Lihat ke Halaman Asli

Afrizal Rizky

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Eksploitasi Budaya dalam Iklan Bukalapak?

Diperbarui: 10 Januari 2024   02:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Membahas perkembangan teknologi, tak henti-hentinya kita menyinggung media yang menjadi salah satu faktor penting dalam kemajuan ekonomi di Indonesia. Faktanya, kemajuan dalam bidang ekonomi telah menyebabkan banyaknya kemunculan produk baru ataupun jasa iklan yang beraneka ragam. Dampak positif dari menjamurnya iklan adalah tersedianya berbagai alternatif jasa pilihan. Sementara itu, dampak negatif iklan yaitu munculnya kesulitan untuk memilih produk atau jasa yang kita butuhkan atau inginkan. Produsen produk menyadari dilema yang terjadi dan berlomba-lomba menyajikan informasi dengan iklan yang semenarik mungkin. Saat ini iklan tidak hanya ditujukan untuk menarik perhatian semata, persaingan yang ketat telah menjadikan iklan memiliki muatan konflik khususnya dalam kehidupan sosial kebudayaan. Salah satu perusahaan yang menggunakan iklan di televisi untuk menawarkan promo adalah Bukalapak. Bukalapak merupakan salah satu toko online Indonesia yang menyediakan sarana jual-beli dari konsumen ke konsumen. Bukalapak memberikan jaminan 100% uang kembali kepada pembeli jika barang tidak dikirimkan oleh pelapak (Zaky, 2014). 

Iklan menyajikan banyak makna di balik tampilan yang bagus. Ini mencakup masalah seperti eksploitasi, objek kekerasan, gaya hedonisme, konsumtif, bahasa, pencitraan, dan stereotip. Semua iklan televisi menampilkan produk yang akan dijual. Namun, ada aspek sensitif yang tersembunyi dalam iklan, terutama yang menggunakan perempuan sebagai contoh. Iklan tidak hanya menampilkan produk yang diiklankan, tetapi juga menampilkan sosok perempuan yang dipenuhi dengan semua stereotip tentang perempuan.

Pada tanggal 26-31 Januari 2017 yang berdekatan dengan Hari Raya Tahun Baru Cina/Imlek, Bukalapak menghadirkan promo Nego Cincai. Promo ini memberi kesempatan pada pembeli untuk menawar harga produk yang dijual di website tersebut. Melihat kembali iklan yang dipromosikan di platform Youtube ini, dapat dipahami bahwa semiotika yang dipakai penulis dalam iklan ini adalah unsur budaya etnis tinghoa, diawali dengan pengenalan tokoh perempuan yang mengenakan pakaian bercorak merah keemasan serta pengkriting rambut yang ada di kepalanya. Objek utama dalam iklan ini adalah “Buk Linda” yang dimana divisualisasikan menggunakan tutur bahasa, logat, latar belakang berupa bangunan dengan arsitektur khas etnis Tionghoa. Menampilkan vokal, nada dan aluna unik khas tionghoa yang dibawakan Buk Linda juga merupakan salah satu faktor keunikan iklan ini, terlihat dari lirik lagu di iklan tersebut “Bukalapak emang cincai, harga santai kagak lebay, dinego aja say”. 

Iklan ini juga memberikan stereotype di masyarakat bahwa perempuan cenderung dengan budaya konsumtif nya serta tak sedikit juga orang yang menafsirkan iklan ini secara berbeda seperti kritik terhadap penggunaan budaya tionghoa yang kerap kali menjadi topik kesenjangan minoritas di Indonesia. Hal inilah yang menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Meskipun lirik tersebut terbilang unik tetapi lirik tersebut tetap memiliki pesan yang ingin disampaikan kepada konsumennya, sehingga tidak menghilangkan fungsi dari iklan yaitu memberikan pesan kepada konsumenya. Hal itu lah yang membuat iklan ini menjadi iklan yang menarik sekaligus sukses dalam penyampaian.

Dengan adanya keragaman budaya dan suku di Indonesia, hal ini menimbulkan pertanyaan mengapa Bukalapak memilih budaya Tionghoa dalam penyampaian iklannya dan bagaimana visualisasi budaya Tionghoa pada iklan Bukalapak Nego Cincai (Fahrini & Franzia, 2017). 

Stereotipe sebagai pembentuk perilaku di masyarakat 

Stereotip adalah kepercayaan positif atau negatif yang dipegang terhadap kelompok sosial tertentu. Stereotip menyebabkan prasangka, yang merupakan sikap negatif yang tidak dapat dibenarkan terhadap anggota kelompok tersebut. Dalam kasus iklan Bukalapak kita kebanyakan orang memberikan stereotype negatif dari iklan tersebut dikarenakan pengangkatan unsur budaya yang cenderung sensitif di kalangan masyarakat.

Teori Labeling

Teori ini dapat disebut juga sebagai teori reaksi social atau teori Penjulukan. Teori ini diilhami terutama oleh teori interaksi simbolik dari George Herbert Mead dalam bukunya Mind Self, and Society (1934). Labelling adalah proses melabel seseorang. Label, menurut A Handbook for The Study of Men- tal Health, adalah sebuah definisi yang ketika diberikan pada seseorang akan menjadi identitas diri orang tersebut, dan menjelaskan orang dengan tipe bagaimanakah dia. Dengan memberikan label pada diri seseorang, kita cenderung melihat dia secara keseluruhan kepribadiannya, dan bukan pada perilakunya satu per satu.

Menurut teori ini, proses penjulukan ini demikian dahsyatnya sehingga korban-korban pendefinisian salah kaprah ini tidak nya dapat menahan pengaruhnya. Karena berondongan julukan yang bertentangan dengan pandangan mereka sendiri, citra diri asli mereka sirna, digantikan citra diri baru yang diberikan or- saha ang lain. Pelabelan masyarakat pada etnis budaya Tionghoa tentunya sangat beragam dan tergantung bagaiaman kita sebagai khalayak menafsirkan suatu objek. Bila pandangan ini mengarah ke hal negatif tentu saja tidak jauh dari konsep minoritas yang tertindas. 

Jika memandang dari sisi positif, upaya yang dilakukan oleh Bukalapak untuk menarik perhatian konsumen adalah mengangkat budaya Tionghoa. Bukalapak memperkenalkan adanya fitur “nego cincai” di website itu dengan Buk Linda sebagai objek utama, bahkan tidak sedikit orang juga memandang Budaya Tionghoa identik dengan teknik negosiasi dan tawarmenawarnya. Dalam hal ini perlu kita pahami bahwasannya Etnisitas tidak menjadi fokus utama dalam iklan ini melainkan hanya pelengkap kompleksitas dari kepribadian yang ditampilkan Buk Linda. Solusi yang ditawarkan adalah dengan masyarakat yang lebih rasional dalam memandang suatu unsur budaya dalam iklan dan tidak terlalu fokus menitikberatkan konsep budaya ke satu objek saja dan lebih memahami makna dari iklan tersebut.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline