Melihat permasalahan rokok di negeri kita, rasanya sudah menjadi tontonan keseharian yang tak berkesudahan. Asap rokok seakan menjadi makanan pengganti sarapan untuk memulai keseharian.
Masalahnya, rokok tidak hanya menimbulkan kerugian bagi penggunanya, namun juga kepada orang di sekitarnya atau yang biasa disebut sebagai perokok pasif. Perokok pasif memang tidak mengisap rokok secara langsung, namun asap yang dikeluarkan perokok aktif merupakan produk buangan yang tidak terfilter sehingga membuat perokok pasif memiliki risiko tiga kali lipat lebih besar terpapar zat berbahaya yang terkandung di dalam rokok.
Data dari Kemenkes dan WHO menyebutkan bahwa prevalensi perokok pasif tercatat naik menjadi 120 juta orang di tahun 2022 dan 65.000 orang meninggal setiap tahunnya akibat menjadi perokok pasif. Hal ini bukan tanpa sebab, mengingat masih banyak perokok aktif yang tidak bertanggung jawab dengan merokok di sembarang tempat dan tak jarang, mengganggu kenyamanan orang di sekitarnya.
Belum lama ini, kita telah melewati Hari Tanpa Tembakau Sedunia atau disingkat HTTS yang diperingati tiap tanggal 31 Mei. Hal ini tentu saja dimanfaatkan oleh segelintir pihak, baik dari pemerintah maupun umum, bahu-membahu menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk meminimalisasi konsumsi rokok di negeri kita tercinta ini.
Salah satunya adalah konferensi nasional tahunan bernama ICTOH (Indonesian Conference on Tobacco or Health) yang diselenggarakan oleh TCSC-IAKMI (Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia), sebuah organisasi yang bergerak di bidang pengendalian tembakau di Indonesia, bekerja sama dengan P2PTM Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan didukung oleh organisasi pengendalian tembakau lainnya di Indonesia. Acara ini dilaksanakan setiap tahun bertepatan dengan Hari Tanpa Tembakau Sedunia yang diperingati setiap tanggal 31 Mei.
Tema yang diangkat pada ICTOH ke-7 pada acara puncaknya tanggal 31 Mei 2022 adalah "Rokok: Ancaman Kesehatan dan Lingkungan" yang disiarkan secara langsung via YouTube. Salah satu fokus utama yang dibahas adalah "Implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Indonesia Dalam Mendukung Lingkungan Sehat" yang menghimbau kepada pemerintah daerah dari 34 provinsi di Indonesia agar segera membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang Kawasan Tanpa Rokok sehingga rancangan pemerintah ini bisa merata di seluruh provinsi dan membantu mengurangi prevalensi perokok di Indonesia.
Pada kesempatan itu, Direktur Jenderal P2P Kemenkes RI, Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM., MARS., juga mewanti-wanti bahwa prevalensi perokok di Indonesia sudah memprihatinkan dan menjadi ancaman serius bagi kesehatan dan kualitas SDM di Indonesia. Apalagi terjadi peningkatan konsumsi rokok, baik dari rokok konvensional maupun rokok elektrik, yang didominasi oleh kelompok anak dan remaja usia 10-18 tahun.
Beliau juga mengatakan bahwa banyak anak Indonesia menjadi perokok pasif dengan terpapar asap rokok di rumah dan tempat umum. Oleh karena itu, pemerintah membuat kebijakan pengendalian tembakau, salah satunya ialah penerapan Kawasan Tanpa Rokok. Sesuai UU No. 36 Tahun 2009 dan PP No. 109 Tahun 2012, Pemerintah Daerah wajib menerapkan KTR di wilayahnya di tempat-tempat, seperti di fasilitas pelayanan kesehatan, tempat ibadah, tempat belajar-mengajar, tempat bermain anak, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum lainnya yang ditetapkan dalam peraturan tersebut.
Hingga saat ini, sudah terdapat 332 (64,6%) kabupaten/kota di Indonesia yang sudah memiliki Perda terkait KTR. Hal ini merupakan kabar baik mengingat Indonesia sudah di fase darurat asap rokok dan memerlukan kebijakan tegas dari pemerintah terkait agar tidak mengancam kelangsungan hidup generasi bangsa selanjutnya.
Sebelum melangkah lebih jauh lagi, alangkah baiknya kita mengetahui tentang KTR itu sendiri.
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan atau mempromosikan produk tembakau.