Lihat ke Halaman Asli

Artikel

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

A. LATAR BELAKANG

Pers atau press, secara harfiah kata tersebut mengacu pada pengertian komunikasi yang dilakukan dengan perantaraan barang cetakan. Namun sekarang kata pers atau press ini digunakan untuk merujuk pada semua kegiatan jurnalistik. Terutama kegiatan yang berhubungan dengan menghimpun berita, entah itu oleh wartawan media elektronik maupun wartawan media cetak.

Pengertian pers lainnya dapat dibagi dalam dua arti kata, yaitu arti kata sempit yang menyangkut kegiatan komunikasi yang hanya dilakukan dengan perantaraan barang cetakan, serta arti kata luas yang menyangkut kegiatan komunikasi baik yang dilakukan dengan media cetak maupun media elektronik semacam radio, televisi maupun internet yang saat ini mungkin lebih banyak di akses karena kepraktisannya.

Secara konseptual, pers memiliki empat posisi, yakni sebagai media komunikasi, lembaga sosial, produk informasi (berita) dan lembaga ekonomi. Sebagai media komunikasi, pers merupakan perpanjangan tangan dan alat untuk memenuhi kebutuhan anggota masyarakat akan pengetahuan, hiburan serta peristiwa-peristiwa.

Kemudian dalam kedudukannya sebagai lembaga sosial, pers merupakan bagian integral dari masyarakat, bukan sebagai lembaga yang terpisah dari masyarakat. Lalu pers sebagai produk informasi pemberi berita, sudah pasti pers harus memberikan berita yang benar dan layak sehingga tidak membuat masyarakat atau khalayak menjadi cemas. Dan pers sebagai lembaga ekonomi, bahwa seorang pers hanya bisa mendapatkan keuntungan dari perusahaannya, tidak dari masyakarat yang dimintai berita olehnya.

Pers memiliki suatu sistem politik yang nantinya akan dianut oleh suatu Negara dalam menjalankan peran pers bagi negaranya. Sistem politik itu ada empat macam, Authotitarian Theory (teori pers otoriter); Libertarian Theory (teori pers bebas); Social Responsibility Theory (teori pers bertanggungjawab sosial); dan The Soviet Communist Theory (teori pers komunis soviet).

Indonesia sendiri pada masa orde lama dan orde baru, menganut sistem pers otoritarian. Walaupun pada masa orde baru sempat digembor-gemborkan bahwa Indonesia menganut sistem pers Pancasila yang bertanggungjawab, namun bertanggungjawabnya pada penguasa. Sehingga jika ada pers yang perilakunya tidak berkenan menurut penguasa, pers tersebut akan mendapat pembreidelan atau pembatalan Surat Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Tetapi ketika memasuki masa reformasi, sistem pers Indonesia berubah menjadi sistem pers libertarian atau pers bebas, dan hal ini diperkuat dengan adanya Undang-undang Nomor 40 tahun 1999. Kebebasan pers tumbuh dengan adanya tuntutan dari kebebasan politik, agama dan ekonomi. Pada teori ini, manusia dipandang sebagai makhluk rasional yang dapat membedakan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sehingga pers harus menjadikan dirinya sebagai mitra dalam upaya pencarian kebenaran bagi berita yang akan disampaikan kepada masyarakat.

Teori libertarian ini memang paling banyak memberikan landasan kebebasan yang tak terbatas kepada pers. Oleh karenanya, pers bebas juga paling banyak memberikan informasi dan hiburan. Namun akibat terlalu bebas, dalam suatu perusahaan pers semacam itu hanya akan terdapat sedikit pembatasan serta aturan yang membatasi. Dan pers yang semacam ini cenderung kurang tertarik pada kepentingan masyarakat.

Libertarian teori tidak sama dengan social responsibility teori, karena kebebasan akan dapat dipahami oleh orang lain dengan makna tidak adanya pembatasan-pembatasan pada peraturan tertentu, sehingga bisa jadi hal tersebut akan melewati batas yang dikatakan orang lain mungkin itu abnormal. Sedangkan demokrasi, adalah kebebasan yang masih memiliki batasan namun batasan itu tidak serta merta akan mengganggu suatu keputusan atau tindakan yang telah seseorang ambil atas kenyamanan atau hak yang dia miliki. Pembatasan itu bisa jadi lebih dikenal dengan norma. Artinya, walaupun kita diberi kebebasan berbuat atau bertindak, tetap harus memikirkan norma aturan yang ada.

Munculnya pers atau wartawan media cetak juga tak lepas dari sejarah pers mahasiswa yang telah ada sejak tahun 1920-an. Pers mahasiswa ini yang akhirnya lambat laun menciptakan pers media massa yang akhirnya menjadikan wartawan sebagai profesi dan bagian dari pemerintah karena menjadi penghubung antara pemerintah dengan masyaratakat dan peristiwa dengan pembaca. Namun sepertinya belakangan ini pers mahasiswa kurang mendapat tempat yang dipandang oleh khalayak sehingga tak sedikit mahasiswa yang karya tulis persnya sukar dimuat di media massa yang sebetulnya juga memiliki kompetensi untuk dapat memberikan informasi yang berbeda dan mungkin tidak dapat dijangkau oleh pers biasa. Namun ada juga yang berpendapat bahwa pers mahasiswa dapat dijadikan pers alternatif, tetapi apakah sama hak dan kewajibannya seperti pers biasa?

B.RUMUSAN MASALAH

1.Apakah kebebasan pers di Indonesia telah benar-benar mencapai kata ‘bebas’ yang sesungguhnya?

C.PEMBAHASAN

Ungkapan kebebasan pers pada umumnya dimaknai sebagai kebebasan yang diberikan oleh pemerintah dan masyarakat kepada pers, karena memang sudah sewajarnya pemerintah dan masyarakat menjamin kebebasan pers dalam melaksanakan fungsi dasarnya. Pada teori pers libertarian, para pemilik dan operator perslah yang terutama menentukan fakta-fakta apa saja yang boleh disiarkan kepada masyarakat. Namun teori tersebut tidak berhasil memahami masalah-masalah seperti proses kebebasan internal pers dan proses konsentrasi pers. Karena kebebasan pers yang diinginkan adalah dimana suatu kondisi yang memungkinkan para pekerja pers tidak dipaksa berbuat sesuatu dan mampu berbuat sesuatu untuk mencapai apa yang mereka inginkan.

Dan untuk melengkapi berbagai pengertian tadi, mungkin perlu ditegaskan bahwa kebebasan pers tidak sama dengan kebebasan jurnalistik, karena kebebasan pers dapat dilihat dari hubungan antara lembaga pers dan pemerintah. Sedangkan kebebasan jurnalistik bisa dilihat melalui hubungan antara para wartawan dengan redakturnya, pimpinan redaksinya dan juga pemilik modalnya pada suatu lembaga pers. Dan itulah sebabnya mengapa para pekerja pers Indonesia perlu mengidentifikasi jenis pers kebebasan yang mereka dambakan.

Kebebasan pers hadir di Indonesia sejak pertengahan tahun1998, dan terus menerus dipermasalahkan oleh sejumlah kalangan, khususnya pemerintah. Tudingan bahwa pers telah kebablasan, tidak bertanggung jawab dan menyebarkan pornografi hanyalah sensasi semata tanpa menggeneralisasikannya pada pers. Dan ternyata hal itu memunculkan kekhawatiran dari komunitas pers. Bagaimana tidak, ancaman terhadap kebebasan pers itu muncul melalui keinginan sejumlah anggota DPR untuk merevisi UU Pers karena dinilai liberal dan tidak bertanggung jawab. Selain itu, pembahasan RUU Penyiaran di DPR juga mengindikasikan kuatnya keinginan pemerintah untuk mengontrol kembali kebebasan pers.

Di Indonesia sendiri, ternyata kebebasan pers atau media masih menjadi perdebatan. Walaupun saat ini teknologi komunikasi telah semakin canggih, namun hal itu tidak lantas semakin mempermudah seorang pers dalam menyajikan suatu pemberitaan. Karena kebebasan itu masih dirasa cukup rapuh dan mungkin belum menjangkau kepada seluruh orang terutama pekerja pers.

Pada masa ini, mungkin kebebasan pers yang telah tercipta adalah tidak adanya lagi pembreidelan atau pencopotan SIUPP pada perusahaan pers atau media. Namun ternyata yang masih belum merasakan kebebasan adalah pers secara personal. Maksudnya adalah masih banyaknya pekerja-pekerja pers yang merasa terintimidasi oleh pemerintah atau mungkin oleh perusahaannya sendiri.

Merujuk lagi kepada undang-undang pers, ada RUU dari pasal 4 ayat 2 yang berbunyi “Terhadap pers tidak dikenakan penyensoran, pembreidelan atau pelarangan penyiaran”. Membaca pasal tersebut mungkin segera muncul penilaian sikap pemerintah yang telah berubah. Pemeritah telah mampu bersikap proporsional terhadap pers. Pemerintah telah sadar bahwa untuk melindungi hak-hak publik atas informasi, pembatasan terhadap fungsi-fungsi media sebagai institusi sosial harus dihapuskan, tanpa terkecuali praktik pembreidelan media dalam berbagai bentuknya.

Namun ternyata, penilaian tersebut berubah ketika membaca RUU-nya lebih lanjut lagi pada ayat 5, bahwa pemerintah tetap menghendaki pemberlakuan breidel, sensor dan larangan siar bagi pers yang memuat berita atau gambar yang merendahkan martabat suatu agama dan atau menganggu kerukunan antarumat beragama serta bertentangan dengan norma-norma kemasyarakatan, dengan begitu sensor dan breidel tetap bisa diberlakukan.

Kutipan dari RUU Pers itu menunjukan kecenderungan politik pemerintah terhadap pelembagaan kebebasan pers di Indonesia. RUU Pers itu tidak benar-benar didasarkan pada suuatu keinginan menciptakan ruang public media yang demokratis, tetapi ialah rasionalitas strategis untuk mengarahkan praktik bermedia sedemikian rupa kondusif bagi kepentingan dan legitimasi politik pemerintah.

Jika pada awal reformasi berbagai pihak menyimpulkan bahwa kelompok massa atau ormas adalah ancaman paling serius terhadap kebebasan pers pasca 1998, dengan adanya perkembangan tersebut, kesimpulan itu tampaknya perlu diperbaiki. Meskipun kekuatan masyarakat telah tumbuh dalam mengontrol media, pemerintah tetap menjadi permasalahan utama dalam kehidupan pers.

RUU Pers vs Pemerintah, sepertinya begitulah situasi yang hingga kini sedang dialami oleh para pekerja pers dalam pencapaian mereka untuk mendapatkan kebebasan pers yang hakiki. Pemerintah sejauh ini menunjukkan belum adanya perubahan mendasar dalam pemahaman dan cara pandang pemerintah Indonesia terhadap pers harus turut membantu pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan. Dan kemudian yang luput dari pemahaman seperti ini adalah jelas bahwa dalam tatanan penyelenggaraan kekuasaan.

Pers sebagai mitra pemerintah secara substansial hanya dikenal dalam sistem pers otoratian, sedangkan kontribusi pers terhadap proses pemerintahan dalam sistem demokrasi justru muncul dalam kritik-ktirik yang dilontarkan kepada  kekuasaan. Namun kini persoalannya adalah pemerintah masih terjebak dalam kerangka berpikir khas orde baru, dimana pers ditempatkan sebagai mitra pemerintah, bukan penghubung masyarakat dengan pemerintah untuk mengetahui kira-kira respon masyarakat atas segala kebijakan pemerintah seperti apa.

Rencana kebijakan dan pernyataan-pernyataan pemerintah yang meremehkan pers selama ini juga menunjukkan bahwa belum terbentuknya pemahaman tentang universalitas nilai-nilai kebebasan pers dan fungsi-fungsinya sebagai institusi sosial. Pemerintah tidak menyadari bahwa membatasi kebebasan pers sama halnya dengan membatasi hak-hak publik atas informasi dan komunikasi yang bebas, maka ini berarti melanggar hak asasi manusia.

Jika kebebasan pers disubordinasikan, publiklah yang paling dirugikan karena akan kehilangan sarana untuk mengevaluasi proses penyelenggaraan pemerintahan. Pemerintah sering tidak menyadari bahwa wartawan menulis berita, memuat berita, tidak untuk kepentingan sendiri melainkan untuk memasok informasi, menyajikan diskursus sosial yang dibutuhkan masyarakat untuk secara rasional merespons realitas-realitas kekuasaan.

Media massa menjalankan fungsi alarm sosialnya dengan memberikan sinyal atau informasi kepada masyarakat bahwa akan terjadi penyimpangan, semisal korupsi, penggelapan pajak, pelanggaran HAM, pembajakan liar dan lain sebagainya. Dan pemerintah juga cenderung menggeneralisasikan semua media sebagai sesuatu yang kurang berkualitas dan kebablasan dalam mempraktikan kebebasan pers. Walaupun mungkin ada yang demikian, tapi tidak sepantasnya pemerintah menghakimi bahwa semua media massa seperti demikian. Karena mungkin hanya segelintir media massa yang seperti itu yang mana media massa itu tidak professional sebagaimana sebuah pers yang sebenarnya.

Cara pandang pemerintah yang masih menganggap bahwa semua pers kinerjanya sama, itu justru menjelaskan mengapa sampai muncul wacana dari pemerintah untuk mengamandemen undang-undang pers. Dan mengapa pemerintah selalu mencari momentum untuk mempercepat proses amandemen tersebut. Wacana amandemen tentu tidak bertujuan untuk memperbaiki kelemahan UU Pers, melainkan untuk kembali menegaskan otoritas pemerintah untuk mengontrol kehidupan pers, dan jelas itu akan menganggu ranah kebebasan memuat informasi dan sebagainya yang dalam implementasinya sangat berpotensi mengancam iklim kebebasan pers.

Pers memiliki arti yang sangat penting dalam proses demokratisasi karena pers yang sukses menyiarkan informasi kepada khalayak adalah pers yang mampu melayani hak khalayaknya. Oleh karenanya, pemerintah yang buruk adalah pemerintah yang mengahalangi hak pers dan tidak menghargai serta menghormati haknya untuk menyiarkan informasi, serta dikatakan juga sebagai pemerintah yang melanggar hak-hak asasi manusia.

Maka mengenai hubungan pers dengan lembaga-lembaga pemerintah diinginkan suatu kebebasan yang mana sebuah pers tidak mendapat tekanan dari lembaga manapun sehingga sebuah pers dapat sepenuhnya memberi informasi yang objektif, tanpa harus pro atau kontra oleh pihak manapun. Karena fungsinya pers adalah memberikan info dan bersikap netral agar pembaca saja yang menilai kira-kira dengan adanya suatu info tersebut apakah berdampak baik atau buruk bagi diri pembaca.

D.KESIMPULAN

Saat ini sistem pers di Indonesia memang dikatakan menganut sistem Social Responsibility Theory, tetapi tetap saja belum sepenuhnya dikatakan demikian, karena tidak dipungkiri bahwa peran pemerintah dalam mengontrol perkembangan pers tetap masih ada. Namun tidak otoriter seperti masa orde lama dan orde baru.

Justru saat ini pers mampu benar-benar menjadi penghubung pemerintah dengan masyarakat dan informasi dengan pembaca. Bahkan tak jarang, melalui perslah segala perjuangan dan keinginan pemerintah dapat diketahui serta dikomentari langsung oleh masyarakat.

Maka mungkin lambat laun kebebasan pers itu mulai mencapai keinginannya tetapi harus tetap diawasi agar otoriter pemerintah tidak mendominasi lagi, karena semakin hari kebutuhan masyarakat akan berita-berita baru di negaranya semakin besar sehingga tidak boleh lagi terjadi pembatasan para pekerja pers untuk mencari dan meliput berita.

Asalkan pers juga harus mengingat segala kode etiknya dan norma-norma yang berlaku disetiap lingkungan tempat mereka memburu berita tersebut. Dengan demikian, kebebasan pers dengan segala kode etiknya dirasa akan mencapai cita-cita yang diharapkan.

E.DAFTAR PUSTAKA

Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama. 2005, Jurnalistik: Teori dan Praktik, Bandung: Rosda.

Abrar, Ana Nadhya. 2011, Analisis Pers: Teori dan Praktik, Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka.

Wibowo, Wahyu. 2009, Menuju Jurnalisme Beretika: peran bahasa, bisnis dan politik di era mondial, Jakarta: Kompas.

Sudibyo, Agus. 2009, Kebebasan Semu: Penjajahan Baru di Jagat Media, Jakarta: Kompas.

Abrar, Ana Nadhya. 1995, Panduan Buat Pers Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Luwarso, Lukas. 2002, Ancaman Kebebasan Pers, Jakarta: Dewan Pers bersama UNESCO.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline