Lihat ke Halaman Asli

Integrasi nilai islam dalam pembelajaran pendidikan sains ( IPA)

Diperbarui: 18 Desember 2024   08:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Islam merupakan agama yang dibangun di atas ilmu (Tibawi: 1957) dan ia tidak mengenal dan menghendaki dikotomi ilmu karena ajarannya bersifat integratif dan tauhidi (Al-Faruqi: 1982). Maka, tidak mengherankan jika tidak kurang dari 780 kali kata alilm diungkapkan dalam al Qur'an itu pun belum termasuk kata iqra, al qolam, al-marifah, dan al fahm yang memiliki kesamaan makna dengan kata al ilm (Shihab, 1997).

Jika menengok karya-karya klasik seperti al Ghazali, misalnya, maka tidak akan ditemukan dikotomi ilmu di dalamnya, melainkan hanya klasifikasi, tafdhil dan bukan tafriq antara kedua kelompok besar ilmu, yakni al ulum ad diniyyah dan al ulum al kauniyyah. Al Ghazali juga ibnu Khaldun berpendapat, kedua ilmu tersebut, yakni l ulum ad diniyyah atau asy syariyyah dan al ulum al kauniyyah, wajib hukumnya untuk dipelajari. Pertama, al ulum ad diniyyah atau asy syariyyah bersifat fardhu ain sedang kedua, alulum al kauniyyah bersifat fardhu kifayah. Apa yang dilakukan oleh al Ghazali dan Ibnu Khaldun tidak lain adalah upaya penjenisan bukan pemisahan apalagi penolakan akan validitas disiplin ilmu yang satu terhadap yang lain, dan keduanya merupakan disiplin ilmu yang sah. Penjenisan yang mereka lakukan karena mereka bertolak dari konsep ilmu yang integral dan mereka menemukan landasan yang menyatukan keduanya.

Globalisasi merupakan dampak langsung dari kemajuan revolusi teknologi-komunikasi, transportasi dan informasi (Meuleman: 2001, 20). Dalam era ini nyaris semua sendi-sendi kehidupan berubah, yang tidak berubah hanyalah pandangan bahwa dunia akan selalu berubah (Abdullah: 1995, 144). Masalah terbesar yang dihadapi umat Islam di era kontenporer ini pun muncul, yakni persoalan ilmu dan adab. Ilmu yang sudah mulai diceraikan dari nilai-nilai adab berrdampak pada hilangnya adab atau yang disebut oleh al-Attas sebagai the loss of adab. Efeknya, kebingungan dan kekeliruan persepsi mengenai ilmu pengetahuan yang kemudian mengosongkan adab dari masyarakat. Kerusakan pun akhirnya tak terelakkan diberbagai sektor kehidupan, baik individu, masyarakat, bangsa, dan Negara.

Pandangan bahwa interaksi antara agama dan sains adalah dua entitas yang tak bisa dipertemukan sampai saat ini juga masih mengemuka. Sains tidak mempedulikan agama atau sebaliknya, agama tidak mempedulikan sains. Karena bidang ilmu mengandalkan data yang didukung secara empiris untuk memastikan apa yang nyata dan apa yang tidak, agama sebaliknya siap menerima yang gaib dan tidak pasti hanya didasarkan pada variabel berwujud dari iman dan kepercayaan. Kini, paradigm dikotomis itu mulai diratapi, disesali oleh banyak kalangan, hati nurani terlepas dari akal sehat, empati dan simpati dan social skill menipis, alam lingkungan dan lain- lain. Padahal, dalam sejarah pendidikan Islam telah terpola paradigma keilmuan yang bercorak integralistik ensiklopedik di satu sisi, yang ditokohi para ilmuan seperti Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Khaldun, berhadapan dengan paradigma keilmuan agama yang spesifik-parsialistik yang dikembangkan oleh para ahli hadis dan ahli fikih yang rupanya diwariskan secara turun temurun antara generasi hingga saat ini. Bertolak dari pemikiran di atas, maka menghadirkan integrasi nilai-nilai Islam dalam pembelajaran sains atau IPA menemukan relevansinya dan sangat menarik serta layak untuk dilakukan.

Dalam artikel ini penulis memfokuskan pada pelaksanaan pembelajaran sains (IPA) yang berbasis nilai Islam di SDN Sadamantra. Penulis memilih SDN Sadamantra Kecamatan Jalaksana Kabupaten Kuningan. Sebuah Sekolah Dasar Negeri berlokasi di desa Sadamantra yang secara konsisten telah memulai integrasi nilai-nilai keislaman dalam lingkungan pembelajaran di sekolah sejak tahun 2008 silam.

Kata sains berasal dari kata Latin scientia yang berarti pengetahuan (Kartanegara: 2003). Istilah sains, dalam bahasa Indonesia, diartikan ilmu yang teratur (sistematik) dan dapat diuji atau dibuktikan kebenarannya. Akhirnya, sains dipahami sebagai ilmu pasti atau ilmu alam oleh sebab mengacu kepada bahasa Inggris atau science yang mengacu kepada ilmu eksakta saja.

Achmad Baiquni mendefinisikan sains sebagai himpunan rasionalitas kolektif insani, yakni himpunan pengetahuan manusia tentang alam yang diperoleh sebagai kesepakatan para ahli dan pakar dalam penyimpulan secara rasional mengenai hasil-hasil analisis kritis terhadap data-data pengukuran yang diperoleh dari observasi pada gejala- gejala alam.

Pengertian yang serupa diberikan oleh Amsal Bachtiar, Guru Besar Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Ia menyatakan, ilmu merupakan pengetahuan yang terklasifikasi, tersistem, dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secara empiris Sementara itu, menurut Huston Smith sains adalah kumpulan fakta mengenai dunia alamiah yang dibenarkan melalui eksperimen terkendali dan dapat dilihat dengan mata kepala sendiri melalui instrumen ilmiah (Smith: 2003). Pendek kata, sains merupakan pengetahuan yang objeknya alam indrawi dan ukurannya logis empiri.

Merujuk pada beberapa definisi di atas, maka sains secara sederhana dipahami sebagai pengetahuan yang terorganisasi (organized knowledge). edang pengetahuan yang biasa disebut dalam bahasa Inggris knowledge adalah keseluruhan yang dipersepsi, ditemukan, dan dipelajari oleh manusia. Alhasil, sains bagian dari pengetahuan (knowledge). Bagian dari pengetahuan dan masih banyak jenis pengetahuan lain di luar ilmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline