Lihat ke Halaman Asli

Al-Qur'an sebagai Produk Budaya Menurut Nasr Hamid

Diperbarui: 12 Januari 2017   11:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pemikiran tafsir kontemporer, pemikiran tafsir yang memberikan warna baru terhadap dunia penafsiran, penafsiran yang ‘berevolusi’ dari tafsir klasik-pertengahan menuju tafsir modern-kontemporer, berusaha memberikan tawaran-tawaran ide dengan adanya ‘shifting paradigm ‘ (pergeseran paradigma) yang menunjukkan adanya ciri khas yang menonjol dari pemikiran tafsir kontemporer. Pemikiran-pemikiran tafsir para tokoh pada masa kontemporer ini mempunyai kegelisahan masing-masing terhadap pemikiran tafsir klasik yang cenderung ‘atomistik’ dan ‘subjektif’ dalam melihat naş. Tafsir klasik lebih terlihat sebagai tafsir kepemilikan masing-masing golongan. Kegiatan penafsiran hanya dilakukan untuk kepentingan golongan yang digunakan untuk menjustifikasi pendapat mereka sehingga dapat dijadikan hujjah atas apa yang mereka lakukan. Oleh karena itu, para pemikir tafsir kontemporer muncul untuk berusaha mengangkat ide untuk bertitik tolak pada pemikiran yang jumud dan statis. Salah satunya adalah Nasr Hamid Abu Zayd.

Nasr Hamid Abu Zayd merupakan salah satu tokoh yang menjadi sorotan pada abad 21 M. Banyak pemikirannya yang memacu reaksi keras dari kalangan ulama-ulama muslim. Pendapatnya dianggap melenceng dari prinsip-prinsip yang telah dirumuskan Islam. Nasr Hamid Abu Zayd dilahirkan pada tanggal 10 juli 1943 di Desa Qahafah dekat kota Thantha ibukota provinsi al-Ghorbiyah Mesir.[1] Orang tuanya memberi nama dengan nama Nasr dengan harapan agar Nasr selalu membawa kemenangan atas lawan-lawannya. Karena kelahirannya bertepatan dengan adanya Perang Dunia II.[2] Nasr adalah seorang anak yang telah belajar al-Qur’an dari sejak kecil, ia adalah seorang hafidz dan mampu menngungkapkan isi al-Qur’an sejak usia delapan tahun.[3]

Nasr Hamid memulai perjalanan keilmuannya di Sekolah Teknik Tantha lulus pada tahun 1960. Kemudian melanjutkan tholabul ‘ilminya pada tahun 1968 di Jurusan Bahasa dan Sastra Arab, Fakultas sastra, Universitas Kairo. Sejak saat itu dia menunjukkan tingkat intelektualitasnya dan menjadi mahasiswa yang kritis. Pada tahun 1972 memperoleh gelar kesarjanaannya kemudian menjadi asisten dosen pada jurusan yang sama. Nasr lalu melanjutkan pendidikan magister pada program yang sama dan selesai pada tahun 1997, memperoleh gelar Ph.D pada tahun1981.[4]

Seiring rihlah akademis Nasr Hamid, beliau telah menghasilkan banyak karya pena dengan berbagai karya di bidang studi keislaman salah satunya adalah ‘mafhūm an-naṣ‘ yang memacu banyak respon negatif dari kalangan muslim dan mendapatkan respon postif dari para akademisi. Kitab tersebut adalah sebagai ‘metodologi’ baru yang ditawarkan Nasr Hamid dalam memahami teks al-Qur’an. Buku ini merupakan respon terhadap proses dialektika yang terjadi antara teks dengan realitas serta proses perdebatan wacana keislaman. Melalui sikap kritisnya terhadap wacana tersebut, Nasr merasa perlu adanya sebuah ‘rekonstruksi metodologi’ dalam pembacaan al-Qur’an.

Pemikiran Nasr Hamid tidaklah murni dari pemikirannya sendiri. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh gurunya Amin al-Khulli yang dikenal sebagai peletak dasar al-Qur’an sebagai kitab sastra bahasa Arab terbesar. Anggapan ini mempunyai dampak bahwa untuk memahami al-Qur’an harus mendahulukan kajian sastra atau dalam terminologi Amin al-Khulli disebut dengan ‘al-manāhij al-adabī’ yang dilakukan dengan obyektif merupakan langkah awal dalam melakukan interpretasi sebelum melangkah ke tahap berikutnya.

Al-Qur’an pertama kali berinteraksi dengan masyarakat Arab pada masa Nabi Muhammad SAW. Keahlian mereka adalah dalam bidang bahasa dan sastra arab. Di mana-mana terjadi perlombaan dalam menyusun sya’ir atau khutbah, petuah-petuah dan nasihat.[5] Dari pernyataan tersebut terlihat bahwa al-Qur’an sebagai mukjizat yang turun sangat berinteraksi dan menginternalisasi dengan budaya masyarakat Arab setempat.

Pemikiran yang ditawarkan Nasr Hamid tentang al-Qur’an adalah berangkat dari pemahaman tentang hakikat teks al-Qur’an. Hal ini berkaitan dengan perdebatan antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah tentang hakikat al-Qur’an. Menurut Mu’tazilah, al-Qur’an bukanlah merupakan sifat tetapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian al-Qur’an tidak bersifat kekal tetapi bersifat baru ( ḥadiṡ) dan diciptakan Tuhan (makhluk). Sedangkan menurut Asy’ariyah, al-Qur’an adalah sifat Tuhan yang pasti mempunyai sifat kekal sebagaimana kekekalan tuhan itu sendiri.[6] Dari kedua pandangan tersebut, Nasr lebih memilih pandangan Mu’tazilah bahwa al-Qur’an adalah makhlūq (diciptakan Tuhan). Hal ini mempunyai dampak pada tiga hal yaitu pertama, al-Qur’an adalah sebuah teks bahasa.

Oleh karena bahasa tidak bisa dipisahkan dari budaya dan sejarah, maka al-Qur’an bisa disebut dnegan teks kultural dan historis. Kedua, teks harus dikaji dengan menggunakan pendekatan linguistik dan sastra yang memperhatikan aspek kultural dan historisitas suatu teks. Ketiga, titik berangkatnya adalah bukan dari keimanan, tetapi dari obyektifitas keilmuan, sehingga baik Muslim maupun Non Muslim dapat memberikan kontribusi dalam studi al-Qur’an.[7] Dalam pandangan inilah, beliau mencetuskan konsep desakralisasi al-Qur’an yang menimbulkan adanya implikasi-implikasi negatif dari konsep tersebut berupa ‘dekonstruksi al-Qur’an’, al-Qur’an dianggap bukan lagi sebagai teks Tuhan yang sakral, tetapi telah bergeser menajdi ‘teks manusiawi’.[8]

Di awal pembahasan dalam buku mafhūm an-naş, Nasr Hamid menyatakan bahwa sebagai teks bahasa, al-Qur’an disebut sebagai teks sentral dalam sejarah Arab. Maksudnya adalah dasar-dasar ilmu dan budaya Arab berinteraki dengan Islam berangkat atas landasan teks. Teks tidak akan membentuk suatu peradaban jika teks berdiri sendiri tanpa adanya suatu realitas budaya yang mengiringi teks tersebut, akan tetapi peradaban dan kebudayaan akan terbentuk ketika adanya proses interaksi antara manusia, realitas dan teks.[9] Oleh karena itu, Nasr  mempunyai pandangan bahwa al-Qur’an adalah sebagai produk budaya ( Muntaj as-Saqafi).

Yang dimaksud oleh Nasr tentang al-Qur’an adalah sebagai produk budaya ( Muntaj as-Saqafi) adalah teks terbentuk dalam suatu realitas budaya dalam rentang waktu lebih dari dua puluh tahun.[10] Pada dasarnya al-Qur’an adalah berbahasa Arab dan bahasa sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial pada saat al-Qur’an diturunkan, dan bahasa tersebut merepresentasikan sistem tanda dalam struktur budaya secara umum.

Konsep desakralisasi al-Qur’an sebagai impact pendangannya bahwa al-Qur’an sebagai produk budaya, fenomena sejarah, teks manusiawi dan karangan Muhamamad, serta al-Qur’an boleh ditafsirkan oleh siapa saja sebagaimana yang telah diungkapkan Nasr dalammafhūm an-naṣ terinspirasi dari pandangan mu’tazilah yang menyatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk dan kemudian menggunakan metode hermeneutika dalam menafsirkan al-Qur’an. Beliau mendekonstruksi al-Qur’an, menggugat ‘otentisitas’ al-Qur’an dan kesakralannya serta relativisme tafsir.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline