Lihat ke Halaman Asli

Ibuku, Sosok Teladan yang Luar Biasa

Diperbarui: 6 Desember 2020   18:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto Rodolfo Quiros dari Pexels

Malam itu, Januari 2003, beberapa hari setelah ayah wafat, kami berkumpul untuk membicarakan satu hal penting bersama ibu. "Ma, mulai besok Mama tinggal di rumah saya ya," ujar kakak perempuan saya membuka pembicaraan.

Sesuai dengan skenario yang sudah kami susun sebelumnya, kami pun mendukung usulan kakak saya tersebut. "Iya Ma, tinggal sama Wati aja," kata abangku yang tertua menimpali. Saya pun ikut bicara. "Tinggal di rumah saya juga boleh Ma. Pokoknya Mama bebas tinggal pilih, mau tinggal di rumah siapa," kata saya.

Suasana pun hening. Kami harap-harap cemas menanti jawaban ibu. Dan, jawaban yang keluar dari mulut ibu sungguh di luar perkiraan kami.

"Nggak usah. Biar Mama di sini aja. Mama nggak mau merepotkan kalian. Lagi pula, Mama nggak mau ninggalin rumah ini, rumah peninggalan Papa kalian," ujarnya dengan nada lirih.

Kami tentu kaget mendengar jawaban ibu. Memang, ibu tidak sendirian di rumah. Ada asisten rumah tangga yang menemani, namanya mbak Ani. Dialah yang sehari-hari membantu mencuci baju, mencuci piring, menyapu, mengepel lantai, dan membantu ibu memasak. Mbak Ani sudah lama bekerja, bahkan saat ayah masih hidup.

Meski ada mbak Ani, kami masih tetap khawatir. Bagaimana jika tiba-tiba ibu sakit. Beruntung, rumah kakak perempuan saya tidak jauh dari rumah ibu, sehingga dia lebih sering menengok ibu ketimbang saya. Kami empat bersaudara, tiga laki-laki dan satu perempuan. Saya anak bungsu. Rumah ibu berlokasi di bilangan Kebon Baru, Tebet, Jakarta Selatan. Sedangkan saya dan abang saya nomor tiga tinggal di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan. Abang sulung saya sudah lama berdomisili di kampung halaman kami di Bukittinggi, Sumatera Barat.

Karena jarak berjauhan, saya dan abang saya beserta keluarga (anak dan istri) hanya bisa menengok ibu seminggu sekali. Namun jika ada waktu senggang, misalnya saat ada tugas di luar kantor, kami sering menyempatkan diri mampir ke rumah ibu, sebelum kembali ke kantor.

Kami berempat sudah berkeluarga dan sudah tinggal di rumah kami masing-masing, saat kedua orang tua kami masih hidup.

Kemandirian Hidup

Kami tentu kecewa dengan keputusan ibu yang tidak mau tinggal bersama anak-anaknya. Meski demikian, kami cukup memahami. Kami sudah paham betul karakter ibu. Beliau merupakan sosok yang memegang teguh prinsip kemandirian. Prinsip itu telah beliau tanamkan kepada kami sejak kami masih kecil.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline