Generasi muda di era modern semakin menunjukkan rasa antusias untuk menikah. Hal ini dibuktikan dari data statistik BKKBN yang menunjukkan Indonesia menduduki rangking 37 dunia dalam hal negara dengan persentase pernikahan usia muda pada tahun 2000-2010. Hal tersebut tentu akan memengaruhi laju pertumbuhan penduduk. Namun, selain laju pertumbuhan penduduk, hal yang tak kalah patut diwaspadai apabila angka Perkawinan menurut Umur 25-29 rendah. Hal tersebut membuat pemerintah hendaknya mengembangkan pelayanan kesehatan reproduksi remaja, khususnya pelayanan akibat penundaan perkawinan. Pelayanan ini dapat berupa konseling dan pelayanan tentang seksualitas remaja, tentang reproduksi remaja sehat, tentang pencegahan tingkah laku seksual yang berisiko.
Diungkapkan oleh Jones dan Gubhaju pada tahun 2008 dalam penelitiannya yang berjudul Age at Marriage in Province Indonesia, “… pernikahan dini secara frekuen merefleksikan pernikahan yang telah diatur atau krena kehamilan di luar nikah…” . Adapun untuk kasus pernikahan di usia wanita 20-24 tahun, pendidikan dari segala aspek menjadi salah satu hal penting yang harus menjadi perhatian. Hal tersebut tidaklah berlebihan mengingat selain angka pernikahan yang meningkat, angka perceraian di Indonesia ternyata menunjukkan hal yang sama. Data statistik menunjukkan bahwa angka perceraian di Indonesia sebanyak 333 ribu per tahunnya. Hal ini seharusnya menjadi peringatan dini bagi setiap calon pengantin karena banyaknya buku bahkan seminar tentang persiapan pernikahan hingga cara merawat rumah tangga ternyata belum dapat menjadi solusi mengatasi permasalahan rumah tangga modern. Seperti yang dipahami bersama bahwa pernikahan hakikatnya dibangun untuk selamanya sehingga dibutuhkan persiapan yang tidak main-main. Persiapan yang dibutuhkan itu salah satunya adalah mendidik anak sesuai dengan ciri khas masing-masing anak.
Perubahan perilaku masyarakat dan gejala modernisasi berdampak pada tingginya perilaku konsumtif di sebagian masyarakat. Namun, hal tersebut tidak didampingi dengan peningkatan pendidikan di masyarakat itu sendiri. Berapa banyak pasangan muda yang telah berumah tangga, tetapi minim pengetahuan cara mendidik anak? Atau berapa banyak keluarga yang telah memiliki anak lebih dari satu, tetapi tidak mau belajar cara memperlakukan anak? Fenomena ini membahayakan masa depan Indonesia karena bukan hanya termasuk malapraktik dalam mendidik anak, melainkan juga berakibat degradasi moral penerus bangsa. Perkembangan anak di masa gadget semakin pesat seiring berkembangnya teknologi. Walaupun tak semua anak berkesempatan merasakan kecanggihannya, hal ini menjadi pemicu anak menidakacuhkan konsep orang tua dalam mendidik anak.
Anak bukanlah aset pribadi orang tua, tetapi aset untuk agama dan bangsa. Sebagimana yang sering kita dengar bahwa anak adalah titipan Allah, maka selayaknya titipan harus kita jaga dengan baik. Cara menjaga anak inilah yang kemudian dapat menjadi solusi masalah atau malah membuat masalah baru. Pada dasarnya setiap manusia memiliki karakteristik yang berbeda. Itulah yang terjadi pada anak dan orang tua. Membanding-bandingkan anak dengan kebiasaan orang tuanya pada masa dahulu tidak menjadi solusi untuk anak memperbaiki kekeliruannya. Kedisiplinan, cara menghargai anak, dan yang terpenting menyediakan waktu yang cukup antara anak dan orang tua menjadi hal yang diharapkan mampu membawa efek baik pada keharmonisan serta kesejahteraan keluarga. Yang juga harus dipahami oleh orang tua sebagai generasi berencana adalah membiasakan keluarganya untuk memiliki sifat “cukup” dengan apa yang telah didapat. Artinya, segala yang didapat hendaknya menjadi hal yang dapat disyukuri bersama. Tindakan ini dapat menjadi landasan dasar untuk meminimalisasi berkembangnya budaya korupsi di tengah masyarakat.
Dari beberapa hal yang dikemukakan di atas, diharapkan setiap calon suami istri memiliki tindakan preventif untuk mengatasi masalah yang kemungkinan timbul selama pernikahan. Selain itu, pemerintah juga hendaknya membuat program-program kecil yang berkesinambungan untuk masyarakat yang telah berumah tangga. Program tersebut tidak hanya tentang cara mengatur jarak kelahiran anak, imunisasi, meningkatkan kesejahteraan, tetapi juga memasyarakatkan kegiatan cara mendidik anak sesuai dengan zaman tanpa meninggalkan nilai agama dan moral. Calon suami istri haruslah menjadi generasi berencana yang mampu membuat grand design rumah tangganya. Grand design ini dibuat tidak hanya berkaitan dengan angan-angan, tetapi juga wujud realisasi pertanggungjawaban terhadap agama dan bangsa. Karena rumah tangga tidak melulu diisi dengan tawa dan bahagia, calon suami istri harus mempersiapkan fisik dan mentalnya. Dengan demikian, grand design tersebut diharapkan menjadi media yang menyadarkan generasi berencana memahami hakikat berumah tangga bukan hanya sekadar cinta, melainkan juga tentang agama, pendidikan, dan kesejahteraan untuk keluarganya serta untuk membangun masyarakat yang memelihara nilai agama dan moral dengan kokoh dalam bersosialisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H