Lihat ke Halaman Asli

Asri Wijayanti

Penyintas Autoimun, Konsultan Komunikasi

[KC] Masa dan Asa

Diperbarui: 3 Oktober 2015   09:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

- Aforasri, No. 56 -

Tokyo, 28 Maret 2011

Sudah sebelas tahun. Perempuan itu tak pernah lupa, pun tak pernah alpa.

Bertahun-tahun, ia jadi satu-satunya orang yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadaku. Bahkan, ketika aku sendiri lupa bahwa hari itu adalah hari kelahiranku.

Kumatikan telepon genggamku, setelah kukirimkan surat elektronik balasan padanya. Taksi membawaku melewati gedung-gedung tinggi yang lampunya telah dipadamkan. Sudah lewat tengah malam. Pulang. Hatiku jengah. Apartemenku yang sempit dan berantakan, dan hatiku yang sunyi, membuat kenangan tak bisa melarikan diri.

Sepanjang sebelas tahun ini, aku telah empat kali berganti pacar, sekali bertunangan, sekali menikah, dan sekali bercerai. Jangan tanya berapa kali aku berkencan, karena aku pun tak ingat lagi berapa perempuan yang kukencani.

Dengan statistik itu pun, Asa - nama perempuan itu - masih tetap keras kepala. Ia tak pernah mau pergi.

Bogor, Maret 1999

“Asa. Dalam bahasaku kau berarti pagi.”, kataku.

Ia menggeleng. “Dalam bahasaku, aku berarti harapan.”

Ia tersenyum. Bibirnya yang merah meski tanpa polesan lipstik merekah. Sebagian wajahnya tertutup rambutnya yang ikal kecoklatan, yang agak acak-acakan. Matanya berbinar, membuatku teringat pada mata kanak-kanak yang polos. Jantungku berdebar-debar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline