BANDA NAIRA, rangkaian pulau mungil di sebelah tenggara Maluku, menjadi tujuan berlibur saya untuk menghabiskan jatah cuti tahunan pada 2015. Setelah setahun bekerja, mengasingkan diri sejenak dari hiruk-pikuk kota besar dan menikmati hari-hari tanpa ritme kerja yang monoton adalah sebuah nikmat Tuhan yang tak bisa kamu dustakan.
Adalah penulis buku Merobek Sumatra Fatriz MF yang memberikan rekomendasi tempat liburan ini pada saya, sekaligus memperkenalkan saya dengan Lukman Ang, orang asli Banda yang juga mengelola sebuah penginapan di sana. Fatriz dan rekannya Muhammad Faiz pada waktu itu sedang merampungkan proyek Banda Journal dan beberapa kali bolak-balik ke Banda Naira. Singkat cerita, setelah mendiskusikan beberapa hal dengan Lukman, saya pun berangkat menuju Banda Naira melalui Ambon. Saya sengaja memilih terbang malam dari Jakarta, transit di Makassar, lalu mendarat di Bandara Pattimura pada pagi keesokan harinya. Dari bandara saya segera mencari taksi yang akan membawa saya ke pelabuhan Tulehu. Di pelabuhan inilah saya bertemu untuk pertama kalinya dengan Lukman.
Selain kapal ekspres di Tulehu, perjalanan ke pulau yang pernah menjadi tempat pengasingan para pejuang republik ini bisa dilakukan dengan menumpang kapal Pelni dari pelabuhan Ambon atau pesawat berbadan kecil dengan jadwal yang kadang tak menentu. Dengan Pelni, Banda bisa dicapai dalam waktu sekitar 8-12 jam, sementara dengan pesawat udara -- seperti seharusnya -- waktu perjalanan bisa dipangkas hingga menjadi 45 menit saja!
Kapal cepat ke Banda berangkat setiap pukul 08.00 WIT dari Tulehu. Keramaian khas pelabuhan sudah mulai terlihat begitu saya turun dari taksi. Karena waktu keberangkatan masih setengah jam lagi, saya menyempatkan sarapan nasi kuning di salah satu warung semi permanen yang berjejer di area pelabuhan. Mengetahui saya akan berangkat ke Banda, ibu penjual nasi kuning beranggapan bahwa saya adalah seorang pemandu wisata. Anggapan yang sangat wajar, mengingat kunjungan ke Banda memang didominasi oleh turis asing.
Tak berapa lama setelah menghabiskan sepiring nasi kuning, Lukman akhirnya datang. Begitu tiket sudah di tangan, kami segera menuju KM Bahari Express, yang akan segera menarik sauh menuju Banda.
Meninggalkan pelabuhan Tulehu, saya merasakan adrenalin mulai terpacu. Maklum, saya adalah anak gunung yang sudah lama sekali tidak naik kapal laut. Perjalanan laut terakhir yang saya lakukan adalah dari Batam menuju Tanjung Balai Karimun, yang kemudian dilanjutkan ke Buton, Riau. Namun, tentu perjalanan kali ini jauh lebih menantang, karena yang akan kami arungi adalah Laut Banda, yang kedalamannya berkali-kali lipat dibanding laut di Kepulauan Riau sana.
Pada satu jam pertama perjalanan, pulau-pulau di Maluku masih terlihat dengan jelas. Sinyal ponsel pun masih sangat kuat. Bahkan saya masih sempat mengambil foto lalu 'memamerkannya' langsung di media sosial (anak zaman now banget he-he). Penumpang lain juga terlihat sibuk dengan gawai masing-masing.
Begitu kapal meninggalkan perairan Seram menuju Banda, sinyal pun hilang. Pemandangan di sekeliling hanyalah laut dan laut. Seolah tak bertepi. Saya mencoba membunuh rasa bosan dengan membaca buku, namun tak sampai 5 halaman, kantuk pun menyerang. Alhasil saya pun tertidur.
Ketika terbangun, pemandangan masih terlihat monoton: laut yang terhampar begitu luas (padahal kalau di peta Indonesia di ruang kelas SMP dulu perairan ini kelihatannya kecil banget he-he). Namun, tak beberapa lama kemudian dari riak air muncul satu dua ekor ikan terbang. Lalu disusul oleh segerombolan yang lain. Mereka ternyata benar-benar terbang. Tak hanya meloncat beberapa meter, namun mengepakkan sayap (sirip) hingga puluhan meter. Seru sekali menyaksikan ikan-ikan terbang itu dengan mata kepala sendiri.
Para penumpang bule tampak antusias menyaksikan pemandangan tersebut. Beberapa bahkan telah siap 'mengintai' dengan posisi kamera menghadap ke laut.
Keseruan menyaksikan ikan terbang kemudian disusul dengan sekawanan lumba-lumba yang berenang beberapa meter dari kapal. Saya langsung teringat adegan di film besutan sutradara Ang Lee, Life of Pi, ketika Pi Patel terkatung-katung di samudara luas bersama Richard Parker si harimau bengala.