Universitas Mercu Buana Yogyakarta baru saja menyelenggarakan Internasional Conference On Social Entrepreneurship 2024 dengan tajuk acara "Fostering Collaborative Innovation to Accelerate Internasional Academic Achievement" pada Jumat, 6 Desember 2024 lalu. Konferensi ini diselenggarakan secara daring melalui Zoom Meeting dengan menghadirkan 5 pembicara dari berbagai negara mulai dari Filipina, Arab Saudi, hingga Belanda. Kelima pembicara tersebut memaparkan berbagai topik terkait social entrepreneurship kepada lebih dari 150 audiens di Zoom Meeting. Salah satu pembicaranya yaitu Dr. Mark Govers, seorang associate professor di Universitas Maastricht, Belanda. Pada kesempatannya hari itu, Dr. Mark memaparkan materi social entrepeneruship yang berfokus dengan tema "Navigating for Success and Dissipating and Overcoming Pitfalls and Social Entrepreneurship".
Sesuai dengan temanya, Dr. Mark menjelaskan mengenai pitfalls atau kesalahan umum yang dapat dialami oleh seorang pelaku usaha sosial saat menjalankan usahanya. Ia menyebutkan setidaknya ada 7 kesalahan umum yang mampu membuat pelaku usaha sosial terperangkap dalam sebuah masalah sehingga membuat usahanya tidak berjalan dengan baik. Ketujuh pitfalls tersebut berupa terlalu fokus pada tujuan sosial, pengukuran dampak sosial yang belum jelas, ketidakterampilan dalam berbisnis, ketergantungan pada dana eksternal, tidak memperhatikan para pemangku kepentingan (stakeholders), penyimpangan tujuan, dan terakhir tidak memahami konteks kultural. Dr. Mark menjelaskan secara sederhana tujuh kesalahan umum tersebut beserta dengan solusinya. Ternyata dari kesalahan-kesalahan umum tersebut, diperlukan satu solusi utama saja sebagai jalan keluarnya yakni kolaborasi antar disiplin ilmu.
Jika mendengar social entrepreneurhsip, orang-orang tentu akan berfokus pada kata sosialnya saja, yang berarti sebuah kegiatan yang berkaitan dengan lingkungan masyarakat. Namun, adanya tujuan untuk memberikan dampak sosial kepada masyarakat tak berarti membuat seorang pelaku usaha sosial hanya berfokus pada tujuan sosial saja, justru jika begitu seorang pelaku usaha sosial akan terjebak dalam kesalahan umum yang telah disebutkan oleh Dr. Mark sebelumnya. Lebih lanjut Dr. Mark mengatakan diperlukan keterampilan dalam berbisnis seperti mengelola keuangan, menyusun strategi pemasaran, hingga pengoperasian usaha agar usaha sosial tersebut dapat berjalan dengan baik dalam waktu yang lama. Tak hanya itu, Dr. Mark dalam menjelaskan poin-poin kesalahan umum kewirausahaan sosial tersebut juga turut memberikan solusi kepada para pelaku usaha sosial untuk bisa memahami konteks kultural, latar belakang permasalahan, serta memperhatikan orang-orang yang terlibat untuk dapat menerapkan program sosial mereka dengan baik. Artinya diperlukan kemampuan komunikasi, negosiasi, serta pemahaman lingkungan dan sosial yang baik agar tujuan sosial yang diharapkan sampai kepada masyarakat.
Kemampuan berkomunikasi, berbisnis, hingga bersosialisasi tersebut itu dapat terwujud jika pelaku usaha sosial melakukan kolaborasi antar disiplin ilmu. Kolaborasi antar disiplin ilmu berarti menggabungkan beberapa disiplin ilmu untuk saling bekerja sama dalam mewujudkan suatu tujuan sosial yang diharapkan. Menurut Dr. Mark, wujud kolaborasi tersebut dapat berupa melakukan kerja sama dengan orang-orang ahli dalam suatu bidang yang dibutuhkan dalam menjalankan usaha sosial. Misalnya bekerja sama dengan mereka yang ahli dalam marketing untuk dijadikan sebagai penyusun strategi pemasaran, bekerja sama dengan seorang yang ahli dalam public relation sebagai humas yang menjadi jembatan antara pelaku usaha dengan pemangku kepentingan atau stakeholders, ataupun bekerja sama dengan seseorang yang ahli dalam bidang manajemen untuk mengelola keuangan.
Peran penting institusi pendidikan dalam mewujudkan kolaborasi antar disiplin ilmu tersebut juga turut disinggung oleh Dr. Mark, "Fakultas-fakultas memiliki konsep yang terkotak-kotakkan. Namun dalam social entrepreneurship dibutuhkan kerja sama antar disiplin ilmu. Oleh karenanya institusi pendidikan dapat menciptakan sebuah program lintas disiplin sebagai bentuk proyek social entrepreneurship bagi mahasiswanya. Pada proyek tersebut diharapkan mereka (mahasiswa) mampu melakukan kerja sama, menemukan jalan keluar, dan mungkin juga mengelola usaha sosial tersebut dengan mempraktikannya secara langsung."
"Saya rasa materi (keterampilan) sudah banyak tersedia (melalui fakultas-fakultas di institusi pendidikan), selanjutnya tinggal bagaimana membawa mereka bersama untuk disatukkan dalam sebuah tantangan yang nyata. Mungkin hal terpentingnya adalah bagaimana institusi pendidikan memberikan masalah sosial yang nyata kepada mahasiswa sehingga mereka bisa terjun langsung untuk berbaur dengan masyarakat. Melalui hal itu, mereka bisa berbicara langsung dengan warga, pelaku bisnis, hingga investor." Ujarnya kemudian.
Memulai usaha sosial tentu sebuah langkah yang bagus. Namun dalam praktiknya jangan sampai lupa akan beberapa hal yang harus diperhatikan mulai dari tujuan sosial, pengelolaan usaha, hingga keterlibatan dengan pemangku kepentingan. Maka diperlukan kerja sama dengan orang-orang yang memiliki keterampilan dalam bidang-bidang tersebut guna menjalankan usaha sosial yang baik dan berjangka panjang. Selain itu institusi pendidikan juga memiliki peran penting sebagai pendukung dan wadah bagi mahasiswa calon pelaku usaha sosial. Pendidikan yang mendukung serta kerja sama yang baik dapat menciptakan sebuah social entrepreneurship yang mampu mencapai tujuan sosialnya serta memiliki dampak besar pada masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H