Artikel ini membahas mengenai kemungkinan perdamaian antara Israel dan Palestina. Kedua belah pihak bertikai dalam memperebutkan tanah tempat tinggal yang mana juga menjadi situs bersejarah bagi tiga agama samawi, Yahudi, Kristen, dan Islam.
Dalam membahas mengenai "mungkinkah terciptanya perdamaian antara Israel dan Palestina?", penulis lebih berasumsi untuk sulit menciptakan perdamaian di kedua belah pihak yang diakibatkan oleh rumitnya persoalan kasus ini yang meliputi faktor internal dan eksternal.
Pada era kontemporer, konflik Palestina-Israel memanas dengan pemisahan antara Palestina dan Israel yang diresmikan oleh PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pada 29 November 1947.
Bangsa Yahudi sudah sejak lama berhasrat untuk kembali kepada tanah yang dijanjikan oleh pendahulunya. Keinginan ini diperkuat akibat perilaku diskriminatif bangsa Eropa, khususnya Nazi kepada kaum Yahudi, terutama pada peristiwa holocaust yang menewaskan banyak korban Yahudi.
Sejarah berdirinya Israel dimulai dari Theodore Hezrl, kongres pertama Zionis mengklaim untuk mendirikan negara Yahudi Hingga muncullah Balfour Declaration pada 2 November 1917 yang mendapatkan mandat dari pemerintah Inggris.
Mandat tersebut menyatakan bahwa tanah Israel merupakan hak bangsa Yahudi berdasarkan dari aspek historis. Pernyataan ini membuat bangsa Yahudi semakin berbondong-bondong untuk datang ke Palestina dan pada 1947 PBB meresmikan berdirinya negara Israel.
Peristiwa ini tentunya menimbulkan kontroversi baik itu warga Palestina dan internasional. Kehadiran Israel menimbulkan banyak kecaman dari berbagai pihak, salah satunya dengan meletusnya perang Arab vs Israel pada 1948 dan 1967. Berdirinya Israel mengancam geopolitik dan geostrategis di Timur-Tengah yang berakhir pada perang tersebut. Israel sendiri merupakan tangan kanan dari AS (Amerika Serikat) di Timur-Tengah yang tentunya menjadi keuntungan tersendiri untuk kedua negara.
Konflik Palestina-Israel hingga tetap memanas pada era kontemporer. Pada 2014 disebut-sebut sebagai konflik berdarah yang paling banyak memakan korban sejak 1967.
Laporan OCHA (Office for the Coordination of Humantarian Affairs) yang berjudul "Fragmented Lives" juga menyebutkan bahwa di jalur Gaza 1,8 juta warga Palestina menghadapi peningkatan permusuhan paling buruk sejak 1967 dengan lebih dari 2.314 warga sipil terbunuh, setidaknya 1.492 adalah civilians 551 anak-anak, 642 laki-laki, 299 wanita dan lebih dari 17.125 orang-orang Palestina terluka (OCHA,2015).
Sementara itu dilansir dari ICRC serangan Israel ke Gaza pada 2014 telah merusak infrastruktur air di wilayah Gaza dan menyebabkan ribuan warga Gaza mengalami krisis air (ICRC,2014).
Selain itu konflik ini menyebabkan satu medical personnel tewas, tiga terluka, dan 1 kritis ketika ambulan dari Palestine Red Crescent Society yang jelas-jelas menggunakan red crescent emblem ikut menjadi target serangan (ICRC,2014).