Lihat ke Halaman Asli

Benarkah Pemerintah Memprioritaskan EBT Tenaga Surya?

Diperbarui: 21 Agustus 2017   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Inovasi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, secara resmi mengesahkan peraturan terkait dengan penyediaan energi listrik untuk didaerah kawasan perbatasan, daerah tertinggal daerah terisolir dan pulau-pulau terluar. Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) sudah mulai akan dibagikan secara massal oleh pemerintah. Pemberian LTSHE difokuskan di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal).

Penyediaan LTSHE dilakukan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) No.47 Tahun 2007 tentang penyediaan LTSHE yang berisi ketentuan terkait dengan penyediaan, pengawasan distribusi, peran Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah serta aturan terkait dengan badan usaha pelaksana peneydia LTSHE [1]

Video LTSHE oleh Ditjen EBTKE 

Penyediaan LTSHE ini mendukung program "Nawa Cita" yang diusung oleh presiden Jokowi. Program ini digagas untuk perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta mandiri baik dalam bidang ekonomi, kepribadian dalam kebudayaan. Salah satu program Nawa Cita terkait dengan penyediaan LTSHE adalah Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan [2].

Dalam pasal 1 dan pasal 3 Perpres dinyatakan bahwa LTSHE akan diberikan secara gratis kepada warga negara Indonesia yang rumah tinggalnya belum tersambung dengan jaringan tenaga listrik dan berada di kawasan perbatasan dan daerah 3T. Namun, pemberian LTSHE secara gratis tersebut hanya dilakukan sekali untuk setiap penerima LTSHE. Guna mencegah terjadinya penyalahgunaan atau penyimpangan dari LTSHE ini, maka penerima listrik gratis wajib memelihara dan merawat LTSHE dengan sebaik-bainya. Mereka dilarang melakukan praktik jual beli dan adanya pernyataan yang dibuat secara tertulis sebelum penyerahan LTSHE.

LTSHE merupakan peralatan pencahayaan berupa lampu terhubung baterai dengan penggunaan energi tenaga surya fotovoltaik sebagai sumbernya. Prinsip kerja LTSHE yaitu konversi energi dari matahari ditangkap oleh panel surya yang disimpan dalam baterai untuk menyalakan lampu. LTSHE ini dapat beroperasi maksimum hingga 60 jam lamanya.

Jika melihat dari terobosan baru pemerintah melalui program penyediaan LTSHE, apakah pemerintah memperioritaskan pengembangan EBT Tenaga Surya?

Menurut saya sendiri, tidak. Pengembangan EBT Tenaga Surya dilakukan pemerintah saat ini karena beberapa alasan yaitu :

  • Pemerintah masih memiliki tanggung jawab untuk memberikan energi 2.50 desa yang belum menikmati lampu listrik dari 82.190 desa  di seluruh Indonesia. rasio elektrifikasi memang masih rendah di beberapa provinsi, seperti Papua (45,93%), NTT (58,64%), Sultra (68,84), Kalteng (69,54%), NTB (72,77%), Kaltara (73,48%), dan Kepri (73,53%) [3]. Bayangkan saja, desa-desa tersebut melewati malam dengan keadaan gelap gulita. Penerangan sangat terbatas, mungkin hanya menggunakan lampu dari minyak tanah, yang juga memberikan dampak buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Diharapkan di tahun 2019, desa-desa tersebut sudah terpsang listrik.
  • Pemerintah menyediakan LTSHE untuk menyelesaikan permasalahan diatas dalam waktu terbatas, tidak permanen. Penggunaan LTSHE digunakan bersamaan dengan penyediaan infrastruktur kelistrikan yang memakan waktu cukup lama untuk dibangun di daerah pelosok.
  • Potensi EBT terbesar untuk dapat dikembangkan di Indonesia yaitu panas bumi dan tenaga surya. Untuk tenaga surya sendiri, Negara Indonesia mendapat sinar matahari kurang lebih cukup untuk digunakan sebagai sumber energi. Energi surya di Indonesia dapat digunakan di seluruh pelosok daerah.

Fokus pada penyediaan listrik di Indonesia dan dalam rangka menjaga kelestarian dan kebersihan lingkungan maka pemerintah sudah mulai melakukan pemanfaatan EVT dan mengurnafi pembangkit listrik tenaga minyak bumi, gas alam dan batu bara. Diharapkan prosi EBT dalam bauran energi nasional terus meningkat.

Pemrintah sudah mulai serius melakukan peningkatan penggunaan EBT di Indonesia, hal ini dimulai dengan penetapan kebijakan dalam Rencana Umum Energi Nasioanl (RUEN), dimana paling sedikit persentase peningkatan EBT sebsar 23% di tahun 2025 dan paling sedikit 31% pada tahun 2050.  Untuk mencapai persentase yang diinginkan pada tahun 2025, diperlukan 45.000 megawatt (MW) listrik berbasis EBT. Sebagaimana diketahui bahwa kontribusi EBT dalam bauran energi nasional pada pada tahun 2015 baru mencapai sekitar 10%.

Namun pelaksanaan kebijakan ini bukan tanpa kendala. Sampai saat ini, biaya produksi per KWh dari listrik PLTS ini masih jauh lebih mahal dari energi fosil. Disamping itu, baterainya dianggap tidak bisa bertahan lama. Soal ketahanan sel surya dan baterainya ini mungkin bisa kita pelajari dan kita adopsi apa yang telah diaplikasikan di negara lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline