Sejak pandemi mengalami lonjakan data kepulangan manusia yang semakin mengiris hati, bersamaan dengan hal itu ada jutaan anak yang kehilangan kesempatan untuk bisa bertumbuh dan berkembang secara optimal dengan supporting system terdekatnya. Berdasarkan data dari jurnal The Lancet oleh Hillis, Unwin, Chen, et al. (2021), ada sekitar 1,5 juta anak secara global telah kehilangan "care-giver"nya (orangtua, kakek-nenek atau kerabat yang menjadi support primer maupun sekunder dalam perkembangan sang anak) akibat virus yang semakin mengganas penularannya.
Realitas semakin memburuk dengan kenyataan bahwa Indonesia menjadi salah satu dari negara dengan tingkat kematian harian tertinggi akibat COVID-19. Angka tersebut tidak pernah akan mewakilkan ribuan memori yang telah tertanam dalam sistem otak manusia yang mungkin dari sekian banyak diantaranya adalah sumber resiliensi selama bertahan di keadaan pandemi.
Menjadi hal yang pilu, ketika anak-anak yang harus mengalami dampak emosional yang begitu besar setelah kehilangan salah satu atau dua orangtuanya tanpa pertemuan akhir hayat karena keadaan yang terlalu kacau. Kehilangan orangtua bagi anak seperti memiliki efek ganda. Anak memandang orangtua mereka sebagai contoh, sosok yang mereka pelajari sejak kecil dan tercipta keeratan diantara hubungan darah orangtua-anak. Kumpulan emosi sedih, kesepian, terkejut dan ketidakpercayaan akan menjamuri hati mereka pada derajat yang berbeda-beda selama berhari-hari, minggu bahkan berbulan lamanya.
Di lansir dari riset yang dilakukan oleh Kidman, Margolis, Greenaway (2021) di US, anak-anak yang kehilangan orangtuanya karena COVID-19 rentan mengalami duka yang traumatis, depresi, keberhasilan pendidikan yang rendah secara jangka panjang. Dampak yang terjadi ini namun sayangnya mengalami kesulitan akses dalam dukungan kehadiran keluarga terdekat karena mau-tidak mau keadaan pandemi memaksa kebersalingan antara manusia menjadi berjarak.
Keadaan khusus yang tekait dengan protokol kematian seseorang akibat COVID-19 menjadi salah satu faktor risiko yang cukup signifikan dalam proses kesedihan anak-anak, dalam hal ini "missing final moments with the loved one" tidak mereka dapati kesempatannya, seperti mengucapkan selamat tinggal dan berpartisipasi lebih intens terhadap proses pemakaman. Keadaan ini berkontribusi terhadap perasaan yang tidak selesai menilai kenyataan bahwa orang yang dicintainya telah pergi. Selain itu, anak-anak mungkin menghadapi hal ini untuk pertama kalinya, sedangkan mereka tidak memiliki pengetahuan yang cukup bermakna tentang kehidupan dan kematian. Anak-anak lebih rentan salah menafsirkan informasi yang mereka tangkap, hal ini menyebabkan mereka tidak memiliki peta jalan mengenai perasaan, reaksi dan strategi koping menghadapi keadaan rumit tersebut (Albuquerque & Santos, 2021).
Manifestasi perasaan kehilangan dan kesedihan pada anak-anak mungkin diungkap dengan cara yang berbeda-beda. Beberapa diantara anak-anak mungkin tidak menungkapkan emosi mereka secara gamblang, seringkali hal ini menciptakan hubungan yang kuat terhadap reaksi tubuh, sehingga cenderung terjadi adanya keluhan fisik. Di sisi lain, anak-anak juga bisa menungkapkan ketidaknyamanan emosinya melalui ekspresi marah. Dinamika manifestasi ini menjadikan intervensi terhadap permasalahan kesedihan anak-anak harus dilakukan secara multidisiplin, seperti keluarga, profesional kesehatan, psikologi, serta sekolah. Sayangnya, pekerja yang dapat membantu anak-anak mendapatkan kembali "kesenangan" mereka untuk melupakan kesedihannya lewat pendidkan, rekreasi atau relasi sosial terhambat oleh penangguhan sebagai upaya pencegahan pandemi COVID-19 (Santos, et al., 2021).
Padahal identifikasi awal adalah salah satu cara tercepat yang dapat dilakukan dalam memprediksi kemungkinan gejala atau kesehatan mental yang mengalami kerentanan, sehingga intervensi dapat dilakukan sejak dini. Dampak yang perlu diprioritaskan ada pada konteks perkembangan kognitif, sosial, emosional dalam diri anak. Seiring dengan perkembangan mereka, demikian halnya "perasaan kehilangan". Perasaan ini bergerak terus menerus secara dinamis seiring pemahaman mereka tentang kehilangan juga bertumbuh. Oleh karena itu, perasaan ini dapat termanifestasi dalam ragam bentuk sepanjang perkembangan hidup mereka, sehingga menambah kompleksitas evaluasi yang cukup memadai menyesuaikan pemaknaan baru terhadap kehilangan yang dirasakan (Oltjenbrus, 2001).
Dukungan dan intervensi dini dalam upaya mencegah dampak jangka panjang yang buruk dari proses "kehilangan" yang tidak terinternalisasi dengan baik menjai sangat penting untuk disegerakan. Salah satu cara yang paling dapat diupayakan segera adalah intervensi oleh sekolah dan telemedicine. Sekolah bagi anak-anak bisa menjadi tempat yang aman dan nyaman, terlebih pada mereka yang kehilangan support system dari keluarganya yang meninggal. Walaupun sekolah saat ini serba virtual, platform virtual ini dapat membantu anak-anak yang mengalami kehilangan traumatis untuk merasa lebih aman secara emosional di tahap awal kritisnya, sekolah dapat menjadi rumah yang nyaman untuk memvalidasi perasaan mereka dan meredakan sejanak reaksi emosi terhadap kehilangan (Vossel, 2021).
Sekolah juga perlu untuk memiliki pengetahuan yang cukup mumpuni maupun dukungan psikologis secara kolaboratif mengenai gejala kehilangan dan dampaknya terhadap perilaku di dalam proses belajar. Kebutuhan anak-anak yang kehilangan harus ditangani secara proaktif dan berkelanjutan. Sekarang, saatnya sekolah mulai memprioritaskan kesejahteraan kolektif anak-anak selama masa pandemi ini. Sekolah juga bisa mulai membangun sistem yang berfokus terhadap pemulihan sosial-emosi lewat peningkatan keterampilan sosio-emosi anak pada khususnya empati dan koneksi yang lebih hangat antar anak-anak di sekolah, sehingga selain menjadi intervensi jangka pendek pada pencegahan awal, sekolah juga bisa jadi ruang intervensi jangka panjang yang mendukung proses perkembangan anak lebih baik dalam mencapai masa depan optimalnya (Sancassiani, Pintus, Holte, et al., 2015; Trozzi & Missimini, 1999).
Selain itu, telemedicine menjadi alternatif yang paling memungkinkan dilakukan saat ini. Intervensi psikologis seperti psikoterapi secara individual atau kelompok (keluarga) bisa melalui telepon atau video call, pada beberapa penelitan terbukti cukup efektif mengurangi gejala psikologis yang muncul. Tentunya, telemedicine yang diupayakan perlu memprioritaskan kemudahan akses serta menjangkau keterbatasan ekonomi juga. Pelayanan yang gratis dan dikoordinatori secara publik oleh pemerintah lewat satu platform layanan khusus, diinformasikan secara massal serta dievaluasi secara berkala keefektifannya adalah cara yang seharusnya sangat bisa diupayakan oleh pemerintah, kolaborasi sektor kesehatan mental dan teknologi. Namun, bagaimanapun pertemuan secara langsung tidak akan menggantikan komprehensifnya data yang bisa didapatkan daripada pertemuan virtual, telemedicine tidak memungkinkan penangkapan lebih jelas komunikasi non-verbal klien anak (yang mungkin lebih sulit dalam mengungkapkan perasaannya secara verbal) (Rosic, Lubert, Samaan., 2020); Yellowless, et al., 2020). Lagi-lagi, teknologi bukanlah solusi utama, teknologi adalah tools---kemampuan tenaga profesional dalam mengupayakan keberhasilan konseling virtual lewat peningkatan keterampilan dan literasi teknologi juga menjadi faktor penting.
Referensi :