Lihat ke Halaman Asli

Sitha Afril

BINUSIAN

Keadaan Memaksaku Waras di Negeri yang Sekarat

Diperbarui: 5 September 2021   01:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[Dokumentasi Pribadi]

Terlepas dari segala jengah yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19, serta segala drama tugas akhir yang tak kunjung tuntas, aku pun kini tersadar bahwa aku bingung. Bukan karena dinamika perkuliahan yang pelik, bukan juga dibingungkan oleh lika-liku asmaraku yang absurd, namun, karena kekonyolan yang terjadi akhir-akhir ini.

**

Belum luntur dari ingatan, sebuah lelucon dilontarkan oleh seorang mantan menteri yang memohon untuk dibebaskan dari tuntutan hukum akibat polah gratil tangannya yang menyunat dana bansos. Belum juga terlupa, sebuah diskon hukuman yang diterima oleh mantan jaksa berparas cantik dengan dalih "perempuan" yang juga ibu dari seorang bayi mungil tak berdosa. Haha, sampah!

Betapa lucunya komedi yang dipertontonkan oleh segerombol maling uang rakyat yang hidup di negara yang sekarat ini. Negara yang sejatinya kaya, namun dihuni oleh manusia-manusia jenius dengan segala tipu muslihatnya. Manusia-manusia yang tidak bernurani dan mementingkan perut para kroninya sendiri. Bedebah!

Eh?

Astaga, tak sepatutnya hamba sahaya sepertiku mengetik umpatan untuk mereka yang sempat dimuliakan jabatan. Walau bagaimanapun, ledakan emosiku yang terlampau muak dengan tingkah para dagelan berbaju rapi itu tidak berguna. Aku tetaplah rakyat biasa yang tidak terlepas dari ancaman UU ITE. Jadi, lebih baik aku berhati-hati karena berbagai keajaiban bisa terjadi di negeri yang konon mendukung kebebasan berespkresi ini. 

Cukup!

Cukup sudah tulisan yang menyenggol para maling itu, aku akan beralih pada kemeriahan prosesi penyambutan seorang mantan narapidana yang tersandung kasus pelecehan seksual. Mungkin, euforia penyambutan para atlet yang berhasil menyumbangkan emas bagi Indonesia masih bersisa di benak masyarakat. Namun, bukan berarti prosesi penyambutan Greysia Polii and the gank dengan yang bersangkutan itu pantas dimiripkan.

Para atlet olimpiade yang pulang setelah berjuang di Jepang telah berhasil mengharumkan nama bangsa dengan prestasi yang layak diapresiasi, sedangkan mantan narapidana tersebut telah menggoreskan trauma bagi penyintas dari tindak pelecehan seksual yang dilakukannya. Entah apa yang terbesit dalam nalar para pemberi panggung yang menyambutnya dengan begitu meriah. Bukan iri, karena ini tidak ada hubungannya dengan konsep "rezeki tidak pernah tertukar". Namun bagiku, ini begitu lucu karena seolah-olah, para penyambut yang secara otomatis menjadi bagian dari masyarakat umum ini telah mempertontonkan pada dunia bahwa, kita adalah bangsa yang memuja pelaku pelecehan seksual. Oh iya, tulisan ini tidak memiliki tendensi untuk memojokkan yang bersangkutan, aku hanya menyoroti "cara" menyambut kebebasan yang tidak lazim.

Entah aku yang tolol atau memang semua ini konyol, yang pasti, hal tersebut cukup memprihatinkan dan tentunya membuatku semakin bingung. Tapi, ya sudah lah, kini saatnya aku beralih ke isu perundungan yang terjadi di sebuah institusi negara. Aku lebih tidak bisa berpikir waras saat mencerna rilis yang dibagikan oleh penyintas dan tersebar luas di dunia maya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline