Saya agak bingung mengikuti dinamika importasi minyak dan gas (migas) serta sepak terjang mafia migas di Indonesia. Bingungnya begini, presiden Joko Widodo marah-marah karena banyak pihak yang masih melakukan impor migas.
"Saya ingatkan bolak-balik, kamu hati-hati. Saya ikuti kamu, jangan halangi orang ingin membikin batu bara jadi gas gara-gara kamu senang impor gas. Lah ini yang seneng impor, bukan saya cari. Sudah ketemu siapa yang seneng impor. Sudah ngerti saya," kata Jokowi saat Musyawarah RPJMN 2020-2014 di Istana Negara, Senin (16/12/2019), seperti dikutip Kompas.com.
Dari kalimat itu, jelas terlihat bahwa Jokowi sudah tahu siapa oknum importir tersebut. Yang jadi pertanyaan adalah, impor migas itu legal atau tidak? Kalau ilegal, ya langsung saja pemerintah ambil tindakan tegas: tangkap pelakunya dan proses secara hukum.
Jika impornya legal, berarti pemerintah mengetahui adanya aktivitas impor tersebut. Lazimnya, setiap ada rencana impor produk tertentu, apalagi yang menyangkut hajat hidup orang banyak seperti migas, pasti harus mendapatkan persetujuan pemerintah. Lha, kalau impor migas itu legal dan sudah diketahui pemerintah, kenapa Jokowi harus marah-marah?
Andaikata pemerintah merasa terganggu dengan ulah oknum importir karena menghambat rencana pembangunan kilang migas, ya setop aja izin impornya. Habis perkara.
Semula, masyarakat termasuk saya, sangat salut dan mengapresiasi pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla (JK) yang membubarkan Pertamina Energy Trading Ltd (Petral) pada 13 Mei 2015, karena dianggap sebagai sarang mafia migas.
Menurut lembaga auditor Kordha Mentha, jaringan mafia migas telah menguasai kontrak suplai minyak senilai US$18 miliar selama tiga tahun (2021-2014). Anggota Tim Reformasi Tata Kelola Migas yang pernah dibentuk Presiden Jokowi pada 2014-2015, Fahmy Radhi, mengungkapkan mafia-mafia itu mendapatkan sekitar US$ 2,4 juta sehari atau setara dengan Rp 33,6 miliar per hari dari impor minyak Indonesia. Jadi, dalam sebulan keuntungannya mencapai Rp 1 triliun. Pantas saja, akibat ulah para mafia migas tersebut, Pertamina tidak memperoleh harga terbaik dalam pengadaan produk BBM.
Setelah pembubaran Petral, pemerintah mengklaim bahwa Pertamina berhasil menghemat Rp 250 miliar per hari. Namun, mantan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan pembubaran Petral tak serta-merta membasmi praktik mafia migas di Indonesia. Itu berarti, hanya lembaganya saja yang bubar, tapi mafianya masih bergentayangan.
Wakil Presiden RI periode 2014-2019 Jusuf Kalla juga pernah mengungkapkan hal senada. Menurutnya, salah satu penyebab mengapa Indonesia masih impor migas terus adalah karena ada lobi-lobi importir minyak. Sulitnya Indonesia membangun kilang minyak, kata Kalla, karena ulah importir minyak yang mengganggu.
Melihat kenyataan itu, rasa salut dan apresiasi saya seketika lenyap sudah. Akankah Indonesia selalu digerayangi oleh mafia-mafia minyak?. Kita semua berharap Jokowi benar-benar berani membasmi mafia-mafia tersebut, meski ada kekuatan besar yang mencoba menghalangi.