Oleh Afrizal Manurung dan Edy Surya
Pendidikan memegang peranan yang sangat penting dalam mempersiapkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu pendidikan hendaknya dikelola, baik secara kualitas mapupun kuantitas. Hal tersebut dapat dilihat pada prestasi belajar siswa. Selama ini pencapaian prestasi belajar khususnya di bidang matematika cukup memprihatinkan. Ini tercermin dari hasil tes Trends In Mathematics and science Study(TIMSS) pada tahun 2015. Penilaian yang dilakukan International Association for the Evaluation of Educational Achievement(IEA) yang dilaksanakan dalam 4 tahun sekali ini menempatkan negara Indonesia pada peringkat 45 dari 50 negara yang siswanya di tes dengan perolehan poin sebesar 397.
Undang-undang No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional Bab 1 Pasal1 (ayat 1) yang menjelaskan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar siswa secara aktif mengembangkan potendi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Selanjutnya, pasal 3 menyebutkan bahwa, pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Pendidikan sebagai aktivitas mendidik atau aktivitas belajar mengajar, esesnsinya terletak pada belajar dan esensi dari belajar terletak pada berpikir (Sanusi, 2013 : 23). Pendidikan merupakan upaya untuk mengajari peserta didik berpikir. Peserta didik harus ditekankan pada keterampilan berpikir yaitu harus diarahkan dapat berpikir kritis, berpikir tingkat tinggi dan mandiri dalam kegiatan pembelajaran.
Ada dua jenis keterampilan berpikir, yaitu keterampilan berpikir tingkat tinggi atau Higher Order Thinking Skills (HOTS) dan keterampilan berpikir tingkat rendah atau Lower Order Thinking Skills. Pada zaman saat ini keterampilan berpikir tingkat tinggi sangatlah diperlukan. Peserta didik dituntut mencari tahu dan memecahkan permasalahan yang rumit secara mandiri sehingga membutuhkan proses berpikir yang cerdas, kreatif, dan inovatif.
Tahapan berpikir menurut Taksonomi Bloom yang direvidi oleh Anderson dan Krathwohl dianggap sebagai dasar bagi berpikir tingkat tinggi. Tiga aspek dalam ranah kognitif yang menjadi bagian dari keterampilan berpikir tingkat tinggi yaitu aspek menganalisa (C4), aspek mengevaluasi (C5), dan aspek mencipta (C6). Sementara tiga aspek lainnya dalam ranah yang sama, yaitu mengingat (C1), memahami (C2), dan menerapkan (C3) masuk dalam tahapan intelektual berpikir tingkat rendah (Sani, 2015)
Berdasarkan pengalaman peneliti mengajar di kelas VI SDS Sang Bintang pada dominannya pembelajaran diajarrkan dengan metode ceramah dan tanya jawab. Kondisi ini bertolak belakang dengan kurikulum yang digunakan yaitu kurikulum 2013. Hal ini membuat peserta didik pasif dan hanya diam di tempat duduk menerima materi yang disampaikan oleh guru. Sehingga peserta didik hanya meniru apa yang diajarkan oleh guru dan kesulitan dalam meyelesaikan persoalan-persoalan baru yang menuntut untuk berpikir kreatif dan mandiri.
Oleh karena itu, peneliti ingin meningkatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi peserta didik di SD, terkhusus di SDS Sang Bintang, agar aktivitas pembelajaran tidak hanya menitik beratkan kemampuan menghafal saja. Salah satu pendekatan pembelajran yang bersifat berpikir tingkat tinggi adalah pendekatan Real Mathematics Education (RME). Pendidikan matematika realistis atau Realistic Mathematics Education (RME) adalah sebuah pendekatan belajar matematika yang menempatkan permasalahan matematika dalam kehidupan sehari-hari sehingga mempermudah siswa menerima materi dan memberikan pengalaman langsung dengan pengalaman mereka sendiri. Masalah-masalah realistis digunakan sebagai sumber munculnya konsep-konsep atau pengetahuan matematika formal, dimana siswa diajak bagaimana cara berpikir menyelesaikan masalah, mencari masalah, dan mengorganisasi pokok persoalan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H