Menteri Keuangan Sri Mulyani menggagas rencana yang mengejutkan. Dia akan menerapkan cukai terhadap kantong plastik atau kantor kresek, minuman berpemanis, dan emisi gas buang CO2 kendaraan bermotor.
Potensi penerimaan cukai dari ketiga komponen tersebut ditaksir mencapai Rp 23,55 triliun per tahun, dengan perincian Rp 1,6 triliun dari kantong platik, Rp 6,25 triliun dari minuman berpemanis, dan Rp 15,7 triliun dari cukai emisi gas buang CO2 kendaraan bermotor.
Ada dua alasan pengenaan cukai tersebut. Pertama, alasan pencemaran lingkungan untuk kantong plastik dan emisi gas buang. Adapun alasan kedua pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis adalah terkait dengan masalah kesehatan.
Sri Mulyani bilang, minuman berpemanis berpotensi memicu penyakit gula/diabetes dan kegemukan/obesitas. Dampak lanjutan dari diabetes adalah kolesterol dan serangan stroke.
Untuk alasan lingkungan, cukup realistis dan masuk akal. Namun untuk alasan kesehatan, terkesan mengada-ada dan dipaksakan. Dikatakan mengada-ada karena jenis minuman tersebut sudah ada sejak dulu dan menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat.
Kenapa baru sekarang dikenai cukai? Dan kalau pun ingin menjaga kesehatan, kenapa hanya minuman berpemanis saja yang disasar? Mengapa tidak sekalian saja makanan juga dikenai cukai?
Alangkah banyaknya makanan yang tidak baik bagi kesehatan. Sebut saja misalnya rendang, sop buntut, sate kambing, jeroan, dan makanan cepat saji (Mc Donald, KFC, Pizza, dan Burger). Makanan tersebut dapat memicu kolesterol, asam urat, diabetes, obesitas, gangguan pernafasan, jantung, bahkan kanker.
Jadi, asalan utama pengenaan cukai bukanlah seperti yang disampaikan oleh Sri Mulyani di atas. Alasan utamanya adalah untuk menambal defisit anggaran. Masyarakat tahu itu. Masyarakat tidak bodoh dan tidak bisa dibodoh-bodohi. Masyarakat Indonesia pintar-pintar kok.
Sri Mulyani memang sedang pusing tujuh keliling. Untuk Januari 2020 saja, defisit anggaran sudah mencapai Rp 36 triliun. Itu baru bulan Januari, belum lagi bulan-bulan berikutnya. Nah, angka defisit itulah yang harus ditutupi melalui cukai tadi.
Menkeu memang mengakui bahwa pengenaan cukai akan berdampak pada kenaikan inflasi. Namun sayangnya dia tidak memperhatikan nasib konsumen yang notabene adalah rakyat Indonesia.