Dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk mengajak sobat pembaca untuk memahami hal-hal yang bisa saja terjadi dalam persaingan usaha. Mungkin akan jarang dijumpai kasus serupa dengan apa yang akan penulis bahas. Akan tetapi tidak ada salahnya untuk sama-sama kita ketahui dan pelajari supaya kedepannya dapat berhati-hati serta bijak dalam menyikapi. Berikut penulis jabarkan satu-persatu.
Dalam negara yang bersistem civil law country, keberadaan, keberagaman, dan kekuasaan para subjek hukum sangat bergantung pada peraturan hukum, tidak hanya undang-undang tapi juga peraturan yang berada di bawahnya. Hal-hal yang bergantung ini juga termasuk didalamnya adalah tindakan para pengusaha atau badan usaha, baik perseorangan maupun persekutuan. Undang-undang mengatur kegiatan yang dilarang dan diwajibkan bagi subjek hukum, termasuk aparat penegak hukum. Bahkan, undang-undang dapat menghilangkan kapasitas dan kecakapan hukum badan-badan tertentu, misalnya suatu perusahaan ada seseorang yang dinyatakan pailit, mereka akan kehilangan kewenangan untuk bertindak dan harus ditempatkan di bawah pengampuan kurator.
Perusahaan atau seseorang yang dinyatakan pailit adalah mereka yang secara hukum dan peradilan dinyatakan memenuhi beberapa syarat serta telah menjalani proses hukum untuk dijatuhkan pailit, sebagaimana dimaksud dalam Pasal-pasal yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Setelah dinyatakan pailit, suatu korporasi ditahan sampai seluruh asetnya diuangkan dan utangnya dilunasi, yang bisa memakan waktu lama.
Penyederhanaan syarat-syarat pernyataan pailit juga diatur dalam Undang-Undang Nomor. Pasal 37 Tahun 2004 Ayat 2 Ayat 1 yaitu: 1) Debitur mempunyai sekurang-kurangnya dua orang kreditor, 2) Terdapat minimal satu utang yang belum dibayar, 3) Utang tersebut telah jatuh tempo, dan 4) Dapat ditagih. Tidak ada batas minimal nominal utang. Sekecil apapun utangnya, jika keempat syarat atau unsur tadi terpenuhi, debitur dapat kapan saja mengajukan pailit ke pengadilan. Proses pengajuan pailit juga sangat sederhana, sebagaimana diatur dalam UU No. Pasal 37 Tahun 2004 memuat Pasal 6 sampai dengan Pasal 10 tentang tata cara peradilan niaga tingkat pertama, dan Pasal 11 tentang pengajuan gugatan dan pemeriksaan ulang dalam hal putusan tingkat pertama dianggap tidak beralasan. Proses ini mencakup upaya kepatuhan, penerapan, dan pengujian dan relatif sederhana.
Dari hal demikian, sangat dimungkinkan adanya pihak-pihak tertentu yang ingin berbuat jahat dan menjatuhkan pihak lain dalam permasalahan persaingan usaha. Di atas sudah diterangkan bahwa upaya atau tindakan yang timbul dalam kegiatan berbisnis, berdagang, dan sejenisnya juga diatur dalam aturan perundang-undangan, termasuk soalan persaingan usaha antara pengusaha dengan pengusaha yang lain atau badan usaha dengan badan usaha yang lain. Kita kesampingkan dahulu kemudahan proses pengadilan dalam perkara kepailitan ini dan lebih fokus pada unusur dapat dipailitkannya subjek hukum yang sangat mudah karena pengadilan akan menyetujui pailit jika unsur-unsurnya memang sudah terpenuhi. Bukankah kemudahan dalam syarat dijatuhkannya pailit ini sangat memungkinkan ada pihak yang memanfaatkannya? Tentu saja sangat mungkin hal itu terjadi.
Seperti perumpamaan, A adalah badan usaha di bidang kosmetik yang memberikan bantuan berupa utang pada C yang merupakan badan usaha di bidang kecantikan. Namun pada waktu tertentu, si C tidak mampu membayar utang yang diberikan oleh A. Sehingga A berpikir untuk menggugat si C. Kebetulan, C juga memiliki utang pada si B yang memiliki fokus di bidang yang serupa. Jadi, A yang utangnya belum terbayarkan oleh si C memanfaatkan hal itu dan menggugat si C ke pengadilan niaga bukan untuk perkara wanprestasi, melainkan kepailitan. Atau bahkan si A juga mengajak si B untuk bekerja sama dalam mempailitkan si C sehingga yang berkuasa di pasar kecantikan dan sejenisnya hanyalah mereka. Atau bisa juga, A dan B sudah bekerja sama dari awal untuk memberikan utang pada C dengan harapan si C tidak bisa membayarnya sehingga A dan B bisa mempailitkan si C di kemudian waktu. Nah pertanyaannya, jika ada pihak-pihak tertentu yang berkeinginan untuk menjatuhkan pesaingnya dalam dunia bisnis dengan memanfaatkan kemudahan menjatuhkan pailit tersebut, apakah sudah ada aturan yang mengantisipasi kecurangan atau persaingan tidak sehat seperti ini?
Jika kita mempelajari lebih lanjut mengenai hukum persaingan usaha untuk kemudian dianalisis dan dicocokan dengan contoh kasus yang dipertanyakan sebelumnya, maka kita bisa memulainya dengan UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat karena dilihat dari perspektif manapun, contoh kasus di atas lebih tepat untuk ditinjau secara hukum persaingan usaha. Perlu diketahui juga bahwa dalam undang-undang ini tertulis cukup banyak aturan baik yang berupa larangan maupun perintah mengenai tindakan bersaing dalam bisnis antar pengusaha atau badan usaha. Undang-undang ini memuat 53 pasal dengan eksplanasi dan regulasi berbeda-beda untuk menyikapi dan menanggulangi segala hal dalam persaingan usaha. Bahkan, ada beberapa jenis kegiatan persaingan usaha tidak sehat yang juga tercantum. Namun, apakah ada pasal yang melarang praktik persaingan usaha tidak sehat dengan metode yang serupa pada contoh kasus di atas?
Untuk menjawab contoh kasus yang berupa pemanfaatan kemudahan dalam menjatuhkan pailit pada suatu subjek hukum oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan ingin bermain curang dalam konteksnya adalah persaingan usaha, maka kita harus mencocokannya pada undang-undang mengenai larangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di atas tadi.
Pada dasarnya, tidak dijumpai spesifikasi pengaturan dalam perundang-undangan persaingan usaha yang dimaksud di atas, begitu pun di beberapa literatur serta peraturan perundang-undangan yang lain. Tidak secara spesifik yang dimaksud di sini bukan berarti tidak ada yang terkait atau relevan, tetapi hanya tidak dijelaskan secara detail, khusus, dan terperinci. Seperti pada eksplanasi tentang Pemboikotan dalam pasal 10 ayat (1), dan eksplanasi tentang Penguasaan Pasar di pasal 19 dan pasal 19 huruf (a) yang memiliki kecocokan rumusan pasal pada contoh kasus di atas.
Adapun bunyi pasal 10 ayat (1) adalah "Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian, dengan pelaku usaha pesaingnya, yang dapat menghalangi pelaku usaha lain untuk melakukan usaha yang sama, baik untuk tujuan pasar dalam negeri maupun pasar luar negeri." Dan bunyi pasal 19 dan pasal 19 huruf (a) adalah "Pelaku usaha dilarang melakukan satu atau beberapa kegiatan, baik sendiri maupun bersama pelaku usaha lain, yang dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat berupa: a.) menolak dan atau menghalangi pelaku usaha tertentu untuk melakukan kegiatan usaha yang sama pada pasar bersangkutan".