Lihat ke Halaman Asli

Tuhan, Kau Pasti Bercanda, Bukan?

Diperbarui: 26 Juni 2015   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

12977034391064443710

Selepas mandi sore itu aku pergi ke warung nasi sebelah rumah. Menikmati sebatang surya, rokok kebanggaan warga kotaku, dan segelas teh hangat sambil menunggu mak Ijah selesai menyiapkan formula nasi tumpang khas racikannya. Tidak seperti biasanya warung mak Ijah sepi pengunjung. Mungkin hanya aku warga komplek sekitar kampung rumahku yang sedang kelaparan sore-sore. Mungkin mereka sudah kenyang dan malas keluar sore. Atau mungkin juga aku yang jarang namu ke warung nasi tumpang-pecel milik mak Ijah akhir-akhir ini. Barangkali hujan sedari sianglah penyebab sepinya pelanggan mak Ijah. Waktu semakin sore dan perutku makin krucak-krucuk saja mikirin pelanggan warung mak Ijah.

Aku tengah asyik mengetik sms ketika entah dari mana munculnya seorang lelaki berbaju kumal tak bercelana, rambut gimbal, muka lusuh seram, badan beraroma sampah --barangkali dia takut air-- duduk di samping kananku diam dengan sorot mata tajam memelas seolah mengharap sesuatu. Sontak mak Ijah sigap, paham apa yang musti dilakukan. Segera dia memberi sebungkus nasi sayur plus lauk ala kadarnya pada orang yang ternyata gila itu, sekedar untuk berjaga kalau-kalau dia mengamuk lagi seperti tempo hari. Rupanya, kata mak Ijah, memang beberapa hari yang lalu orang yang sama mengamuk lantaran tak digubris di warung itu. Aneh. Segila-gilanya orang gila pasti tahan malu, namun seumur hidup belum pernah kujumpai orang gila yang tahan lapar. Entah apa yang ada dalam benak orang gila itu.

Duduk santai sambil menyantap nasi tumpang pedas-dahsyat karya mak Ijah, sesekali mataku melirik kanan kiri. Ada pak Wawan di seberang meja, tukang becak yang setahuku kerap kali malam-malam mengantar pulang ke rumah salah satu keeper andalan kesebelasan sepak bola yang, gara-gara penjaga gawang ini gawang tim sepak bola kesayangan warga kotaku sering kebobolan. Pak Wawan sedang asyik ngobrol bersama Ponidi, seorang pengangguran sukses satu-satunya lelaki anak mak Ijah yang –hanya-- tiap malam saja membantu ibunya, saat orang gila itu mengamuk beberapa hari sebelumnya. Dan berkat bantuan pak Wawanlah, masih kata mak Ijah, orang gila itu terusir pergi. Di samping kiri pak Wawan tadi ada seorang ibu muda berparas lumayan cantik kira-kira seumuranku, berdiri menunggu bungkusan pesanannya. Dia datang hampir bersamaan dengan masuknya orang gila itu. Bersama anaknya yang penakut, ibu muda itu bergegas pergi sesaat setelah urusannya dengan mak Ijah selesai.

Orang gila itu rupanya memiliki aura magis untuk mengusir orang khususnya para wanita dan anak kecil. Tapi hawa seram yang dibawa orang gila ber-burung gondal-gandul itu tak mempan bagi pak Wawan. Darah paruh bayanya pasti meninggi tak tertahankan bila siapa pun orang itu menghalalkan segala cara dengan kekerasan. Apa lagi melihat gembel, mengemis tak digubris lalu memaksa dengan kekerasan sebagai senjata. Sama halnya dengan mbah Di, begitu orang-orang memanggilnya, seorang dukun nyleneh yang setiap hari mangkal di warung mak Ijah untuk sekedar mengganjal perut tuanya itu tak bergeming sedikitpun saat orang gila itu menjajah tempat duduknya. Walau sudah udzur, pada umurnya yang sudah kepala tuju itu mbah Di masih a lot juga. Kaku, agak kasar –kalau terpaksa. Aku sempat terkekeh kecil menyaksikan adegan eyel-eyelan itu karena toh mbah Di nggak jauh beda dengan penjajah tempat duduknya, lhawong mbah Di sendiri juga dulu pernah sakit jiwa dan belakangan menjadi gendheng anyaran lagi kurang lebih setahun ini. Konon kabarnya dia gila karena tekanan ilmu dan sedikit masalah asmara. Tak lama kemudian adzan maghrib menggema, orang gila beserta bungkusan nasinya itu pergi entah kemana.

Jalan raya depan warung mak Ijah mulai sesak oleh lalu-lalang kendaraan besar-kecil. Binar lampu jalan kekuningan, kepulan asap kecil, uap udara dan beberapa gerombol manusia tampak memantul samar di permukaan aspal yang basah lembab karena rintik hujan masih mengguyur. Jauh di emperan toko seberang jalan kulihat orang gila tak bercelana itu asyik melahap nasi bungkusnya. Pemandangan dari jendela kaca warung mak Ijah ini sekejap membawaku melesat jauh sekali ke sebuah tempat luas yang dipenuhi ribuan bahkan –bisa jadi-- jutaan jenis manusia dengan profesi dan urusannya masing-masing. Di tempat yang bagiku sama sekali asing ini aku dihadapkan pada persoalan batin yang perlahan mengusik isi kepalaku. Di dalam lautan manusia itu kusaksikan lautan kesibukan urusan masing-masing. Mulai dari manusia yang hanya diam duduk nggak ngapa-ngapain, ada yang mondar-mandir tak karuan arahnya, ada yang sibuk komat-kamit berdoa, ada yang berselisih satu sama lain, ada yang hanya bekerja saja, ada yang berdemo di depan barisan orang yang nggak jelas jluntrungnya, ada seorang bertubuh besar gendut mencoba memimpin ratusan jumlah manusia yang susah diatur, celakanya pemimpin besar gendut itu sok becus mengatur padahal dia sendiri meski bertubuh besar-gendut nyatanya mlempem, ada juga sekelompok orang yang mengusir orang lain, serupa dengan peristiwa warung mak Ijah dan masih banyak peristiwa-peristiwa kecil lain yang sangat beragam bentuk dan ceritanya. Sungguh aneh, di antara hiruk-pikuk tumpahan manusia itu aku juga melihat si rambut gimbal tak bercelana! Ada urusan apa dia di tempat asing ini? Tiba-tiba aku merasa seperti melihat diriku sendiri. Seperti berkaca pada orang yang kebetulan gila itu. Untuk apa aku ke tempat aneh ini? Aduh. Mataku kupejam erat, agak lama, sedikit kukucek, hingga rasa pedih akibat kemasukan asap rokok berangsur hilang. Kubuka lagi mataku.

Lalu kemudian pandanganku kembali tertuju pada temaram lampu kuning sepanjang jalan depan warung mak Ijah –lagi. Lalu-lintas masih ramai, meski hari sudah lumayan gelap. Senja disaput petang. Aku masih memperhatikan banyak kejadian yang terjadi dalam sekejap mata. Di seluruh penjuru dunia ini, pikirku, dalam sedetik saja jutaan peristiwa terjadi. Persis seperti lautan manusia yang kusaksikan di tempat entah berantah tadi. Kuamati lagi beberapa gerak-gerik anak manusia di jalan itu satu-persatu. Ada yang sedang pulang, ada yang pergi, ada yang berjalan ke utara, selatan, barat dan timur. Semua membawa satu hal dalam kepalanya: urusan, atau dalam bahasa londonya adalah business! Ya, seluruh manusia di muka bumi ini bernafas, bergerak dan hidup untuk mengurusi sebuah urusan masing-masing. Tak ada urusan, berarti tak hidup. Dan pada akhirnya seluruh gerak dan hidup manusia itu hanya tertuju pada: sebuah kebahagiaan.

Sudahkah ku bahagia? Ah, yang penting urusan laparku sementara ini selesai. Tinggal mengurusi urusan lainnya. Kasihan sekali si gembel gila itu, pikirku. Apakah dia bahagia sebagaimana manusia normal lainnya? Ah, bukan urusanku, pikirku egois. Wah, jangan-jangan aku nggak normal. Entahlah. Semoga saja semua manusia bahagia dengan urusannya masing-masing. Hujan masih saja rintik-rintik. Gerimis selalu awet saat petang menjelang, kata banyak orang.

"Sudah nak?" suara mak Ijah membuyarkan lamunanku.

"Oh, iya mak Jah. Maaf, kebablasan. Semuanya jadi berapa?"

"Enam juta rupiah! Masih tetap seperti biasanya, masak ndak hafal to?" sergah mak Ijah dengan kelakar khasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline