Beberapa tahun yang lalu, ada sebuah berita di media online yang agak menggelitik. Berita tersebut menuliskan tentang seorang pria yang sengaja mencuri motor yang terpakir dekat dengan kantor polisi. Alasannya adalah supaya dia dipenjara. Mungkin masyarakat akan bertanya-tanya, mengapa pria ini ingin masuk penjara? Bukannya orang-orang tidak ingin masuk penjara? Tetapi alasan dibalik mengapa pria ini ingin dipenjara adalah karena ia tidak memiliki apa-apa lagi, sehingga ia berharap dengan sengaja membuat dirinya ditangkap kemudian dipenjara, ia bisa memiliki tempat yang layak untuk tidur dan diberi makan dalam penjara.
Orang-orang cenderung melakukan apa saja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk melakukan cara-cara yang jahat, contohnya seperti pria yang diberitakan media online tersebut. Ada pula berita mengenai seorang nenek yang mencuri pisang dikebun tetangganya untuk makan, kemudian dituntut lewat jalur hukum oleh tetangganya tersebut. Memang beberapa berita bisa mengisahkan cerita nyata yang begitu ironis.
Hal mengenai pencurian ini terjadi pula pada jemaat di Efesus, sehingga penulis surat Efesus ini menyampaikan agar barangsiapa yang suka mencuri hendaklah ia berhenti mencuri (Efesus 4:28 "Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi, tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang berkekurangan"). Alasan dibalik kejahatan mencuri yang dilakukan adalah untuk memenuhi kebutuhan hidup. Namun nasehat selanjutnya dalam ayat ini adalah supaya penerima surat bekerja keras untuk dapat memenuhi kehidupannya, juga kehidupan orang kurang mampu disekitarnya. Nasehat ini berlaku dua arah, yaitu kepada pelaku pencurian dan kepada orang yang berkecukupan untuk berbagi kepada orang yang berkurangan, sehingga orang berkekurangan yang putus asa, tidak mencuri demi memenuhi kebutuhan hidupnya.
Filipi 2:4 juga menyinggung hal yang serupa, yaitu memperhatikan kebutuhan orang lain, tidak hanya fokus kepada kepentingan diri sendiri, yaitu "dan janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga". Seberapa banyak diantara umat manusia yang tergerak hati untuk memperhatikan kebutuhan sesamanya atau ingat bahwa ia memiliki kerabat yang berkurangan. Namun banyak orang yang lebih fokus untuk memperkaya diri sendiri, bahkan menghalalkan segala cara untuk kepentingan dirinya sendiri, termasuk merugikan orang lain dan bersikap egois.
Padahal Yesus sendiri memberikan perhatian kepada orang miskin. Yesus menyinggung kebaradaan orang miskin, untuk memberikan sebuah instruksi tersirat bahwa apa yang umat-Nya lakukan kepada orang yang kurang mampu, sama dengan bentuk pelayanan mereka kepada Yesus sendiri. Dalam Matius 25:35-36 tertulis bahwa "Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Ayat tersebut memberikan sebuah gambaran untuk lebih memperhatikan kebutuhan orang lain.
Manusia bekerja untuk memenuhi kebutuhannya, tapi jangan sampai menutup mata dengan membiarkan orang lain kelaparan atau kesusahan. Andar Ismail dalam bukunya yang berjudul Selamat Melayani Tuhan menuliskan bahwa "orang miskin selalu ada (eksis!) pada kita. Itulah yang pertama-tama menjadi dasar sikap kita: mengakui keberadaan orang miskin di antara kita. Mereka ada, karena itu perlu ada tempat bagi mereka dalam benak dan hati kita". Orang-orang yang berkekurangan haruslah ada dalam jangkauan dan perhatian orang-orang yang tahu bahwa dirinya mampu untuk menolong atau melakukan sesuatu untuk membantu meringankan beban mereka.
Jangan terlalu cepat menilai, bahwa orang berbuat jahat demi memenuhi kebutuhan hidupnya adalah tindakan yang tercela. Sedangkan kita yang mampu malah menutup mata, dan membiarkan orang lain berbuat jahat demi bertahan hidup, padahal kita sendiri mampu untuk menolongnya. Mungkin kita tidak bermaksud mengesampingkan orang miskin, namun kita harus lebih peka untuk melihat dari sudut pandang mereka juga. Mengenai hal tersebut, lebih jauh lagi Andar Ismail memberikan sebuah gambaran dalam pernyataannya yaitu, "gereja yang menyelenggarakan kebaktian di hotel-hotel berbintang atau di gedung-gedung pertemuan mewah di tempat yang susah dicapai dengan kendaraan umum, secara tidak langsung menutup pintu bagi orang miskin, sebab orang miskin tidak bisa mencapai lokasi itu dan tidak berani memasuki gedung-gedung megah itu. Dalam praktiknya, gereja seperti itu menjauhkan diri dari orang miskin, padahal Yesus justru mendekatkan diri pada orang miskin."
Bukan berarti bahwa menyelenggarakan kebaktian di gedung mewah adalah salah. Tetapi lewat gambaran tersebut memberikan teguran kepada kita untuk lebih peka terhadap kondisi orang-orang disekitar kita. Terutama orang-orang yang berkekurangan. Karena bisa saja tanpa sengaja kita membuat mereka merasa terabaikan atau tidak dimanusiakan. Jadi, siapkah kita untuk menjadi orang yang lebih peka terhadap kebutuhan orang lain? Layanilah orang yang berkekurangan sebagai bentuk pelayanan kita kepada Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H