Lihat ke Halaman Asli

The Last Train

Diperbarui: 27 Juni 2024   18:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

" .... Bro, kalau aku menjadi pekerja dari pemerintahan gimana?"

"Kalau gitu, aku akan jadi buruh atau petani. Dan mungkin akan mengeluhkan banyak hal padamu mengenai peraturan-peraturan yang melenceng."

"Ya, aku juga akan jadi rakyat biasa saja. Jadi aku bisa menjadi wasit di antara kalian berdua. Demi membangun negeri ini menjadi lebih baik, kan."

"Tapi kita bertiga saja tidak kuliah. Sekarang saja masih hidup dalam ketidak-tentuan. Ha-ha." Aku langsung menyeletuk demi membalikan posisi diri sendiri pada sebuah kenyataan. Tapi obrolan kami bertiga ini sebenarnya tidak cukup melenceng. Ya, bagaimana pun, sebentar lagi kami akan berpisah.

.......

Namaku Rano, kedua temanku ini bernama Mukhlis dan Dola. Kami bertiga tumbuh bersama sejak kecil di sebuah desa dan itulah mengapa hampir setiap hari selalu bersama-sama. Untuk sekedar bermain atau mendiskusikan sesuatu di luar jangkauan kami. Tapi aku sangat menyayangi mereka sudah seperti saudara kandung sendiri.

Beberapa hari terakhir ini mungkin ikatan kami sedikit terguncang, bukan karena hal buruk juga melainkan demi masa depan kami sendiri. Sebab kami tahu betul kondisi desa ini, bagaimana kehidupannya, pekerjaan, bahkan pendapatannya. Maka dari itu kami sudah merencanakan akan bagaimana kehidupan kami ke depannya termasuk menyadari bahwa kalau tinggal di sini saja sepertinya tidak akan dapat mengubah keadaan.

Aku sudah memutuskan akan pergi ke tanah Jawa, Mukhlis ke tanah Sumatra, sedangkan Dola akan pergi ke ibu kota. Kami bertiga sudah siap ingin pergi merantau segera selagi masih muda dan berenergi. Tentu semata-mata bukan hanya mengubah masa depan, namun juga mengejar impian masing-masing. Walaupun di tanah desa ini sendiri kami tidak pernah kekurangan apa pun. Jadi akhir-akhir ini memang cukup menyedihkan juga.

Setelah panen ini berakhir, setelah kami menerima upah dari bekerja di pesawahan, segera setelah itu langkah kami akan menjadi kertas putih yang akan kami sendiri tuliskan dengan segala takdir kami.

"Bro, yok, lanjut lagi kalau sudah makan siangnya," ucap Mukhlis di tengah lamunan. Aku dan Dola hanya mengangguk dan mulai mengenakan kaos yang sudah dilepaskan karena cuaca hari ini sangatlah panas.

Kami sedang bekerja di sawah yang dimiliki salah satu juragan di desa. Upahnya lumayan untuk modal dan ongkos kami merantau. Juragan itu juga cukup baik dan dekat dengan kami, sudah seperti paman, ia juga mau membantu niatan kami untuk pergi merantau.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline