Jokowi dan Kejaksaaan Agung. Bahkan, jauh lebih penting dari itu, muncul anggapan bahwa putusan pidana mati tidak serta-merta lepas dari “kekhilafan dan kesalahan” proses peradilan dari tingkat penyidikan, penuntutan, sampai pengadilan kasasi.

Peneliti Human Rights Watch Indonesia Andreas Harsono (t: @andreasharsono) berargumen, “Yang membuat kejahatan berkurang adalah polisi-polisi yang baik, hakim-hakim yang adil, dan jaksa-jaksa yang cakap.” Andreas mengambil contoh negara Jepang yang berhasil menegakkan hukum lewat lembaga kejaksaan yang bersih dan berintegritas, serta contoh negara-negara maju di Amerika dan Eropa yang mengedepankan kecakapan petugas kepolisian dan kualifikasi hakim pengadil yang mumpuni.

Masih diakomodasi

Catatan Wikipedia, dalam sistem hukum Indonesia setidaknya ada 11 perangkat hukum yang mengakomodasi putusan penjatuhan pidana mati, baik itu di Kitab Undang-undang Hukum Pidana, UU Narkotika, UU Antikorupsi, UU Antiterorisme, dan UU Peradilan HAM. Tetapi itupun tidak menyurutkan semangat banyak pihak agar pasal-pasal “menghilangkan nyawa” ini dicabut dari hukum pidana dan tidak dipakai lagi.

Setidaknya sudah dua kali permohonan uji materi dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi terkait pencabutan hukuman mati. Pertama pada tahun  2007, majelis hakim MK yang diketuai Jimly Asshidiqie menolak permohonan dua kelompok pemohon berbeda yakni kelompok terpidana narkotika Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani (yang telah dieksekusi di LP Nusakambangan), beserta dua dari kelompok pengedar Bali Nine Andrew Chan dan Myuran Sukumaran lewat pengacara mereka Todung Mulya Lubis, dan satu pihak lain yang merupakan anggota sindikat Bali Nine lainnya yakni Scott Anthony Rush lewat kuasa hukumnya Denny Kailimang. Mahkamah kala itu berpendapat, hukuman pidana mati tidak menghapus upaya pemenuhan hak asasi dan hak hidup seseorang, selama dimaksudkan untuk menjaga hak orang lain dan demi ketertiban umum. Majelis juga menjelaskan, bahwa Hak Hidup yang dimaksud pemohon untuk dilindungi memang tidak boleh dikurangi, kecuali atas putusan pengadilan.

Permohonan uji materi kedua pada Juli 2012, MK lewat pelaksana Hakim Ketua Achmad Sodiki dalam sidang putusan menolak permohonan berkaitan tindak pidana pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan terbunuhnya seseorang, oleh sepasang terpidana Raja Syahrial alias Herman dan Raja Fadeli alias Deli. Dalam argumennya, mahkamah berpendapat bahwa semua kejahatan yang tergolong serius dan menimbulkan kekhawatiran tinggi bagi masyarakat masih layak dijatuhi vonis hukuman mati.

Sementara terkait status hukum Indonesia dalam sudut pandang konvensi internasional pembatasan hukuman mati, ada banyak referensi legal yang bisa dijadikan bahan diskusi seputar apakah hukuman mati di Indonesia sudah layak dihapuskan atau belum.

Situs publikasi dan tanya-jawab persoalan hukum hukumonline.com pada Mei 2013 lalu sebenarnya telah menjawab kegusaran publik yang membenturkan kepentingan penegakan hukuman mati dengan hak hidup yang diakomodasi perangkat hukum Indonesia. Peneliti sekaligus panelis  diskusi Tri Jata Pramesti, S.H. menjelaskan, Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” yang senada dengan ayat-ayat dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang HAM tidak menggugurkan keabsahan pasal penjatuhan pidana mati yang diatur dalam perangkat hukum yang sama.

“Hak Asasi Manusia dan hak hidup--sebagaimana dalam kasus pidana mati, dapat dibatasi dengan instrumen Undang-Undang,” jawab Tri Jata. Lebih lanjut ia menggambarkan persamaan antara hukuman mati dengan keputusan aborsi untuk menyelamatkan seorang ibu. “Meski diakui bahwa hak hidup juga melekat pada bayi yang belum lahir, seperti pula pada seorang terpidana mati, tetapi dalam keadaan dan kondisi sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya, maka tindakan aborsi masih dapat dilangsungkan atas kuasa dokter, sebagaimana [eksekusi] terpidana mati atas seizin pengadilan.”

Sejalan dengan putusan MK sebelumnya, Tri Jata berpendapat bahwa pelaksanaan hukuman mati yang sejalan dengan penegakan hukum di Indonesia tidak melanggar konvensi internasional manapun.

Konvensi Internasional perlindungan hak hidup yang ikut diratifikasi Indonesia, The International Convention for Civil and Political Right (ICCPR) berupa perangkat kesepahaman yang ditandatangani lebih dari 150 negara di dunia demi melindungi hak-hak dasar manusia serta (secara otomatis) membatasi penerapan praktik-praktik hukuman mati. Selain ICCPR, masih ada Rome Statue of International Criminal Court, dan European Declaration of Human Rights yang menganjurkan penghapusan hukuman mati. Akan tetapi sebagaimana putusan MK pada 2007 lalu itu, sebagian pakar menganggap Indonesia tidak melanggar kesepakatan internasional karena segala konvensi itu hanya bersifat “menganjurkan” dan tetap menghargai kedaulatan hukum tiap negara pesertanya.

Indonesia sendiri terkait eksekusi mati tidak hanya dimonitor oleh Konvensi seperti ICCR dan Statuta Roma, tetapi beberapa konvensi lain yang lahir dari kelompok negara populasi muslim, yang sebagian besarnya masih mengadopsi hukuman mati sebagai bagian dari landasan pembangunan sistem hukum. Protokol Kairo yang disahkan organisasi negara-negara populasi mayoritas Islam (OKI) pada 1969 dan digunakan hingga sekarang juga menjelaskan butir alasan yang sama mengapa hukuman mati tidak mengganggu penegakan hak hidup seorang manusia.

“Hak hidup adalah karunia dari Tuhan, dan harus dilindungi, kecuali oleh keputusan Syariah,”

Demikian butirnya. Dan meski Indonesia tidak menggunakan sistem hukum Syariah sebagaimana yang melakukan praktik qisas di Arab Saudi, toh pemahaman butir ini ikut dijewantahkan dalam kerangka penafsiran Undang-Undang pidana dalam negeri, sebagaimana yang dipahami MK lewat dua putusan uji materinya.

RUU KUHP

Karena itu, meski opini publik terbelah dengan argumen yang sama-sama kuat, nampaknya perdebatan soal hukuman mati di Indonesia masih akan tetap berlangsung. Terlebih masih ada setidaknya 135 nama dalam “daftar tunggu” Kejaksaan Agung yang menanti dieksekusi, jika tidak berhasil memperoleh grasi dari presiden.

Dan meskipun banyak kalangan menilai hukuman mati sudah ketinggalan, perangkat hukum Indonesia di masa depan masih tetap akan mengandung butir-butir ayat dan pasal yang membenarkan eksekusi di depan regu tembak. Dalam RUU KUHP yang kini masih mandek di pembahasan DPR, setidaknya ada 15 pasal yang mengandung ancaman hukuman pidana mati.

Dirangkum Aliansi Nasional Reformasi KUHP pada April 2013 lalu, pasal-pasal itu melingkupi ancaman untuk kejahatan-kejahatan luar biasa sebagaimana ada sekarang, ditambah pasal-pasal tambahan dengan catatan “pelaksanaannya dapat ditinjau ulang oleh Menteri Hukum dan HAM.”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline