Lihat ke Halaman Asli

Potensi Pengembangan Sampah Berdasarkan Kerjasama Jepang-Indonesia

Diperbarui: 24 Agustus 2017   22:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Melanjutkan tulisan saya sebelumnya khususnya terkait dengan pembahasan kerjasama yang dilakukan Jepang-Indonesia dalam bidang energi terbarukan khususnya pengelolaan sampah untuk energi yang dilakukan pada Bulan Januari 2017, saya ingin membahas lebih dalam terkait dengan potensi pengembangan energi terbarukan yang berasal dari sampah (biomassa).

Potensi timbulan sampah di Indonesia yang sangat besar, namun dibarengi dengan pengelolaan yang buruk menjadikan sampah belum bisa dikelola langsung menjadi sumber energi terbarukan. Pemanfaatan teknologi lingkungan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sudah mulai dilirik dan dikembangkan salah satunya dengan proses kerjasama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dengan Kementerian Lingkungan Negara Jepang (Ministry of Environment Japan/MoEJ) [1].

Bagaimana proses pengelolaan sampah menjadi sumber energi terbarukan? Proses dapat dilakukan dengan pengolahan fisik, kimia dan biologi. Pengolahan fisik biasa dilakukan untuk membuat ukuran partikel sampah menjadi seragam, untuk pengolahan kimia, dilakukan proses kimiawi seperti pembakaran (thermal), kemudian untuk pengolahan biologis, sampah akan dioleh dengan bantuan mikroorganisme. Dari ketiga proses pengolahan sampah tersebut, proses kimia dan biologi memiliki potensi menghasilkan energi terbarukan.

Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 18 Tahun 2016, pemerintah menetapkan percepatan pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah menggunakan teknologi proses thermal incinerator atau pembakaran. Sampah kota nantinya diharapkan menjadi sumber energi terbarukan dengan menghasilkan listrik menggunakan gasifikasi, pirolisis dan insinerasi. Ketiga proses pengolahan sampah menjadi energi tersebut menggunakan proses termal. Proses termal tergolong lebih efektif karena waktu prosesnya relatif cepat. Secara umum, termal adalah proses mereduksi volume sampah dengan metode pembakaran, dan menghasilkan energi panas yang bisa menjadi pembangkit listrik.

  • Thermal Incinerator
  • [1. Insinerator] merupakan alat untuk proses insinerasi, dimana hanya menyisakan sekitar 10% sampah yang dibakar [2]. Panas yang dihasilkan dari proses pembakaran akan dialirkan untuk memanaskan boiler sehingga menghasilkan uap. Uap itulah yang digunakan untuk menggerakkan turbin akan menghasilkan listrik. Listrik inilah yang nantinya akan dikoneksiakan dan didistribusikan menuju PLN. Namun tidak semua jenis sampah dapat dibakar, pecahan logam, kaca, dan sampah makanan perlu dipisahkan, karena elemen tersebut menghambat pembakaran. Pembakaran dilakukan dengan suhu 800-10000C. Prinsip incinerator seperti prinsip PLTU namun berbeda bahan bakarnya karena menggunakan batu bara.Penggunaan insinerasi dapat dilakukan untuk pengolahan sampah skala besar dan emisi yang dihasilkan sedikit. Metode insinerasi menghasilkan energi listrik relatif kecil yaitu sekitar 30 kWh per ton sampah. Penggunaan insinerasi leboh memfokuskan pad pemusnahan sampah bukan untuk menghasilkan sampah, hal ini diketahui dari kemampuan teknologi insinerasi untuk membakar sampah seribu ton hanya dalam waktu satu hingga dua jam. Penggunaan incinerator sudah banyak diaplikasikan di negara seperti Jepang dan Singapura.
  • [2. Gasifikasi]Untuk mendapatkan energi pembangkit listrik, gasifikasi membutuhkan oksigen saat proses pembakarannya dan suhu yang digunakan lebih tinggi dari pyrolisis. Hasilnya, gas atau disebut dengan syngas berubah menjadi metana, yang dipakai untuk sumber energi. Gasifikasi merupakan proses yang menggunakan panas untuk merubah biomassa padat atau padatan berkarbon lainnya menjadi gas sintetik "gas alam" yang mudah terbakar. Melalui proses gasifikasi, kita bisa merubah hampir semua bahan organik padat menjadi gas bakar yang bersifat bersih, netral. Gas yang dihasilkan dapat digunakan untuk pembangkit listrik maupun sebagai pemanas. Gas yang dihasilkan pada gasifikasi disebut gas produser yang kandungannya didominasi oleh gas CO, H2, dan CH4. Bahan bakar yang umum digunakan pada gasifikasi adalah bahan bakar padat, salah satunya adalah batubara dan sampah yang telah dipsahkan sesuai dengan karakteristiknya.
  • [3. Pirolisis]Berbeda dengan gasifikasi, proses pyrolisis tidak membutuhkan oksigen. Tapi hasilnya sama, ada gas, kemudian gas diembunkan, dan selanjutnya menjadi bahan bakar cair untuk energi pembangkit. Proses pirolisis dilakukan pada suhu 400 -- 450 derajat Celcius tanpa menggunakan katalis. Proses pirolisis banyak dilakukan untuk jenis sampah plastic. Hasil pirolisis dari campuran PE dan PP akan menghasilkan bahan bakar cair yang setara dengan bensin, kerosene, solar dan heavy oil, dimana persentase keempatnya tergantung dari persentase campuran PE dan PP yang diinputkan ke dalam reaktor

Berita terbaru terkait dengan proses penyediaan infrastrktur untuk pengelolaan sebagai sumber energi yaitu pembangunan Infrastruktur pengolahan sampah terpadu dalam kota oleh Dinas Kebersihan Provinsi DKI Jakarta pada bulan Spetember 2016. Pada bulan Juli 2017 Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat berkomitmen akan melanjutkan pembangunan Intermediate Treatment Facility (ITF) di Sunter, Jakarta Utara, yang dkabarkan sudah mangkrak selama 4 tahun. Rencananya, pembangunan pengelolaan sampah dalam kota itu akan kembali dimulai pada Agustus mendatang.Djarot berharap ITF bisa menanggulangi sekitar setengah lebih sampah di Jakarta. Djarot menyebut sampah di Jakarta per harinya bisa sekitar 7.000 ton. Dengan adanya ITF ini, sekitar 4.000 ton sampah bisa dikelola di Jakarta dan proses pengolahan sampah menjadi energi terbarukan menggnakan teknologi incinerator (tempat pembakaran sampah).

Melihat potensi energi terbarukan khususnya dari pengolahan sampah menggunakan proses termal, maka ada satu hal yang penting untuk dilakukan untuk membantu keberhasilan dari pembuatan infrastruktur pengolahan sampah (misalkan ITF, Insinerator, dll) yaitu kebiasaan untuk memilah sampah. Hampir seluruh proses pengolahan sampah hanya dapat mengelola sampah jenis tertentu, bahkan hanya untuk jenis bahan tertentu saja (semisal pastik terdiri dari HDPE, PP, LDPE, dll). Sampah yang tidak terpilah akan membuat infrastruktur pengolahan sampah mudah rusak dalam jangka waktu yang cepat dan juga energi yang dihasilkan rendah, namun biaya operasionalnya tinggi. 

#energiterbarukan

#konservasienergi

#kesdm

#kinerjaesdm

8th Day in #15hariceritaenergi

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline