Lihat ke Halaman Asli

Antri Masih Belum Menjadi Budaya Kita

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

(Mem)budaya(kan) Antri

Oleh: Afri Meldam

Antri, tampaknya memang belum menjadi bagian dari kebiasaan kita masyarakat Indonesia. Setidaknya, itulah yang saya lihat sendiri beberapa hari yang lalu.

Waktu itu, atas undangan seorang teman, saya menghadiri acara halal bihalal warga Sijunjung di sebuah hotel berbintang di kota Padang. Acara berlangsung dari pukul 10.00 pagi hingga jam makan siang – nah saat jam makan siang inilah peristiwa itu terjadi.

Di ruang pertemuan tempat acara tersebut diadakan, telah disediakan hidangan makan siang lengkap di dua sisi yang berbeda. Sebelum acara makan-makan dimulai, pembaca acara telah memberitahu para hadirin bahwa meja di sebelah kanan adalah untuk para wanita, sementara yang di sebelah kiri adalah untuk kaum pria. Namun, entah karena perut semua hadirin sudah pada kosong atau apa, begitu pembaca acara mempersilakan, semua berkerumun ‘menyerang’ hidangan prasmanan tersebut tanpa mengacuhkan ‘aturan’ yang telah dibuat oleh sang pembawa acara (atas saran panitia, tentunya). Semua berebutan; seolah takut tak dapat jatah!

Itu belum seberapa. Beberapa saat kemudian, ketika saya ambil bagian dalam ‘pertempuran memperebutkan makanan’ itu, kesabaran saya diuji oleh tingkah beberapa orang bapak-bapak (pejabat Pemda?) yang tanpa rasa segan sedikitpun ‘menyalip’ antrian di depan saya. Parahnya lagi, begitu ia ‘menguasai’ meja hidangan, sang bapak lalu menawarkan bantuan kepada rekan-rekannya yang lain. Padahal, antrian di belakangnya masih panjang.

Saya hanya bisa geleng-geleng kepala menyaksikan kejadian tersebut. Saya hanya tak habis pikir, mengapa seorang bapak-bapak bisa berbuat seperti itu. Bukannya memberi tauladan kepada yang muda, ini malah mengundang umpatan.

Pikiran saya kemudian melayang ‘flash-back’ ke peristiwa naas yang terjadi sebelum Lebaran yang lalu di Pasuruan, Jawa Timur. Terlepas dari kurang tepatnya sistem pembagian zakat mal yang dilakukan oleh pihak pemberi zakat, tewasnya 21 orang penerima zakat tentu tak akan terjadi jika saja warga mau antri dan tidak berebutan untuk masuk lebih dulu ke lokasi pembagian zakat.

Lupakan dulu kelengahan pemerintah dalam memantau dan merawat infrastruktur di daerah. Peristiwa runtuhnya jembatan gantung di Calau, Sijunjung (17/08/08) yang menewaskan 3 orang warga sekitar mungkin juga tak akan terjadi jika saja para peziarah mau bersabar menunggu giliran untuk menyebrang; mengingat jembatan tua tersebut hanya mampu menampung maksimal 20 orang penyebrang.

Itu hanya sedikit contoh keenggan masyarakat kita untuk antri. Jika ditelisik lebih jauh, tentu banyak contoh-contoh kejadian lain yang menggambarkan betapa belum jamaknya masyarakat kita dengan budaya antri.

Bagaimana kita bisa maju kalau untuk antri saja kita masih belum sanggup. Padahal, apa susahnya sih antri?

Sudah saatnya kita membudayakan antri di tengah-tengah masyarakat.

(Afri Meldam)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline