Oleh: Noer Afni Hamid
(Aktivis Dakwah, Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Makassar)
Amerika Serikat lewat kantor US Trade Representative (USTR) atau perwakilan dagang AS merevisi daftar kategori negara berkembang di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menjadi predikat negara maju. Selain Indonesia, predikat negara maju juga disematkan kepada beberapa negara seperti China, Brazil,Thailand, Vietnam, dan beberapa negara lainnya.
Salah satu dampak dihapuskannya negara-negara berkembang ke negara maju adalah membuat AS lebih mudah dalam melakukan penyelidikan mengenai apakah negara-negara ini melakukan praktik ekspor perdagangan yang tidak adil seperti pemberian subsidi untuk komoditas tertentu. Salah satu ciri negara maju (1) angka pengangguran rendah (2) pendapatan per kapita tinggi (3) laju pertumbuhan hidup rendah (4)sistem pendidikan yang baik.
Jika dilihat dari ciri tersebut, indonesia belum mampu dikategorikan sebagai negara maju. Dilihat dari angka pengangguran indonesia mencapai 7,05 juta orang per agustus 2019, belum lagi anak yang putus sekolah karena kondisi ekonomi yang tidak mecukupi untuk mengenyam dunia pendidikan.
Faktanya, sebagai rakyat indonesia, kita merasakan sendiri beban ekonomi yang kian berat. Seperti lapangan kerja semakin sempit akibat PHK massal dari berbagai perusahaan, utang luar negeri menggunung, Kenaikan harga bahan pokok, aneka subsidi dicabut, kondisi seperti ini tidak mencerminkan Indonesia sebagai negara maju.
Hegemoni AS atas Perdagangan Global
Pencoretan negara-negara berkembang ke negara maju, indonesia akan kehilangan beberapa fasilitas negara berkembang.
(1) Indonesia tidak akan menerima fasilitas Official Depelopment Assistance (ODDA) yang merupakan alternatif pembiayaan pihak luar/ eksternal untuk pembangunan sosial dan ekonomi dengan bunga rendah. Akibatnya, berdampak pada perdagangan Indonesia dengan pengenaan tarif lebih tinggi.
(2) Indonesia akan kehilangan Generalized System of preferences (GSP). Dengan fasilitas GSP, Indonesia sebelumnya bisa menikmati fasilitas bea masuk yang rendah untuk ekspor ke negara tujuan. Sehingga akan membantu bagi negara berkembang untuk terus bertumbuh.
Penghapusan GSP tersebut terhadap negara berkembang ke negara maju menyebabkan meningkatnya beban tarif yang selama ini mendapat insentif serta indonesia akan kehilangan daya saing pada ribuan produk. Saat ini terdapat 3.544 produk indonesia yang menikmati fasilitas GSP.
Merespon kebijakan AS tersebut, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa Indonesia juga akan kehilangan potensi ekspor yang besar ke AS terutama dalam produk-produk unggulan seperti tekstil dan pakaian jadi, sebab insentifnya dihapus. Sehingga mengalami defisit neraca perdagangan Indonesia makin lebar. Perjanuari 2020 defisit indonesia mencapai USD 864 juta.