Konsentrasi dunia internasional atas dampak lingkungan dari penggunaan tidak terkendali bahan bakar tidak terbarukan atau bahan bakar fosil seperti batubara, minyak dan gas yang telah tumbuh secara signifikan pada ke-18. Dampak kerusakan dari rusaknya lingkungan ini berimbas pada tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, bangunan-bangunan yang rusak karena terkena hujan asam (acid rain).
Selain itu, dampak yang terkena efek dari kerusakan lingkungan ini adalah pada kualitas hidup yang rendah karena rendahnya kualitas air. Dampak-dampak yang dihasilkan oleh rusaknya lingungan ini sudah menjadi perhatian dunia, sehingga negara-negara di dunia ini berusaha untuk membuat kesepakatan dalam menangani masalah-masalah ini dengan cara pengurangi emisi gas yang merupakan penyebab dari ini semua.
Pada tahun 1980-an, kesadaran terhadap masalah ini terus meningkat yang disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil ini, akibat lain yang dihasilkan oleh kerusakan lingkungan ini adalah perubahan iklim global (Global Climate Chage), atau yang biasa disebut sebagai pemanasan global dari efek gas rumah kaca (the Greenhouse effect) (Abdullah, 2009).
Maksud dari efek ini adalah sinar ultraviolet yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa, tetap diam di atas permukaan bumi karena hasil dari bahan bakar fosil yang dibakar menghasilkan gas gas karbon dioksida (CO2), hasilnya adalah penipisan lapisan ozon (the thinning of the O-zone layer) dan tingkat permukaan air laut meninggi. Masalah lingkungan global ini mulai menjadi topik yang sering diduskusikan di tingkat internasional.
Entitas-entitas internasional sudah menekankan pada pentingnya perlawanan terhadap perubahan iklim, akhirnya banyak perjanjian-perjanjian internasional. Oleh karena itu para pembuat kebijakan seperti negara-negara dan organisasi pemerintahan internasional seperti World Meteorogical Organization (WMO) merasa perlu atas informasi yang up to date mengenai isu lingkungan seperti pemanasan global ini. Pada tahun 1988 United Environmental Programme (UNEP) mendirikan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) (Amalia, 1992).
Juga pada tahun yang sama atas proposal dari Malta. Majelis Umum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengangkat isu tentang perubahan iklim untuk pertama kalinya dan mengadopsi resolusi no 43/53 mengenai "Perlindungan atas iklim dunia untuk generasi saat ini dan generasi yang akan datang" (Andrasko, 2007).
2 tahun setelahnya pokok permasalah yang diangkat IPCC, tepatnya pada tahun 1990 menegaskan bahwa permasalah perubahan iklim merupakan ancaman bagi seluruh umat manusia dan membutuhkan kerjasama dunia dalam menyelesaikan masalah ini. Akhirnya, masalah ini dibicarakan di dalam Ministrial Decleration of the Second World Climate Conference yang diselenggarakan di Jenewa pada bulan Oktober. Pada tahun yang sama dibentuklah negosiasi untuk membentuk konvensi kerangka kerja sama atas perubahan iklim.
Negara-negara di dunia merasa perlu untuk menanggulangi permasalah tersebut, oleh karena itu pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi tentang lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992. Para pemimpin dunia telah sepakat untuk berbagi rencana besar terkait dengan upaya konservasi lingkungan bumi dan pada saat yang sama juga meningkatkan kesejahteraan umat manusia, termasuk diantarnya adalah kesepakatan terhadap dokumen mengenai Konvensi Kerangka PBB tentang Perubahan Iklim / United Nations Framework Convention on Climate Change. Itu merupakan latarbelakang dari kenapa para pemimpin dunia mengangkat isu tentang perubahan lingkungan dan langkah-langkah yang sudah dilakukan sebelum adanya Protokol Kyoto (Hakim, 2007).
Protocol Kyoto adalah sebuah perjanjian internasional yang terhubung kepada United Nations Framework Convention on Climate Change, yang merupakan komitmen bersama untuk menargetkan pengurangan gas emisi secara internasional. Dalam hal ini negara-negara maju secara prinsip mereka memiliki tanggung jawab karena menghasilkan tingkat efek rumah kaca yang tinggi, sebagai hasil dari lebih dari 150 tahun aktivitas produksi mereka dimulai sejak dari revolusi industri. Protokol Kyoto diadopsi di Kyoto, Jepang, pada tanggal 11 desember 1997.
Salah satu program yang dicanangkan oleh Protokol Kyoto adalah Clean Development Mechanism (CDM) (Hakim, 2007). Program ini diatur di dalam Pasal ke-12 dari protokol tersebut. Tujuannya adalah membantu negara-negara berkembang mencapai pembangunan berkelanjutan, atau di sini maksudnya adalah pembangunan ekonomi dan keadilan sosial dengan cara tidak mengorbankan lingkungan hanya untuk mengambil profit sebanyak-banyaknya (sustainable development).
Sedangkan, tujuan dari adanya program ini untuk negara-negara maju adalah menjaga komitmen mereka tentang pengurangan emisi. CDM merupakan implementasi gabungan dari negara pendonor (negara maju) dengan sebuah komitmen dan negara-negara host (negara berkembang). Kata lainnya, adalah negara maju harus membayar untuk proyek-proyek yang dikembangkan negara-negara berkembang.