DI JAKARTA dan kota-kota lainnya di Indonesia, kita tentu tak perlu pusing mencari tempat untuk melaksanakan ibadah salat Jumat. Masjid dan tempat salat bisa dijumpai dengan sangat mudah di hampir setiap sudut kota.
Bahkan, jika Anda pernah berkunjung ke Tidore, Maluku Utara, masjid atau musala bisa dijumpai dalam radius beberapa meter saja! Hal ini tentu tak mengherankan, mengingat Islam sudah mengakar selama ratusan tahun di negeri Sultan Nuku ini.
Namun, tak demikian halnya apabila kita berada di negara-negara di mana Islam menjadi agama minoritas seperti di Thailand. Menunaikan ibadah salat Jumat bisa jadi merupakan masalah yang serius. Itulah yang kami hadapi pada siang itu, setelah paginya mengarungi Chao Phraya menuju kompleks Wat Prah.
Salah satu sumber menyebutkan bahwa 95 persen penduduk Thailand merupakan penganut Buddha Theravada, sementara komposisi masyarakat Muslim berada hanya pada angka 4%.
Meski demikian, jika dibandingkan dengan jumlah penganut agama dan aliran kepercayaan lainnya seperti Kristen, Hindu dan Shikh, yang umumnya dijumpai di Bangkok, angka tersebut tentu masih tergolong banyak. Muslim di Thailand umumnya berasal dari keturunan Melayu dan banyak ditemui di provinsi Pattani, Narathiwar, Yala dan Patun.
Kuil-kuil Buddha bisa ditemukan dengan mudah, sama halnya seperti masjid di Indonesia. Untuk salat Jumat, dari Wat Prah, kami harus kembali menyebrang ke arah Wat Arun, menggunakan kapal turis yang bolak-balik setiap 10 menit. Perjalanan menuju masjid bukanlah perkara mudah, selain terkendala bahasa, di sana juga tidak ada petunjuk yang pasti tentang komunitas Muslim yang akan kami tuju.
Teman saya, Rossi, arek Suroboyo yang tengah merampungkan studi di salah satu universitas di sana, memang sudah cukup bisa berkomunukasi dalam bahasa Thai. Namun, tetap saja kami agak kesulitan memperoleh informasi yang pasti mengenai keberadaan masjid untuk melaksanakan salat Jumat.
Masjid yang kami tuju terletak di tengah permukiman komunitas Muslim. Dari Wat Arun, kami menyisir ke arah pinggir sungai, lalu berbelok melewati deretan kios penjual oleh-oleh. Melewati beberapa rumah penduduk dan gang-gang kecil, sambil terus bertanya ke sana-sini, kami akhirnya menemukan masjid yang kami cari.
Untung, waktu salat Jumat masih setengah jam lagi. Kami kemudian duduk di sebuah bangunan semacam pos jaga yang terletak persis di samping tempat berwudhu. Keberadaan kami agaknya menarik perhatian beberapa orang jemaah salat Jumat yang tengah mengobrol di sana. Maklum tampang Melayu pedalaman saya tak bisa disembunyikan, sementara Rossi yang adalah arek Suroboyo juga tak bisa menyamar menjadi orang Thailand.
Salah seorang dari mereka bertanya tentang asal kami. Begitu kami mengatakan bahwa kami berdua berasal dari Indonesia, mereka tampak sumringah. Lalu mereka mengutarakan rasa bangga terhadap Muslim di Indonesia yang merupakan kelompok mayoritas -- kondisi yang berkebalikan dengan mereka di Thailand.
Berkali-kali mereka mengatakan bahwa betapa beruntungnya kami terlahir di Indonesia, di mana Islam menjadi agama terbesar yang secara kuantitas merupakan nomor satu di dunia. Salah seorang dari mereka juga menyampaikan keinginannya untuk berkunjung ke Indonesia suatu hari kelak.