Beberapa bulan yang lalu, saat berkunjung ke sebuah sekolah dasar di Jorong Simawik, Nagari Sisawah, Sijunjung, Sumatra Barat (yang terletak sekitar 200km dari kota Padang, dengan kondisi jalan tanah yang ketika musim penghujan masih belum bisa dilewati dengan lancar oleh kendaraan beroda empat) kami dari Rotan Project sedikit 'kaget' mendapati kenyataan bahwa hampir 100% siswa laki-laki di sana bercita-cita ingin menjadi pembalap. Iya, pembalap yang berpacu di ajang sekelas motoGP! Apa pasal?
Usut punya usut ternyata keinginan tersebut dipicu setidaknya dua hal: Pertama,mereka terpapar tayangan sinetron 'Anak Jalanan' di salah satu TV swasta nasional, yang sangat digandrungi saat itu; kedua, masih terpengaruh TV, mereka sering menonton lomba balap sepeda motor seperti motoGP. Valentino Rossi, Jorge Lorenzo, Dani Pedrosa dan Marc Marquez adalah nama-nama yang sangat familiar di telinga mereka.
Cita-cita yang kian beragam
Saya masih ingat dengan jelas, ketika ditanya tentang cita-cita, kami anak-anak ingusan yang lahir dan tumbuh di sebuah desa terpencil di tengah lebat-pekatnya hutan Sumatra, tak pernah mempunyai referensi yang lebih selain profesi mainstream seperti tentara, polisi, guru, atau dokter. Di pikiran bocah kami di kampung, profesi itulah puncak dari segala kedigjayaan yang ada di dunia ini. Aish..
Secara kontekstual, hal itu tentu sangat bisa dipahami. Kami tak memiliki akses yang memadai terhadap informasi. Memang TV sudah ada, tapi tontonan kami tentu tak begitu variatif seperti saat sekarang. Internet adalah makhluk antahberantah yang bahkan kami tak pernah mendengar namanya sekalipun dibicarakan.
Tayangan berbau hiburan di TV yang dimonopoli TVRI berpusat pada hiburan sejuta umat: dangdut. Kami menggandrungi penyanyi-penyanyi dangdut, tapi anehnya tak ada yang bercita-cita menjadi penyanyi seperti Rhoma Irama atau Camelia Malik (atau mungkin ada, tapi tak pernah punya cukup nyali untuk mengutarakannya hehe).
Ketika kemudian secara berkala TVRI 'berbagi ruang' dengan TPI, pilihan hiburan di kala libur memang sedikit beragam. Apalagi dengan munculnya program-program anak di RCTI. Tapi, tetap saja tak ada yang bercita-cita menjadi bintang film, pemain telenovela, dubber, atau semacamnya. Cita-cita kami ya tetap itu-itu saja: tentara, polisi, guru dan dokter. Sesekali ada yang bilang ingin menjadi pilot, tapi demi Niniak Tanah Bato, kami percaya bahkan dia sendiri tak pernah benar-benar tahu apa itu pilot. FYI, kami melihat pesawat sesekali melintas di langit Sumpur Kudus, ribuan kaki di atas kami, dan kami sangat senang dengan pemandangan 'ganjil dan agung' itu.
Tentara, polisi, guru dan dokter adalah orang-orang yang secara langsung bisa kami saksikan dalam keseharian. Pemerintah pada saat itu punya program ABRI Masuk Desa (AMD), dimana para tentara ditugaskan ke desa-desa untuk mengawal agenda 'pembangunan' - meski hal ini tentu sangat bisa dipertanyakan dan diperdebatkan. Sepulang sekolah kami melihat tentara dengan seragam hijau loreng mengawasi bapak-bapak gotong-royong. Militer sangat berkuasa saat itu. Menjadi seorang tentara sepertinya sangat membanggakan. Begitupun dengan polisi. Sementara guru dan dokter adalah pekerjaaan 'mulia' yang dinilai tinggi di mata masyarakat - saat itu.
Satu hal yang tidak kami sadari saat itu adalah bahwa semua cita-cita yang kami impikan tak satupun yang tidak memakai seragam. Keseragaman adalah semangat Orba. hehe
Beranjak remaja, cita-cita masa kecil sedikit bergeser. Ada yang mulai berani mengutarakan keingin menjadi 'pengusaha yang sukses', 'insinyur' atau 'mentri' (foto para mentri kabinet yang ditempel di ruang kelas tentu sangat berpengaruh dalam hal ini. Apalagi foto Menristek B.J Habibie yang terkenal pintar dan selalu nangkring di sana. Sementara Harmoko, walaupun sering muncul di TV, seingat saya tak pernah menjadi idola kami).
Cita-cita masa kecil terus saja berubah...