Lihat ke Halaman Asli

Malaikat Tanpa Sayap

Diperbarui: 13 Desember 2024   20:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

(Kisah di Balik Seragam Kepalang Merhan )

Langit masih kelam ketika langkah-langkah cepat terdengar di koridor rumah sakit darurat. Di tengah hiruk-pikuk suara peralatan medis dan rintihan kesakitan pasen , tampak para anggota palang merah membantu pasean yang tertimpah puing puing dari runtuhan bangunan dan merek ibuk bergerak membawa peralatan medis , selimut, kantong darah, dan peralatan medis lainnya. Mereka bukan dokter spesialis, bukan pula tenaga medis profesional, tetapi keberadaan mereka begitu berarti. Mereka adalah para malaikat tanpa sayap yang berdiri di garis depan, membawa harapan di tengah duka. Di sebuah daerah yang hancur olehbencana alam , kania adalah seorang relawan Palang Merah, baru saja tiba setelah berjam-jam menempuh perjalanan. Wajahnya yang letih tak bisa menyembunyikan tekad kuat dalam hatinya. Ini bukan pertama kalinya ia terjun ke daerah bencana, tapi kali ini terasa berbeda. Kondisi di lapangan jauh lebih buruk dari yang ia bayangkan---ratusan korban terluka, bangunan rata dengan tanah, dan hampir tak ada infrastruktur yang tersisa. Namun, kania tahu satu hal: ini adalah panggilan kemanusiaan yang tak bisa ia abaikan.

Di tengah reruntuhandan byak nya korban Kania tetap melihat warga yaitu seorang ibu yang terjebak bersama anaknya yang berusia dua tahun. Seketika kania menangis melihat tangisan anak yang tertimpah oleh reruntuan bangunan .hampir tak terdengar suara anaka mungil yang menangis akibat bencana yang bayak memakan korban , sementara itu sang ibunya berusaha melindunginya dari puing-puing yang berjatuhan sebelum anggota penyelamat datang . Dengan cekatan, kania dan timnya segera menghampiri anaak dan ibu yang tertimah oleh oung ouing bsngunan ,mereka menolongnya dengan tangan kosong tanpa perlatan . Dikarenkan perlatan yang sangat minim dan bantuan dari peralatan besar belum datang hanya ada keberanian, kerja sama, dan keinginan kuat untuk menyelamatkan nyawa seorang ibu dan anak yang masih kecil . Setelah beberapa jam berjuang, mereka berhasil mengeluarkan sang ibu dan anaknya dari reruntuhan banunan yang menimpah mereka . Wajah lega menghiasi air mata mereka, sementara

si kecil yang lemah tersenyum kepada kania dang sang ibu menangis sambil mengucapkan

"Terima kasih kasih " keada kania . Bagi kania itu adalah ucpan yang paling megesankan bagi nya karna menolong Masyarakat adalah kewajiban bagi dirinya , .Di balik rasa Lelah dan air mata , ada kebahagiaan yang sulit digambarkan---perasaan telah melakukan sesuatu yang berarti untuk orang lain.

Namun, tugas kania belum selesai. Masih banyak korban yang membutuhkan pertolongan, dan Palang Merah selalu bergerak tanpa kenal waktu. Dalam benaknya, kania teringat akan salah satu prinsip dasar Palang Merah: kemanusiaan. Tidak peduli dari mana asal korban, apa latar belakang mereka, atau seberapa sulit kondisinya, mereka pantas mendapatkan bantuan. Itulah esensi dari gerakan kepalangmerahan---melampaui batas-batas ras, agama, atau politik, demi satu tujuan yang mulia: menyelamatkan sesama. 

Di tempat lain, putra dan relawan lainnya, menghabiskan malam-malam panjang di kampung pengungsian. Menyiapkan relawan lainya , ia juga mendistribusikan makanan, air bersih, dan obat-obatan untuk masyratakat yang di timpah musibah . Ia tahu betul, di situasi seperti ini, kehadiran Palang Merah sering kali menjadi satu-satunya harapan bagi para korban. "Ini bukan sekadar pekerjaan, ini adalah panggilan jiwa," katanya saat ditanya mengapa ia terus melakukan tugas ini meski kadang nyawanya sendiri terancam. Bagi sebagian masyrakat , para relawan Palang Merah mungkin tampak seperti orang biasa. Mereka tidak diliput media besar atau dielu-elukan di panggung nasional. Namun, di lapangan, mereka adalah pahlawan sesungguhnya seperti malaikat tanpa sayap . Mereka hadir di saat-saat terburuk manusia, dan di sana mereka memberikan yang terbaik dari diri mereka senhingga mereka tidak menghawatirkan nyawa mereka juga terancam . Cerita tentang kania dan , putra dan ribuan relawan lainnya adalah cerminan dari kekuatan kemanusiaan. Mereka tidak mengharapkan imbalan , pujian atau pengakuan tapi mereka hanya ingin membuat dunia ini sedikit lebih baik dengan tindakan nyata. Setiap langkah mereka, setiap tawa yang mereka ciptakan di wajah para korban, adalah bukti bahwa kemanusiaan masih hidup di tengah dunia yang sering kali dipenuhi ketidakpedulian dan obat dari rasa capek yang mereka alami . Mungkin kita tidak bisa seperti mereka yang berda di , garis depan seperti mereka. Namun, kita bisa belajar dari keberanian dan ketulusan mereka yang menolong warga bencana alam . Kita bisa mendukung gerakan kepalangmerahan dengan berbagai cara dari donasi hingga kesadaran untuk lebih peduli pada sesama. Kemanusiaan tidak mengenal batas, dan melalui gerakan ini, kita diingatkan bahwa selalu ada harapan, bahkan di saat-saat tergelap

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline