Lihat ke Halaman Asli

Sitha Afril

Student of Master Degree - Diponegoro University

Mental Siapa yang Harus Dibela?

Diperbarui: 20 Desember 2020   05:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Dokumentasi Pribadi)

Lama-lama aku muak dengan segala hal yang dikaitkan dengan kata "mental". Apalagi jika aku harus menghadapi orang-orang yang sengaja berlindung dalam alibi "kesehatan mental". Bukan berarti aku tidak memiliki empati atau tidak peduli dengan psikis orang lain, tapi, aku hanya lelah dengan segala pemakluman yang kadang tidak masuk akal.

Bias! Saking banyaknya orang yang melakukan diagnosa mandiri tanpa validasi dari pihak yang terlegitimasi, justru membuatku makin skeptis. Aku kian terbentur dengan pertanyaan-pertanyaan konyol yang kemudian mendorongku untuk bersikap tak peduli. Namun, sebagai makhluk sosial yang (konon) memiliki kewajiban untuk mengutamakan tenggang rasa, akhirnya aku pun mengalah dan mengiyakan apapun yang sebenarnya berseberangan dengan nalar serta naluriku. Kalau sudah begini, siapa yang tersiksa? Batin diri sendiri. Batinku, bukan lawan bicara atau pihak yang sedang beradu argumen denganku.

Jujur, sesungguhnya aku malas untuk menulis perihal ini karena aku sadar akan risiko berwujud respons yang berseberangan dengan pendapatku. Namun, mau sampai kapan aku menahannya sendiri? Berdiam seolah tidak apa-apa dengan memalsukan ekspresi melalui emotikon saat berkirim pesan atau sekadar tersenyum sembari menahan amarah yang meronta.

Cukup! Aku tidak berniat menyinggung siapapun, aku hanya ingin meluapkan apa yang ada dalam benakku dengan sudut pandangku. Aku tidak menghakimi mereka yang memiliki gangguan mental karena aku pun menyadari, setiap orang terlahir dengan kondisi psike yang berbeda. Psike, bukan psikis, ya? Psike dalam bahasa Indonesia berarti jiwa, sedangkan psikis adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan psike. Hmmmm, back to topic!

Sebenarnya, sudah lama aku menggumulkan masalah ini. Namun, terhitung sejak bulan Juli tahun 2020, aku kian concern dan memutuskan untuk mengoptimalkan peran sebagai observer di lingkungan sekitar. Darah, tawa yang berubah tangis, jerit dan racauan serta kalimat "besok ke pskiater, psikisku kena!" adalah dasar yang menguatkanku untuk menjadi observer. Seseorang mengucapkannya tepat di hadapanku, dua hari sebelum dia mengiris pergelangan tangannya di hadapan karibku.

Panik? Jelas!

Aku begitu panik saat karibku menunjukkan kacaunya situasi saat itu. Sekalipun akal sehatku berusaha untuk menampar pipi agar aku segera tersadar bahwa ulahnya tidak berhubungan denganku, toh aku masih punya iba. Aku yang secara tidak langsung menjadi salah satu pihak yang mendorongnya untuk menyakiti diri sendiri pun terpenjara dalam rasa bersalah. Saat itu yang ada di pikiranku hanya pertanyaan-pertanyaan bodoh seperti, "bagaimana jika anak itu mati karena aku?"

Hahaha, bedebahPaok!

Satu bulan aku terkungkung dalam amarah yang tertahan, sedih yang berlarut, takut yang berkepanjangan dan ujungnya, aku sendiri yang kehilangan fokus. Debur ombak di pantai Parangtritis yang kala itu sepi tidak berhasil menenangkan kalutku, justru kerasnya aspal Muntilan yang perlahan mampu memulihkan fokusku. Kekacauan demi kekacauan yang terjadi saat itu pun akhirnya berhasil aku terima sebagai proses pendewasaan diri. Walau kini, proses itu telah berubah menjadi sebuah pemantik gurau yang terkadang aku tertawakan bersama orang-orang yang tak sengaja terseret di dalamnya.

Yaaaaaa, semenjak aku bertemu dengan orang yang (konon) hendak memutus nadinya pada waktu yang berbeda di sebuah warung dengan kondisi sehat, aku jadi berpikir, apakah dulu aku terseret dalam sandiwara yang sengaja dipertontonkan untuk meraup iba?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline