Lihat ke Halaman Asli

Sitha Afril

BINUSIAN

Semicolon

Diperbarui: 15 April 2021   00:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

"...gue nggak bisa kasih apa-apa ke lu kecuali harapan agar lu bahagia."

Penutup pesan panjang yang kamu kirimkan beberapa hari lalu masih aku ingat detailnya. Bahkan, rekaman voice note yang kamu kirim pun masih sering aku putar walau tidak mencapai tiga puluh detik. 

Aneh? Iya. Aku memang aneh, mengulang-ulang rekaman suaramu yang selama ini aku rindukan adalah hal yang menenangkan untuk saat ini. Aku bersyukur, kamu kembali dengan cara yang baik, walau tidak untuk menetap.

***

Malam itu, aku benar-benar terkejut karena untuk pertama kalinya di tahun ini, kamu menelponku. Sengaja aku biarkan karena aku berpikir, kamu salah tekan dan jujur, aku belum siap untuk bercakap lagi denganmu jika memang kamu sengaja menelpon. 

Sekali, dua kali, aku tetap membiarkan ponselku berdering dan yang ketiga, aku memilih untuk menolak panggilanmu. Bukan bermaksud jual mahal, aku hanya enggan memulai percakapan dalam canggung sebagaimana kita yang saling diam saat berada di stasiun enam bulan lalu.

Aku sadar, sikapku yang demikian itu jauh dari kata dewasa. Bahkan, aku pun paham, tidak seharusnya aku mengabaikan sesuatu yang sebenarnya aku rindukan. Namun, aku juga tidak ingin berada dalam situasi yang hanya akan menjadikanku sesak. 

Walau aku mengerti, rindu yang mengarah padamu adalah pemantik sesak dan perih yang hingga detik ini masih terasa. Mungkin, semua ini dikarenakan oleh kekultusan sosokmu yang faktanya telah membawaku dalam beragam skenario unik yang tak terduga.

Ibarat kunci, kamu adalah pembuka jalanku untuk memasuki berbagai panggung pementasan drama yang alur ceritanya tak terduga. Ibarat pisau, kamu adalah sosok yang berhasil memutuskan ikatan luka yang menjeratku dengan masa lalu. 

Sialnya, sebagai pisau yang tajam, kamu juga yang melukaiku dengan hal yang bahkan masih belum bisa aku mengerti. Ah, sudahlah! Tidak ada hal yang patut kita perdebatkan lagi karena toh, kamu dan aku sudah terlalu asing dengan cerita yang dulu pernah kita bagikan bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline