Fenomena menarik yang barangkali baru kita sadari tentang Kemiskinan. Satu hal yang telah ada di Ratusan Negara bahkan Rezim Kekuasaan sejak berabad-abad yang lalu. Buah dari akumulasi masalah sosial yang terbentuk di komunitas masyarakat dari skala keluarga hingga negara. Tidak ada satu masa yang kebal dari Kemiskinan, sekalipun saat itu disebut dengan era keemasan, era pencerahan bahkan era firaun berkuasa. Justru setiap bangsa dan negara kerap menjadikan 'Kemiskinan' sebagai musuh bersama yang harus dihadapi dan dientaskan melalui berbagai program dan pelayanan yang diberikan kepada rakyatnya. Dan sadar atau tidak dimensi inilah yang menjadikan sistem tata negara eksis dan menjadi tolok ukur utama di setiap rezim yang berkuasa. Namun melalui tulisan ini, penulis ingin mengajak pembaca memahami kembali apa dan bagaimana kemiskinan bisa terjadi.
Kemiskinan memiliki banyak definisi, yang mayoritas mengacu pada aspek ekonomi. Namun lebih dari itu, sejatinya Kemiskinan juga erat kaitannya dengan dimensi sosial, lingkungan, kultural, institusional hingga struktural. Ibarat buah mangga, kemiskinan memiliki bentuk, rasa dan sumber yang bermacam-macam. Swanson (2001) pernah mendefinisikan kemiskinan berhubungan dengan kekurangan materi, rendahnya penghasilan dan adanya kebutuhan sosial yang tidak terpenuhi.
Lebih lengkap lagi, Suharto (2006) menjabarkan 9 (sembilan) kriteria yang menandai kemiskinan:
- Ketidakmampuan memenuhi kebutuhan konsumsi dasar (sandang, pangan, dan papan)
- Ketidakmampuan untuk berusaha karena cacat fisik maupun mental
- Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak terlantar, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil, dsb)
- Rendahnya kualitas sumber daya manusia dan sumber daya alam (turunnya fungsi lingkungan hidup)
- Rentan terhadap goncangan yang bersifat individual (rendahnya pendapatan dan aset) dan massal (pandemi, rendahnya modal sosial, ketiadaan fasum, dll)
- Ketiadaan akses lapangan kerja dan mata pencaharian yang memadai dan berkelanjutan
- Ketiadaan akses terhadap layanan dasar masyarakat (pendidikan, kesehatan, sanitasi, air bersih dan transportasi)
- Ketiadaan jaminan masa depan (investasi pendidikan, perlindungan sosial, jaminan sosial, dll)
- Ketidakterlibatan dalam kegiatan sosial kemasyarakatan
Lantas muncul pertanyaan, apakah kita atau lingkungan sekitar kita masih ada yang berada dalam kondisi di salah satu dari sembilan kriteria ini? kurang lebih itu cukup menggambarkan apakah ada warga miskin di lingkungan kita, baik secara individual atau bahkan massal jika memang secara kuantiti mendominasi. Di negara berkembang, kemiskinan sangat terkait dengan aspek struktural yang terjadi didalamnya, misalnya adanya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sangat masih, sistem hukum yang tidak adil, gejolak politik, diskriminasi sosial hingga tidak adanya jaminan sosial. Sedangkan di negara maju, kemiskinan lebih bersifat individual, misalnya merebaknya narkoba, alkohol, sakit parah berkepanjangan, tingginya lansia sebatang kara, kecacatan fisik hingga tingginya angka tuna wisma dan keluarga tunggal disana.
Kemiskinan ini bukanlah hal yang tiba-tiba terjadi, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebab munculnya kemiskinan dengan menunjuk pada beberapa hal diantaranya; Faktor Individual, Faktor Sosial, Faktor Lingkungan Hidup, Faktor Kultural dan Faktor Struktural. Walaupun realitanya kemiskinan terjadi dari multi faktor dan tidak ada faktor tunggal yang menyebabkannya.
David Cox (2004) mengelaborasi faktor kemiskinan menjadi 4 (empat) dimensi, diantaranya;
- Kemiskinan yang diakibatkan oleh globalisasi, yang melahirkan negara pemenang dan negara kalah. Buah dari persaingan dan pasar bebas yang berlaku secara global.
- Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan, rendahnya pembangunan, dikotomi kawasan pedesaan dan perkotaan.
- Kemiskinan sosial, kerap dialami oleh kelompok rentan (perempuan, anak-anak, eksploitasi sumber ekonomi, kelompok minorotas akibat sosial dan ekonomi)
- Kemiskinan konsekuensional, yang terjadi akibat kejadian atau faktor eksternal seperti bencana alam, kerusakan lingkungan dan over populasi
Membaca konsep ini, sejatinya kemiskinan terjadi tidak semata-mata karena ada atau tidak adanya uang. Lebih dari itu, penulis menilai kemiskinan merupakan kondisi terhambatnya keparipurnaan fungsi manusia dalam menjalani kehidupan secara individu, kelompok dan komunitas yang beragam. Sebab orang yang tinggak di pelosok desa tidaklah cukup untuk dinilai dalam kondisi miskin. Justru yang orang yang berdasi dan tinggal di perkotaan pun bisa terjerat dalam kemiskinan. Pada akhirnya negara memilih condong pada parameter ekonomi untuk menilai kemiskinan yang terjadi pada rakyatnya. Namun dari yang kita bahas tadi, tidak ada kemiskinan yang berasal dari faktor tunggal. Maka tidaklah mengagetkan jika negara-negara maju yang konon super power pun masih memiliki masalah kemiskinan yang mengakar didalamnya.
Teringat dengan konsep hukum rimba, ditengah bentang alam yang indah didalamnya ada banyak makhluk yang bertarung untuk menunjukkan kekuasaan kelompoknya, siapa yang kuat dialah yang menang. Sekalipun yang kalah tersiksa dan terhimpit, fungsi hutan tetap berjalan dan nampak baik-baik saja jika dilihat dari langit. Begitulah ilustrasi hari ini, dengan sistem kapitalisme menjadi lazim kemiskinan dianggap sebagai atribut kecil yang cukup diukur dengan faktor ekonominya saja, nampak indah dipandang dari langit. Namun jika masuk kedalam, kita akan melihat kondisi yang serupa dengan ilustrasi hutan yang saya gambarkan. Selalu ada kelompok yang sunyi dan senyap merasakan kekalahan atas hidup yang dialaminya.
Maka dapat disimpulkan, pesan dari tulisan ini mengajak pembaca untuk menyadari multifaktor yang menyebabkan kemiskinan dapat terjadi di sebuah negara. Dan menyadari sistem kapitalisme yang hari ini mendominasi memiliki konsekuensi dan ancaman yang berkaitan dengan Kemiskinan. Jika kita berada di posisi yang memiliki kekuasaan untuk menjalankan program pengentasan kemiskinan, sudah waktunya kita menajamkan dan memperkaya metode dalam memantau keberhasilan program yang dijalankan. Sehingga kita dapat memiliki matriks yang komprehensif dalam melihat realita pengentasan kemiskinan yang sedang dijalankan. Jangan sampai hanya sebatas jargon dan seremoni, pengentasan kemiskinan merupakan perjuangan sepanjang hayat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H