Diplomasi memiliki peranan yang sangat penting dalam Hubungan Internasional. Selain untuk menjaga perdamaian dengan melakukan kerjasama internasional, diplomasi juga dapat digunakan untuk mengatur kebijakan-kebijakan internasional. Diplomasi berusaha menyatukan kepentingan-kepentingan yang beragam demi mencapai kepentingan bersama.
Sebelum kemerdekaan Indonesia, diplomasi seperti perdagangan, penyebaran agama, dan sebagainya sebenarnya telah lama ada. Seperti misalnya kerjasama yang dilakukan oleh kerajaan Aceh dengan Amerika pada tahun 1873, utusan Sultan Banten yang telah melakukan kontak dengan Ingris, kerajaan mataram dengan VOC di Batavia, dan kerajaan-kerjaan nusantara lainnya yang juga telah lama melakukan hubungan diplomatik mulai dari kepentingan agama, politik, hingga perdagangan.
Pada era Soekarno dimana Indonesia merupakan negara yang masih mencari jati dirinya, Belanda yang sempat menjajah Indonesia masih terus berusaha untuk kembali menguasai Indonesia dengan berbagai cara. Hal tersebut dilakukan Belanda karena Belanda mengetahui bahwa Indonesia belum mendapatkan kemerdekaan sah secara Internasional dan kemerdekaannya masih dipertanyakan oleh dunia internasional.
Beberapa perjanjian yang telah dilakukan oleh Indonesia seperti perjanjian Linggarjati yang dilakukan pada 10 November 1946 dan perjanjian renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948 masih belum mengurungkan niat Belanda untuk terus menguasai Indonesia. Oleh karena itu, Soekarno mulai melakukan diplomasi ke negara-negara lain dengan memerintahkan beberapa orang seperti Agus Salim ke negara Mesir dan India serta Subandrio ke Rusia yang bertujuan untuk melakukan hubungan bilateral dan mendapatkan dukungan internasional.
Politik luar negeri di era orde lama ini menekankan pada politik luar negeri bebas-aktif yang high profile dimana beliau berusaha untuk selalu menunjukkan keberadaan Indonesia ke dunia internasional. Seperti misalnya Indonesia turut menjadi salah satu negara pelopor Gerakan Non Blok (GNB) dan Konferensi Asia Afrika (KAA). Kebijakan beliau pada saat itu bersifat konfrontatif dan revolusioner dengan selalu berusaha untuk memberantas imperialisme dan kolonialisme. Hal tersebut dibuktikan dengan gagasannya akan NEFOS dan Oldefos, aktif dalam konferensi GNB, serta menyelenggarakan KAA. Selain itu, soekarno juga melakukan konfrontasi terhadap Malaysia karena beliau menganggap bahwa pendirian federasi Malaysia oleh Inggris merupakan bentuk neo-imperialisme di Kawasan Asia Tenggara.
Berbeda dengan era Soekarno yang bersifat konfrontasi, di masa orde baru atau pada saat kepemimpinan Soeharto lebih menekankan pada hal hal yang kooperatif seperti kerjasama-kerjasama dan mulai memperbaiki kembali hubungan-hubungan yang sebelumnya rusak seperti kembali melakukan hubungan bilateral dengan Malaysia dan bergabung kembali dengan PBB. Perbedaan lain yang tampak pada diplomasi era Soekarno dan Soeharto ini dimana di era Soeharto menerapkan politik luar negeri yang low profile.
Politik luar negeri bebas aktif masih diterapkan akan tetapi berbeda dengan era Soekarno. Orientasi politik luar negeri era orde baru lebih terfokus pada pembangunan dan kesejahteraan rakyat. Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan peminjaman modal dan penangguhan hutang luar negeri demi membantu pemulihan krisis ekonomi di Indonesia. Perbedaan selanjutnya terlihat dimana pada era kepemimpina Soekarno, arah kebijakan luar negeri Indonesia condong ke negara-negara komunis seperti Uni Soviet dan Tiongkok.
Akan tetapi, hubungan dengan Uni Soviet sedikit renggang pasca pasca Peristiwa Madiun pada tahun 1949 yang mana Uni Soviet dianggap sebagai dalang dari pemberontakan tersebut dan Uni Soviet juga tidak memberikan bantuan saat Indonesia berkonfrontasi dengan Malaysia. Pasca peristiwa G30 September tersebut, hubungan diplomatik Indonesia-Tiongkok terputus dan Indonesia beralih ke negara-negara barat seperti Amerika Utara, Eropa Barat, dan Kawasan Pasifik seperti Jepang untuk menunjang pembangunan dan meningkatkan perekonomian negara. Cara Soeharto dalam memperbaiki citra Indonesia pada masa itu adalah dengan mencetuskan konsep "good neighbourhood policy" yang man direalisasikan dengan dibentuknya ASEAN (Asociation of SouthEast Asian Nations) pada tahun 1967 bersama Thailand, Malaysia, Singapura, dan Filipina.
Salah satu warisan politik luar negeri Indonesia era Soeharto yang masih dapat dirasakan adalah tergabungnya Indonesia dalam ASEAN. Menurut saya, ASEAN sampai saat ini masih penting bagi sokoguru politik luar negeri Indonesia dilihat dari pondasi yang sejalan dengan prinsip ASEAN yaitu people oriented organization. Selain itu, Indonesia juga merupakan pendiri sekaligus regional power center di ASEAN. Terlebih, dengan adanya kerjasama regional ASEAN ini, Indonesia dapat menjalin hubungan bilateral atau pun multilateral dengan negara lain. Dengan adanya ASEAN pula, dapat membantu meningkatkan perekonomian nasional serta stabilitas keamanan dan politik di Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H