Air merupakan hal yang sangat krusial kaitannya dengan keberlangsungan hidup manusia. Tidak hanya untuk bertahan hidup (minum, mandi, mencuci atau memasak), tapi juga untuk menjalankan aktifitas di dunia kerja, air merupakan salah satu syarat utama suatu pekerjaan/usaha bisa berjalan. Hampir semua sektor pekerjaan membutuhkan air untuk bisa melakukan produksi atau menghasilkan barang/jasa. Sebagai contoh, industri sepatu kulit memerlukan air untuk mengolah kulit yang mereka gunakan sebagai bahan baku pembuatan sepatu kulit.
Saat ini beberapa daerah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, mengalami kekeringan dan krisis kekurangan air bersih akibat kemarau tahun ini. Hal ini pun juga melanda kota yang terkenal dengan sebutan kota hujan, Bogor, seperti yang beritakan JawaPos pada Senin (11/09). Krisis air bersih terjadi akibat mengeringnya sumber-sumber mata air. Penduduk setempat perlu berjalan beberapa kilo untuk mendapat seember air bersih yang didapat melalui anak sungai yang belum mengering. Selain itu, lokasi sumber mata air di Desa Cigudeg, Bogor, juga dikelilingi dengan perkebunan sawit yang seperti kita tahu pohon sawit membutuhkan sangat banyak air untuk tumbuh hingga siap dipanen. Kondisi ini memperparah persediaan air yang ada di sumur-sumur bor milik warga.
Disisi lain, beberapa daerah di luar Pulau Jawa -seperti di Sumatera Utara misalnya, mengalami banjir bandang yang merusak sebagian besar wilayah dan menenggelamkan ribuan rumah. Banjir diakibatkan oleh turunnya hujan dengan intensitas yang sangat tinggi di sejumlah wilayah yang menyebabkan air sungai meluap. Hal ini seperti dilaporkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui situs resminya pada Sabtu (16/09).
Perbedaan intensitas curah hujan hujan di berbagai wilayah di Indonesia menjadi tantangan sendiri bagi pemerintah untuk semakin siaga terhadap fenomena alam yang terjadi akibat terganggunya keseimbangan energi dan siklus air dalam skala kecil, atau bahkan dalam skala besar akibat perubahan iklim. Tanpa ketersediaan air bersih, terutama di daerah terpencil, masyarakat akan kesulitan untuk mendapatkan akses sanitasi yang layak. Akibatnya, penyakit seperti diare akan mudah muncul serta kesehatan masyarakat akan terganggu. Keterbatasan air bersih akan memicu masyarakat untuk mengalirkan air limbah ke saluran terbuka, seperti saluran drainase contohnya, yang memberikan kemungkinan timbulnya peningkatan risiko penyakit yang ditularkan melalui air. Saat banjir, air bersih juga akan tercemar dan genangan air akan tempat perkembangbiakan serangga pembawa penyakit seperti nyamuk.
Laporan dari situs resmi WHO pada tahun 2017 menyebutkan, antara tahun 2030 dan 2050, perubahan iklim akan menjadi penyebab meninggalnya sekitar 250 000 orang per tahun akibat kekurangan nutrisi, malaria, diare dan kenaikan temperatur bumi. Perubahan iklim mampu memengaruhi kondisi sosial dan lingkungan -penurunan kualitas udara, terganggunya pasokan air bersih, kecukupan pangan dan tempat tinggal. Anak-anak yang hidup di pemukiman kumuh menjadi anggota populasi yang paling berisiko dengan terganggunya kesehatan mereka dalam jangka panjang akibat perubahan iklim.
Kekurangan pasokan air juga akan mengganggu ketersedian pangan yang berakibat dari gagal panen sejumlah sawah milik petani di beberapa wilayah. Seperti halnya dengan kekeringan, banjir yang melanda sejumlah wilayah juga mengakibatkan sawah-sawah terendam dan petani-pun bisa gagal panen. Kondisi yang kerap terjadi tiap tahun ini bukan berarti hal yang bisa dianggap remeh, tapi membutuhkan solusi jangka panjang yang mampu mengatasi baik kekeringan atau banjir, seperti pembangunan embung atau bendungan yang bisa difungsikan sebagai tempat menampung air saat musim hujan dan menggunakannya untuk irigasi saat musim kemarau. PBB mencatat bahwa penggunaan 70 persen air di permbukaan bumi saat ini diperuntukkan untuk kepentingan sektor pertanian.
Pada hakikatnya, perubahan iklim telah dialami di berbagai belahan bumi. Namun, dampak yang dirasakan masyarakat akibat perubahan iklim lebih besar terjadi di negara-negara dengan kepulauan kecil dan negara berkembang yang berbatasan langsung dengan pesisir-dimana pemerintahnya masih belum siap dan siaga terhadap akibat yang dihasilkan dari kondisi tersebut. Pada artikel yang berjudul Millennials Should Start Keeping an Eye on Climate Finance Management in Indonesia dituliskan bahwa pemerintah Indonesia telah memiliki program-program aksi perubahan iklim yang saat ini akan atau sedang berjalan. Diharapkan program-program ini bisa berjalan di seluruh wilayah di Indonesia serta pemerintah mampu mempercepat pembangunan-pembangunan infrasturuktur yang mendukung aksi perubahan iklim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H